Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi baru-baru ini mengeluarkan kebijakan kontroversial yang menghapus status wajib ekstrakurikuler Pramuka di Sekolah.
Keputusan ini memicu beragam tanggapan dari masyarakat, dengan beberapa mendukung dan yang lainnya menentang.
Pramuka telah lama dianggap sebagai salah satu ekstrakurikuler yang memiliki potensi besar dalam membentuk karakter siswa.
Namun, dengan perubahan kebijakan ini, pertanyaan pun muncul: apakah Pramuka masih relevan dalam pendidikan masa kini?
Sebagai seorang yang pernah aktif dalam Pramuka dan percaya pada nilai-nilai yang diajarkan oleh organisasi ini, saya merasa penting untuk mengulas perdebatan ini dari berbagai sudut pandang.
Dalam konteks ini, penulis ingin mendeskripsikan perspektif pribadi penulis tentang aturan ini, sekaligus menggali pengalaman pribadi penulis dalam mengikuti kegiatan Pramuka serta relevansinya dalam mengembangkan karakter siswa.
Sejarah dan Nilai Pramuka
Pramuka tidak hanya sebuah organisasi atau kegiatan ekstrakurikuler semata, tetapi juga sebuah gerakan global yang telah menginspirasi jutaan anak muda di seluruh dunia.
Dilahirkan dari gagasan Sir Robert Baden-Powell pada awal abad ke-20, Pramuka dimulai sebagai suatu gerakan yang bertujuan untuk melatih pemuda-pemuda Inggris agar menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab.
Di tengah ketegangan yang mendominasi dunia pada masa itu, Baden-Powell melihat perlunya membekali kaum muda dengan keterampilan survival dan kepemimpinan untuk menghadapi tantangan masa depan.
Dari situlah muncul konsep Pramuka yang didasarkan pada sistem penghargaan dan pengakuan yang melibatkan peningkatan tingkat keterampilan dan pengetahuan dari tingkat Tenderfoot hingga tingkat Eagle Scout.