Mereka duduk berdua di teras rumah, menikmati kehangatan hujan yang turun dengan lembut. Tetes-tetes hujan itu bagai membasuh rindu yang terpendam di hati mereka, membawa kedamaian yang lama dinanti.
Di hari-hari berikutnya, pemuda itu terus datang menengok Nyonya Emilia. Mereka berdua menjadi teman yang akrab, saling berbagi cerita tentang masa lalu dan harapan untuk masa depan.
Nyonya Emilia merasa bahwa kehadiran pemuda itu adalah anugerah dari langit. Dia mulai merasakan kehangatan yang telah lama hilang di dalam hatinya, seperti hujan Maret yang membawa kesegaran baru setiap tahunnya.
Sementara itu, pemuda itu juga merasa bahwa rumah Nyonya Emilia adalah tempat yang penuh dengan kedamaian dan kehangatan. Dia merasa bahwa dia telah menemukan bagian dari dirinya yang telah lama hilang di sana, seperti pulang ke pelukan keluarga yang telah lama dirindukan.
Hari berganti hari, hingga suatu pagi ketika hujan Maret turun dengan derasnya. Nyonya Emilia duduk sendirian di teras rumah, menatap tetes-tetes hujan dengan tatapan penuh makna.
Tiba-tiba, pemuda itu muncul di hadapannya dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia membawa sebuah payung besar di tangannya, menawarkan perlindungan dari hujan yang turun dengan lebatnya.
"Selamat pagi, Nyonya Emilia. Bisakah saya menemani Anda?" ucapnya dengan lembut.
Nyonya Emilia tersenyum dan mengangguk. Mereka duduk berdua di bawah payung besar itu, merasakan kehangatan yang terselip di antara tetes-tetes hujan yang turun dengan derasnya.
"Mengapa Anda selalu datang ketika hujan turun, sayang?"Â tanya Nyonya Emilia sambil menatap pemuda itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Pemuda itu tersenyum. "Karena hujan Maret selalu mengingatkan saya pada sesuatu yang berharga dalam hidup saya."
Nyonya Emilia menatap pemuda itu dengan tatapan penuh harap. "Apa itu?"