Sorong merupakan salah satu pusat studi di wilayah Kepala Burung setelah Manokwari. Banyak mahasiswa dari Sorong sampai Samarai datang mengeyam pendidikan di berbagai kampus yang ada di kota Sorong. Mereka adalah Mahasiswa asal Papua dan non Papua. Selain mengenyam pendidikan, mereka juga bergabung dalam organisasi-organisasi di kampus, organisasi kemahasiswaan, ikatan kekeluargaan, kepemudaan di kota/kabupaten bahkan di distrik-distrik.Â
Jadi, ditubuhnya tidak hanya satu organisasi, tapi lebih dari satu. Organisasi--organisasi tersebut mempunyai AD/ART, bahkan ada yang tidak memiliki hal tersebut: Persetan dengan AD/ART, intinya mereka punya satu alat yang mengikat sehingga ada satu komando yang terarah walaupun terkadang pimpinan ke utara, kaki tangan ke barat dan selatan jadinya seperti anak ayam kehilangan induknya.
Menurut pengamatan saya, roda gerakan oraganisasi di Sorong hanya menyiapkan individu-individu yang pandai beretorika dan bisa tampil di depan orang banyak tapi tidak punya konsep. Bahkan, ada wadah organisasi yang hadir hanya untuk momentum politik. Setelah agenda politik organisasi tersebut fakum kembali dan orang-orangnya hilang.Â
Organisasi-organisasi tersebut belum mampu menyiapkan mahasiswa atau pemuda/pemudi untuk mempunyai kemampuan-kemampuan khusus sehingga mampu bersaing secara kreatif dan inovatif di tanah Papua, khususnya di Sorong. Selain itu, organisasi tersebut tidak mendidik kader-kadernya untuk menjadi individu yang kritis dan militan dalam melihat situasi sosial, politik, dan ekonomi, budaya, dan lain-lain yang telah dan sedang terjadi di Sorong, dan Papua secara luas.
Kenyataanya, roh organisasi tersebut  justru sebagai aktor yang melumpuhkan kekritisisme dan jiwa militan anak muda asli Papua di Sorong Raya. Roda gerak organisasi tersebut terus menanamkan gaya  borjuis kepada setiap individu yang tergabung.  Setiap individu yang bergabung dalam organisasi  seolah sekedar objek untuk mengisi struktur atau menjadi anggotanya.Â
Sehingga, mudah sekali untuk diarahkan pada politik praktis atau menjadi objek bukan subjek actor perubhan atau kontrol sosial.Saya di Sorong dua tahun. Saya tidak melihat  organisasi seperti PMKRI turun ke jalan untuk meneriakan hak-hak orang asli Papua.Â
Loh! Rohnya PMKRI itu apa sih? Apakah setiap Individu yang bergabung di dalam mengenal dan memahami tidak? Jangan-jangan hanya asal terlibat dan pukul dada bisa bergabung di PMKRI.
***
Kemudian, Sistem pendidikan dari pemerintah pusat  yang diterapkan di Papua, nyatanya telah dan sedang melakukan pembodohan dan membunuh karakter generasi Papua. Sistem pendidikan yang tidak mendidik generasi Papua untuk kritis dan militan. Hal lain adalah pola mendidik yang tidak memberi generasi Papua untuk kreative dan inovative dalam berpikir dan bertindak. Mulai dari Pendidikan formal tingkat PAUD, TK , SD, SMP, SMA sampai jenjang tinggi.
Untuk dunia jenjang tinggi, sisitem pendidikan di kampus-kampus di Sorong belum mendidik generasi Papua untuk menjadi pribadi yang kreatif, inovatif, kritis, dan militian. Mahasiswa asal ke kampus lalu masuk kuliah.Â
Entahlah, materi yang diterima paham atau tidak. Setelah itu, pulang ke rumah atau lanjut dengan kegiatan organisasi di kampus maupun luar kampus. Selain itu, para  dosen hanya mendidik mahasiswa agar mendapat nilai yang bagus dengan rajin masuk kuliah dan mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Tepatnya, tujuan yang diajarkan sedangkan prosesnya masih sangat kurang sehingg menghasilkan banyak generasi Papua, secara  khusus mahasiswa (asli) Sorong Raya yang bersifat praktis.Â
Beberapa kasus yang terjadi, misalkan urusan Skripsi. Ketika mereka (seorang mahasiswa Sorong) melakukan konsultasi skripsinya. Dosen tidak melihat apakah benar-benar karya mahasiswa tersebut atau karya orang lain. Apakah ada pembiaran atau memang dosen tersebut tidak mengenal karakter menulis mahasiswanya. Hal-hal tersebut benar-benar membunuh mental dan krakter generasi Papua.Â
Selain faktor di atas, orang tua dan para elit politik. Mereka mempunyai pengaruh yang kuat terhadap arah tujuan hidup generasi Papua. Orang tua percaya bahwa PNS adalah salah satu pekerjaan yang menjamin kehidupan masa depan anaknya.Â
Dengan paradigma tersebut, dapat mendorong anaknya hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang, dan sedangkan para elit mengubah pandangan generasi bahwa menjadi pemimpin adalah seperti menjadi gubernur, bupati dan DPR. Contoh kasus, mereka (para elit politik lokal) hadir dalam suatu acara dan menyampikan sambutan atau pidato. Mereka mengarahkan mahasiswa untuk bisa menjadi DPR, Bupati atau PNS.
Hal tersebut, mendorong arah visi dan misis generasi Papua yang kuliah dan berorganisasi agar regenerasi manusia yang reaksioner dan tanpa mimpi perubahan untuk kehidupan. Sejak Belanda hingga Indonesia menduduki Papua hingga detik ini pola seperti itu tak pernah diubah: sekolah mendidik manusia yang siap kerja di lapangan kerja sistim pemerintahan agar sistim pemerintahan Jakarta di Papua tetap jalan; dan kondisi rill masyarakat pun tak pernah berubah.
***
Ada hal lain yang membedakan situasi mahasiswa di Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu kekerasan/kerasnya lingkungan yang dihadapi mahasiswa. Mahasiswa di Provinsi Papua sering menghadapi kekerasan secara langsung di depan mata, contohnya pembunuhan atau penembakan oleh para militer Indonesia, sehingga membuat mereka sangat peka dan kritis bahkan militan dalam berpikir dan bertindak.Â
Dalam jiwanya, sudah tubuh jiwa pembrontak. Hal tersebut juga mempengaruhi tujuan hidupnya. Sehingga, mereka tidak asal kuliah tapi benar-benar mengisi dirinya sebelum kembali ke tanah airnya. Mereka banyak yang tidak sekedar kuliah namun mereka juga kuliah sambil belajar menulis, jurnalistik, fotografer, membangun blog dan website.Â
Itu merupakan kemampuan khusus yang tidak semuanya dapat di kampus sehingga mereka belajar sendiri. Apa yang terjadi di mahasiswa Papua di Provinsi Papua Barat? Mahasiswa terbawa dalam situasi sosial yang seoalah aman-aman saja. Sehingga, tujuan kuliah cuma kejar ijasah saja. Mereka tidak mengasah kemampuan yang lain. Contohnya, menulis, bahasa Inggris, jurnalis dan lain-lainnya.Â
Selanjutnya, mahasiswa asli Papua tidak mau mengasah kemampuan  kritis atau militannya. Kepekaan dan kritisismenya digempuri oleh politik praktis dan agenda-agenda nasional Jakarta.
Kenyataannya, kekerasan dan ketimpangan sosial di wilayah Sorong Raya sangat banyak. Mulai dari pendidikan, kesehatan, masalah lingkungan, hukum dan HAM, dan lain-lain. Semua persoalan di wilayah Sorong Raya, seolah tidak terlihat.Â
Semua persoalan di wilayah Sorong Raya terdokumentasi secara rapi dan sistematis sehingga mahasiswa juga terlena dalam ketidaksadaraan dan ketidaktahuannya untuk terus menjadi budak kapitalis dan kolonial.
Terakhir, mahasiswa asli Papua yang kuliah di Sorong yang tergabung dalam organisasi. Sebagian besar takut untuk berbicara atau memperjuangkan hak-hak masyarakat. Mereka lebih mengempanyekan agenda-agenda pusat, Jakarta. Jadinya, banyak ketimpangan sosial yang telah dan sedang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Papua. Mereka tidak berani berdiri di depan untuk bersuara lantang tapi lebih memilih berdiam diri. Mari kita saling kritik dan evaluasi untuk Sorong Raya yang lebih baik!
)* Mahasiswa Papua di Yogya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H