Apakah kita tahu apa yang kita tahu? Atau tahu apa yang kita tidak tahu? Mana yang kita lebih tahu?
Ini (mungkin) bukan fiksi.
Hari itu, 16 April adalah hari istimewa Azka. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak ia resmi menjadi penerima beasiswa luar negeri untuk program doktor di Belanda. Azka akan menghadiri diskusi pertama bersama profesor, senior dan teman satu laboratorium-nya di sebuah universitas di Amsterdam. Ada rasa bangga, excited, namun terselip juga perasaan gugup.
Tapi bukan Azka namanya kalau tidak percaya diri. Ia adalah lulusan terbaik saat program master dan mencapai IPK tertinggi saat lulus dari program sarjana strata satu. Belum lagi seabrek prestasinya dan keberhasilannya sehingga ia bisa diterima di universitas terkemuka di Amsterdam.
Di ruang pertemuan, profesor dan sekitar 15 orang mahasiswa dari berbagai negara masuk ke ruangan itu, dan satu orang ternyata dari Indonesia, Angela namanya yang saat itu sudah di tahun ke-3. Mereka semua adalah mahasiswa doktor yang dibimbing oleh si profesor, senior Azka.
Sang profesor memulai pertemuan ini dengan mempersilakan Azka untuk memperkenalkan diri. Tanpa rasa canggung, ia langsung mempergunakan kesempatan itu untuk memberikan kesan positif ke hadapan profesor dan pembimbingnya.
Ia menceritakan siapa dirinya, prestasinya, penelitian masternya, dan rencana penelitiannya dengan timeline yang akan selesai dalam waktu tiga tahun.
Semua orang di ruangan tersebut mendengarkan Azka bercerita. Beberapa kali mahasiswa lain bertanya dengan antusias kepadanya. Azka lebih bersemangat lagi untuk menjawab dan bercerita.
"Wah, ternyata gue hebat juga ya udah bisa selevel sama yang udah senior ini." Batin Azka terkikik. Setelah sesi perkenalan yang tidak singkat itu, agenda dilanjutkan dengan presentasi Angela, tentang progres penelitiannya.
Saat presentasi Angela sudah dimulai, Azka terbengong. Ia tak percaya yang ia dengarkan... Angela... Bahasa Inggrisnya PARAH!!
"Sumpah parah banget, si Angela... gue pikir dia kan sudah tiga tahun di sini... masa dia ngomong "knowledge" aja "kenolej". Hahahah... gile lah trus risetnya itu gampang bangett, serius itu mah kalo buat gue, buat master doang kali... wkwkw" cerita Azka saat ber-Skype-an dengan sahabatnya di Jakarta, Edo.
"Hah, serius lo Ska?! Hahaha.. lo yang terlalu cerdas kali yah hahaha... yaah yang penting lo di sana smoga lancar ye... jangan cari kenolej-kenolej yang aneh-aneh di Amsterdam wkwkwk." Jawab Edo diiringi cekikikan Azka.
***
TIGA TAHUN KEMUDIAN
Tiga tahun berlalu dengan sangat menyenangkan bagi Azka. Namun masuk ke tahun ke-4 ini ia sadar telah terhanyut oleh waktu dan keadaan. Segala prestasinya dulu seakan membayang-bayangi setiap langkahnya yang membuat ia cenderung meremehkan proses studinya kali ini.
Ternyata riset yang Azka prediksikan selesai di tahun ketiga, malah menemui kendala. Artikel yang ia kirim ke jurnal-jurnal besar tidak ada yang diterima. Masa beasiswa-nya pun sudah selesai, jadi ia harus sambil bekerja untuk bisa menyambung hidup di Amsterdam. Namun, belum ada panggilan positif dari berkas lamaran pekerjaan paruh waktu yang ia masukkan ke berbagai tempat. Ia tak menyangka bahwa seorang Azka bisa terpuruk seperti ini.
Saat sedang limbung di bangku taman kampus, pundaknya ditepuk oleh seseorang dari belakang.
"Hey, Azka!"
Azka terkejut dan berbalik. Ternyata Angela. Iya, Angela di tahun ke-6 nya yang dari awal memang tanpa beasiswa masih berjuang untuk bisa lulus.
"Eh Angela, mau kemana?" Tanya Azka.
"Nyari kamu... minggu depan aku ujian defense, jadi bulan depan aku sudah bisa pulang ke Indonesia, jadi..."
"Hah Angela, sudah mau presentasi final ya! Wahh...Selamat ya!! Eh maaf menyela.. trus..truss...." Potong Azka
"Iya... kamu bisa ngga gantiin aku ngajar Bahasa Indonesia di Sloterdijk? Gajinya lumayan gede lho. Aku udah 5 tahun ngajar di situ, peserta didiknya baik banget. Jadi nanti kalau aku balik ke Indonesia, kamu aja yang gantiin gimana?" Terang Angela seraya tersenyum.
"Oh... " Azka tertegun. Lidahnya kaku...
Malu sekali ia kepada kesombongannya dan segala cemoohnya kepada Angela waktu itu. "Dan lihatlah Azka, kamu sekarang tidak lebih baik dari Angela di tahun ke-3 waktu itu. Angela yang kamu cemooh itu malah justru menawarkan rezeki buatmu." batinnya lirih pada dirinya sendiri.
Bulan berikutnya, April, Angela telah lulus dan pulang ke Indonesia dengan gelar PhD-nya, sementara Azka duduk di antara mahasiswa lain di ruangan diskusi dengan profesor dan seorang mahasiswa baru, Sarah, yang sedang memperkenalkan diri. Ia bercerita panjang lebar tentang riset dan prestasinya dengan sangat percaya diri.
Azka tersenyum kecut. Ia melihat bayangannya sendiri 3 tahun yang lalu. Di ruangan yang sama dan perasaan yang berbeda. Jauh berbeda. Hidup telah menempelengnya untuk mengajarkannya sesuatu yang sangat berharga: bahwa ia tahu bahwa ia tidak setahu itu.
***
Arogansi Diri
Pernahkan kita bertanya: Apa yang kita tahu? Seberapa tahu kita akan sesuatu? Apakah kita betul-betul tahu atau sedikit tahu? Sedikit itu seberapa? Berapa banyak yang tidak kita ketahui? Apakah kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini?
Ilmu dan semesta sangatlah luas yang bahkan kita tidak akan pernah sanggup melihat batasnya. Jadi semua pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah bisa kita jawab dengan pasti.
Lalu kalau pengetahuan kita akan sesuatu saja tidak pasti, bagaimana kita bisa menjustifikasi sesuatu dengan pasti?
Apakah kemampuan Bahasa Inggris Angela lebih parah dari Azka? Apakah riset Angela semudah yang dipikirkan Azka? Kita tidak pernah tahu apa yang telah dialami orang lain dan perjuangannya hingga bisa sampai di titik persimpangan dengan kita.
Mudahnya seseorang seperti Azka merasa lebih baik dari orang lain disebabkan karena ia belum benar-benar memahami diri-nya sendiri. Iya, salah satu hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah memahami diri kita sendiri, sebelum kita memahami orang lain.
Salah satu pemahaman diri adalah mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang tidak. Namun seringnya kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu.
Ketidaktahuan inilah yang paling berbahaya dan menyesatkan, yang membuat seseorang yang “kurang tahu bahwa ia tidak tahu” cenderung banyak bicara dan kurang mau mendengar. Iya, arogansi adalah sisi gelap pengetahuan.
Sementara yang tahu bahwa ia tidak setahu itu, akan cenderung lebih banyak diam dan mendengar. Mengapa?
Karena dengan mendengar ia bisa lebih tahu dibandingkan jika ia berbicara. Seperti halnya Dalai Lama pernah mengatakan "When you talk you are only repeating what you already know; but when you listen, you may learn something new"(ketika kau berbicara, kau hanya mengulangi apa yang kau tahu; namun jika kau menyimak, kau bisa belajar sesuatu yang baru).
Mendengarkan adalah salah satu seni memahami. Dan kita hanya bisa memahami, saat volume ego kita dikecilkan dan berusaha tenang. Ego ini meliputi ego untuk memotong pembicaraan, ego untuk tidak mau terlihat pasif, ego tidak mau kalah dan lain-lain.
Saat volume ego kita kecil, maka kita akan lebih banyak menyerap pesan, informasi, sinyal-sinyal yang lemah, termasuk yang non-verbal sekalipun. "The quieter you become, the more you can hear" (semakin kau tenang/ diam, semakin banyak yang akan kau dengar).
Seperti halnya saat kita berbicara dengan seseorang tapi kita ingin buru-buru menjawab, atau memotong atau cepat emosi. Itu berarti kita mendengar hanya untuk menjawab, maka sulit untuk kita benar-benar memahami sesuatu. Oleh karena itu, tenang adalah kekuatan yang luar biasa. Perlu kontrol ego yang merupakan bagian dari sebuah proses panjang dalam mencari jawaban akan, "who am I" (siapa kita).
Saat kita mencapai tahap itu pun, bisa jadi tidak permanen... karena kita terus berproses. Ada saat kita mungkin sadar akan hal itu, ada kalanya kita kembali lagi menjadi manusia yang merasa banyak tahu. Oleh karena itu, untuk bisa memahami orang lain dan apa yang terjadi di sekitar kita, kita perlu terus berusaha memahami diri: “tahu dan tidak tahu-nya kita". Karena semakin kita tahu, semakin pula kita merasa tak tahu, dan di celah itu lah kita bisa memperbaiki diri.
Jadi bisa dibayangkan jika semua orang tahu bahwa banyak hal yang tak mereka tahu? Bahwa kita tidak setahu apa yang kita tahu? Mungkin, mungkin dunia tidak akan seriuh-rendah sekarang.
Mutiara Me
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H