Mohon tunggu...
Median Editya
Median Editya Mohon Tunggu... lainnya -

penyuka beladiri dan sastra. calon guru teknik yang dicemplungin NASIB ke dunia perbankan..well, life always have a twisting plot rite ?

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika "Keyakinan" itu Dipertanyakan?

2 Oktober 2010   15:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_276717" align="aligncenter" width="263" caption="unduh dari info.teamnulife.com"][/caption]

Alkisah ada seorang anak dari sepasang suami istri. Anggaplah namanya Budi (mohon maaf untuk siapa saja yang bernama budi, ini hanyalah kisah fiktif belaka..kesamaan nama hanyalah kebetulan saja..hehe). Si budi ini lahir dan tumbuh menjadi anak yang sangat menggemaskan. Walau kalau diperhatikan dengan seksama maka banyak orang bertanya-tanya.

Pertanyaan apa? Kalau dilihat-lihat bapaknya budi tinggi, kulit kuning langsat, gagah, pokoke dah bak peragawan saja. Ibunya? Wueh cantik, putih, hidung mancung, rambut lurus hitam legam. Serasi bener dengan suaminya.

Lah budi? Rambut ikal, hitam, idung pesek, pendek pula. Apalagi kalau tau tipikal wataknya. Ibu dan bapak Budi cenderung sangat teliti, telaten dan sabar. Budi malah benar-benar kebalikannya, suka ceroboh, gk sabaran dan pengen semuanya serba cepat.

Saat kecil si budi suka diolok-olok anak pungut. Si budi walau kesel (dan sering kali berantem karenanya) tak terlalu memperdulikannya. Maklum masih kecil sekarang kesel besok sudah tertawa lagi. Tapi saat beranjak dewasa hal ini berbeda, si budi merasa apakah KEYAKINAN dia bahwa selama ini dia adalah ANAK dari KEDUA ORANG TUANYA salah? Apalagi mengingat ciri fisik dan ciri sifat yang sangat berbeda (plus ditambah kompor komentar dari teman, kenalan dan yang lainnya)

Maka dimulailah PERJALANAN mencari kebenaran buat si budi. Dia mulai dengan meminta akta kelahirannya kepada kedua orang tuanya dan men-cross check kebenarannya ke RS yang bersangkutan. Akte sah, gak ada yang salah, maka tersenyumlah si budi dan yakinlah dia kalau dia benar-benar anak dari ibu bapaknya.

Tapi esok lusa, saat dia bercerita kepada yang lainnya. Eh banyak yang meragukan. Katanya surat keterangan gini doang bisa saja salah, dia harus punya saksi hidup yang menyaksikan kalau dia benar-benar BROJOL dari rahim ibunya..

Maka perjalanan dimulai kembali. Bak detektif si budi menelusuri siapakah dokter atau bidan yang membantu proses lahiran dia. Setelah berminggu-minggu dia mencari, didapatilah sang dokter bahkan perawatnya. Setelah proses tanya jawab yang memakan waktu dan pikiran maka yakinlah si budi kalau memang benar dia brojol dari rahim ibunya.

Eh lagi-lagi esok lusa saat si budi sedang menonton televisi dia lihat kasus suap. Dengan suap uang bisa saja keterangan seseorang diubah-ubah. Maka kembali sangsilah si budi. Memutuskan untuk mencoba level tertinggi pembuktian anak. TES DNA!

Maka menabunglah si budi selama bertahun-tahun. Setelah terkumpul (bahkan saat itu si budi sudah bekerja dan berkeluarga) maka mulailah si budi melakukan tes dna. Setelah mengeluarkan biaya besar dan serangkaian tes melelahkan maka keluarlah hasil tes itu. Ternyata walau fisik dan sifat yang sangat berbeda, kata selembar surat tes dna itu si budi benar-benar ASLI anak ibu bapaknya.

Giranglah si budi. Dan tak lagi kepikiran yang aneh-aneh atas keyakinannya walau sering ditanyakan oleh yang lainnya (walau hanya gurauan “bener gk sih lu anak ibu bapak lu?”). Sekian tahun berlalu, ibu bapaknya si budi sudah meninggal, si budi mendapati fakta saat bekerja bahwa bahkan suatu tes dalam beragam pembuktian bisa juga salah. Harus berkali-kali dilakukan barulah bisa dipastikan itu benar adanya.

Maka kembali pusinglah si budi. Selembar kertas hasil tes dna itu bisa saja salah bukan? Bisa jadi dia bukan anak ibu bapaknya. Tapi mau ikut tes dna lagi bagaimana pula dia dapat biayanya sampai berkali-kali harus tes DNA. Anak istrinya butuh biaya. Maka mengadulah dia ke makam ibu bapaknya.

“Ibu..bapak.. apa benar saya anak kalian?? aku sudah cross check ke RS, sudah cari dokternya, sudah tes dna. Tapi semua itu masih bisa error, bisa saja itu semua salah. Apa benar saya bukan anak ibu dan bapak? Saya harus bagaimana untuk menghilangkan ragu di hati saya” Begitu kira-kira kata si budi (sambil menangis tentunya) dimakam ibu dan bapaknya di suatu pemakaman umum.

“yaelah mas, kalau memang hati anda mau meragu maka suatu hal sebenar apapun itu ya pasti salah saja. Yang mas lihat bukanlah benarnya, tapi selalu kemungkinan salah dan errornya. Hidup itu memang ada waktunya untuk mencari tapi ada waktunya juga untuk meyakini. Hati manusia tak akan pernah puas, memilih untuk meragu atau meyakini ya terserah sendiri asal siap resikonya jangan sampai menangis merengek dimakam siang bolong seperti ini”

Si budi bingung. Siapa yang bicara? Si budi menyeka mata yang berair dan ingusnya kemudian berpaling kebelakang. Mendapati seorang kakek tua penjaga makam yang kumal, kurus, baju compang camping sedang asyik membersihkan makam dari rumput liar. Si budi bingung, dipikir-pikir benar juga kata suara tadi. Tapi apa mungkin bapak ini yang berkata demikian? Badannya kurus, kucel, tidak terlihat berpendidikan, masa iya bisa berkata sebijak itu.

“maaf pak.. bapakkah yang tadi berkata kepada saya?” si budi kembali bertanya.

Kali ini bapak tua itu berhenti bergerak, tersenyum sejenak kearah si budi dan berkata

“nah mas.. sama seperti hal yang mas dengar tadi.. apakah mas mau yakin bahwa saya lah yang berkata atau mau kembali meragu bukan saya yang berkata? Semuanya terserah mas saja..”

dan urusan itu menjadi terang seterang-terangnya bagi si budi. Dan semoga bagi anda juga yang membaca artikel ini.

Salam,

median

------------------------

bagi yang aktif juga di FB kalau berminat bisa join ke dua pages berikut ini :

FBI (Forum Buku Indonesia)

MUI (Menulis Untuk Indonesia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun