Mohon tunggu...
Median Editya
Median Editya Mohon Tunggu... lainnya -

penyuka beladiri dan sastra. calon guru teknik yang dicemplungin NASIB ke dunia perbankan..well, life always have a twisting plot rite ?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

TA Adek Saya dan Kesetaraan Pendidikan di Indonesia

9 Agustus 2010   13:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu salah satu adek kelas saya (walau beda jurusan) datang bertandang untuk bercerita kepada sya, ceritanya sederhana saja tentang rencana TA nya. TA dimana dia merancang suatu program sehingga seorang pengajar bisa memantau dan mengajar melalui perantara media komputer. Adek kelas saya memasang empat kamera diruang kelas dan satu kamera untuk pengajarnya memantau keadaan kelas dan berceloteh berinteraksi mengenai pelajaran.

“wah bagus juga, setidaknya para pengajar bisa mengajar walau dia sedang berhalangan di suatu tempat. Apalagi pengajar-pengajar dikota bisa ikut nimbrung didesa via programnya”. Kurang lebih begitu pikiran saya, jadi saya dukung saja rencananya untuk segera merealisasikannya. Berkata bahwa idenya itu brilian dan akan di ACC langsung saat dipresentasikan. Wajah adek saya sumringah, buncah dengan rasa keyakinan dan pasti bisa melakukannya.

Besoknya adek saya ini datang lagi. Bermuka sendu. Lesu, sudah macam orang patah hati ditolak kekasih saja parasnya. Belum sempat bertanya adek saya ini sudah berkata.

“k, rencana batal. Adek musti nyari ide yang lain. Tadi konsul sama profesor anu tidak disetujui”.

Buseeet, sya langsung duduk serius. Baru konsul saja sudah tidak disetujui? Ku pasang muka berkerut. Membenahi posisi duduk dan langsung bertanya apa alasannya sehingga ACC itu tak datang untuk idenya.

Selidik punya selidik. Sang profesor memberikan alasan, bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran langsung seorang pengajar di tempatnya. Walau ada empat kamera juga tetap tak akan terpantau semua muridnya, lagian bisa pecah konsentrasi pengajar kalau memperhatikan empat tampilan kamera sekaligus. Plus saat pengajar menjelaskan melalui kamera dan murid memperhatikan melalui layar monitor, bagaimana seorang murid bisa menginterpretasikan kalau sang pengajar sedang memperhatikannya? Apa tau murid anu bahwa sang pengajar sedang mendelik memandang dia? Dan itulah garis besar kenapa rencana itu ditolak dengan gemilangnya.

Oi, sya benar-benar terpaku dibuatnya. Terpaku oleh kebenaran hal yang dikatakan oleh sang profesor itu. Tapi ada yang lebih menggelitik lagi saat saya terkenang akan beberapa fakta kecil di dunia pendidikan di Indonesia.

Fakta apa? Fakta bahwa sedikit sekali pengajar berkualitas baik dan memiliki kompetensi baik (lulusan universitas ternama, ikut organisasi A, B dan yang lainnya, belum menghitung prestasi-prestasinya) yang mau “nyungseb” di desa atau daerah-daerah pedalaman lainnya. Guru rata-rata memilih mengadu nasib dikota, mengajar disana. Selain itu, berapa jumlah persentase doktor ataupun professor yang mengajar di suatu provinsi kecil?? sedikit sekali. Rata-rata memilih untuk mencari pengalaman mengajar di tempat yang lebih bergengsi.

Dengan menggabungkan fakta itu dan kejadian yang menimpa adek kelas saya maka saya mendapatkan suatu kesimpulan yang membuat miris hati sya. Sedikitnya jumlah guru di daerah, sedikitnya jumlah doktor maupun profesor , sedikitnya jumlah pengajar di daerah ini harus dipecahkan oleh apa?

Memang tak ada yang salah untuk pengajar mengadu nasib dan mencari kesempatan hidup yang lebih baik di kota, tapi kalaulah kehadiran seorang pengajar itu tidak bisa tergantikan kita harus berbuat apa? Saya sempat berfikir bahwa mungkin rencana TA adek saya ini bisa memecahkan masalah itu, tak perlu mengundang guru-guru, profesor, maupun doktor, cukup menggunakan programnya, setting ini itu. Maka sang pengajar itu bisa berbagi ilmu dengan murid-murid di desa atau pedalaman daerah, tak perlu naik turun gunung, tak perlu menyebrang sungai, dan yang lainnya. Bukankah hal ini bisa mengatasi sedikitnya jumlah pengajar berkualitas, dan juga bisa membantu mengatasi sedikit ketimpangan kualitas ilmu yang terjadi di daerah-daerah.

Mirisnya dibagian mana? Dibagian bahwa TIDAK ADA PROGRAM YANG BISA MENGGANTIKAN GURU atau PENGAJAR di kelas. Lah kalau semua pengajarnya jauh gimana? Kalau pengajarnya rata-rata gak mau susah datang atau malah netap didaerah kita harus berbuat apa? Program kayak TA adek saya juga gak boleh dipakai karena alasan interaksi langsung pengajar dengan murid itu tak tergantikan. Tapi pengajar dengan skill dan kompetensi tinggi rata-rata mau mengabdi kota disana.. Miris bak buah simalakama, dimakan mati emak tidak dimakan mati bapak (atau kebalik ya?lupa-lupa ingat saya..)

Jadi indonesia musti gimana? Mau memperbanyak jumlah doktor? Guru? Atau staff pengajar lainnya? Butuh berapa tahun pula? Sementara ketimpangan sudah terjadi di daerah sana, berapa banyak generasi yang harus menunggu dan tak mendapatkan hak pengetahuan setaranya??

Miris itu berubah menjadi sesak. Mengingat salah satu momen dulu saat saya ditanya dan dipinta oleh seorang murid (saya sempat mengajar ikut program PPL nasional selama 1 tahun di salah satu daerah transmigran jawa di sumatra, dan daerah pedesaan jawa barat) “bapak mengajar saja disini, tak ada guru yang mau mengajar kami disini..”, saya sendiri sampai nyaris nangis dibuatnya waktu itu. Apalagi saat mengetahui dan menelaah pendapat sang profesor tadi yang berkaitan dengan TA adek kelas sya ini.

Kuhela nafas.. berat ya allah ternyata, berat sekali urusan ini ternyata. Melihat adek saya bersedih ditambah juga kesadaran yang timbul karenanya. Ah sudahlah, sekarang yang penting menghibur adek saya.

“ya sudah dek, yuk kita makan dulu..kk yang traktir.. ntar kita pikirkan lagi rencana yang lainnya”. Ku tepuk pundaknya, mengajak dia pergi ke rumah makan diujung gang sana. smoga adek saya kembali riang dengan "hiburan" makanan dan minuman yang ada.. semoga..

….......................................................................

Ah hari itu saya semakin sadar bahwa pendidikan indonesia masih sangat lama untuk setara antar semua daerah. Hari ini hari yang memberikan kesadaran lebih bagi saya, hari yang mengembalikan segala ingatan saya akan pendidikan (murid-muridku diujung sana sehatkah kalian?kerjanya lancar?keluarga kalian??) dan juga hari yang semakin membulatkan tekad saya untuk membangun pendidikan setara di daerah saya, semoga cita-cita ini diridhoi oleh sang maha kuasa..amiinnn ya allah..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun