Sore itu salah satu adek kelas saya (walau beda jurusan) datang bertandang untuk bercerita kepada sya, ceritanya sederhana saja tentang rencana TA nya. TA dimana dia merancang suatu program sehingga seorang pengajar bisa memantau dan mengajar melalui perantara media komputer. Adek kelas saya memasang empat kamera diruang kelas dan satu kamera untuk pengajarnya memantau keadaan kelas dan berceloteh berinteraksi mengenai pelajaran.
“wah bagus juga, setidaknya para pengajar bisa mengajar walau dia sedang berhalangan di suatu tempat. Apalagi pengajar-pengajar dikota bisa ikut nimbrung didesa via programnya”. Kurang lebih begitu pikiran saya, jadi saya dukung saja rencananya untuk segera merealisasikannya. Berkata bahwa idenya itu brilian dan akan di ACC langsung saat dipresentasikan. Wajah adek saya sumringah, buncah dengan rasa keyakinan dan pasti bisa melakukannya.
Besoknya adek saya ini datang lagi. Bermuka sendu. Lesu, sudah macam orang patah hati ditolak kekasih saja parasnya. Belum sempat bertanya adek saya ini sudah berkata.
“k, rencana batal. Adek musti nyari ide yang lain. Tadi konsul sama profesor anu tidak disetujui”.
Buseeet, sya langsung duduk serius. Baru konsul saja sudah tidak disetujui? Ku pasang muka berkerut. Membenahi posisi duduk dan langsung bertanya apa alasannya sehingga ACC itu tak datang untuk idenya.
Selidik punya selidik. Sang profesor memberikan alasan, bahwa tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran langsung seorang pengajar di tempatnya. Walau ada empat kamera juga tetap tak akan terpantau semua muridnya, lagian bisa pecah konsentrasi pengajar kalau memperhatikan empat tampilan kamera sekaligus. Plus saat pengajar menjelaskan melalui kamera dan murid memperhatikan melalui layar monitor, bagaimana seorang murid bisa menginterpretasikan kalau sang pengajar sedang memperhatikannya? Apa tau murid anu bahwa sang pengajar sedang mendelik memandang dia? Dan itulah garis besar kenapa rencana itu ditolak dengan gemilangnya.
Oi, sya benar-benar terpaku dibuatnya. Terpaku oleh kebenaran hal yang dikatakan oleh sang profesor itu. Tapi ada yang lebih menggelitik lagi saat saya terkenang akan beberapa fakta kecil di dunia pendidikan di Indonesia.
Fakta apa? Fakta bahwa sedikit sekali pengajar berkualitas baik dan memiliki kompetensi baik (lulusan universitas ternama, ikut organisasi A, B dan yang lainnya, belum menghitung prestasi-prestasinya) yang mau “nyungseb” di desa atau daerah-daerah pedalaman lainnya. Guru rata-rata memilih mengadu nasib dikota, mengajar disana. Selain itu, berapa jumlah persentase doktor ataupun professor yang mengajar di suatu provinsi kecil?? sedikit sekali. Rata-rata memilih untuk mencari pengalaman mengajar di tempat yang lebih bergengsi.
Dengan menggabungkan fakta itu dan kejadian yang menimpa adek kelas saya maka saya mendapatkan suatu kesimpulan yang membuat miris hati sya. Sedikitnya jumlah guru di daerah, sedikitnya jumlah doktor maupun profesor , sedikitnya jumlah pengajar di daerah ini harus dipecahkan oleh apa?
Memang tak ada yang salah untuk pengajar mengadu nasib dan mencari kesempatan hidup yang lebih baik di kota, tapi kalaulah kehadiran seorang pengajar itu tidak bisa tergantikan kita harus berbuat apa? Saya sempat berfikir bahwa mungkin rencana TA adek saya ini bisa memecahkan masalah itu, tak perlu mengundang guru-guru, profesor, maupun doktor, cukup menggunakan programnya, setting ini itu. Maka sang pengajar itu bisa berbagi ilmu dengan murid-murid di desa atau pedalaman daerah, tak perlu naik turun gunung, tak perlu menyebrang sungai, dan yang lainnya. Bukankah hal ini bisa mengatasi sedikitnya jumlah pengajar berkualitas, dan juga bisa membantu mengatasi sedikit ketimpangan kualitas ilmu yang terjadi di daerah-daerah.
Mirisnya dibagian mana? Dibagian bahwa TIDAK ADA PROGRAM YANG BISA MENGGANTIKAN GURU atau PENGAJAR di kelas. Lah kalau semua pengajarnya jauh gimana? Kalau pengajarnya rata-rata gak mau susah datang atau malah netap didaerah kita harus berbuat apa? Program kayak TA adek saya juga gak boleh dipakai karena alasan interaksi langsung pengajar dengan murid itu tak tergantikan. Tapi pengajar dengan skill dan kompetensi tinggi rata-rata mau mengabdi kota disana.. Miris bak buah simalakama, dimakan mati emak tidak dimakan mati bapak (atau kebalik ya?lupa-lupa ingat saya..)