Mohon tunggu...
Media Digital
Media Digital Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Sederhana aja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Beda Jokowi dan SBY dalam Pendekatan Politik: Pragmatis Vs Idealis

22 Oktober 2023   15:35 Diperbarui: 22 Oktober 2023   15:48 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu seputar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batasan usia minimum calon wakil presiden (cawapres) terus menjadi perdebatan yang memicu kontroversi.

Selain berbagai pertimbangan bahwa putusan MK ini menimbulkan kebingungan, banyak yang menduga bahwa keputusan tersebut dapat membantu memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk menjadi cawapres.

Kabar menyebutkan Gibran sedang didorong untuk maju sebagai cawapres, mendampingi Prabowo Subianto.

Namun, Gibran sendiri membantah bahwa keputusan MK ini hanya memberi keuntungan padanya. Menurutnya, ada banyak kepala daerah lain yang juga diuntungkan oleh keputusan MK tersebut.

Presiden Jokowi pun memilih untuk tidak memberikan komentar terkait keputusan MK yang dianggap hanya menguntungkan anak sulungnya.

Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa dia tidak ikut campur dalam keputusan MK tersebut, meskipun ada fakta bahwa Anwar Usman, adik iparnya, menjabat sebagai Ketua MK.

Namun, di tengah berbagai pertanyaan dan ketidakpastian, banyak pihak menganggap keputusan MK ini telah direncanakan untuk menguntungkan keluarga Jokowi.

Menariknya, sejarah telah menunjukkan bahwa bukan kali pertama keluarga presiden atau mantan presiden didorong untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.

Pada Pilpres 2014, misalnya, istri Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ani Yudhoyono, juga pernah dipertimbangkan untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden.

Namun, pada saat itu Ketua Umum Partai Demokrat, SBY lebih memilih untuk menggunakan mekanisme konvensi dalam menentukan calon presiden.

Keputusan MK mengenai batasan usia cawapres dipandang oleh publik sebagai upaya untuk menguntungkan keluarga Jokowi. Dengan demikian, banyak yang menilai bahwa Jokowi adalah seorang pemimpin yang pragmatis.

Pragmatisme dalam politik adalah pendekatan yang menekankan pada kebijaksanaan, manfaat praktis, dan efektivitas sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan politik, tanpa terlalu mempertimbangkan ideologi atau prinsip moral yang ketat.

Dalam konteks ini, tindakan pragmatis dalam politik menekankan pentingnya mencapai tujuan politik dengan cara yang dianggap paling efektif, terlepas dari pertimbangan etika atau prinsip yang mungkin menghambat pencapaian tujuan tersebut.

Dengan merujuk pada konsep ini, keputusan MK terlihat sebagai wujud pragmatisme politik Jokowi untuk mendukung Gibran sebagai cawapres, karena dianggap sebagai cara yang paling efektif dalam mencapai tujuan politiknya.

Meskipun banyak yang mengkritik Jokowi karena tampaknya tidak memperhitungkan etika politik dan dikhawatirkan membangun dinasti politik, yang mungkin merusak iklim demokrasi.

Sikap pragmatis Jokowi juga tampaknya mempertimbangkan popularitas Gibran sebagai seorang pemimpin muda yang sedang naik daun dan berpotensi melanjutkan legacy politiknya.

Di sisi lain, dalam hal yang berkaitan dengan sikap SBY yang lebih memilih mekanisme konvensi Partai Demokrat, meskipun istri Ani Yudhoyono didorong untuk maju dalam Pilpres 2014, bisa dianggap sebagai tindakan yang lebih idealis.

Idealisme dalam politik menekankan pada pentingnya prinsip-prinsip moral, nilai-nilai etika, dan tujuan yang dianggap sebagai yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat dan negara.

Idealisme dalam politik fokus pada keyakinan bahwa tindakan politik harus selalu diberdayakan oleh nilai-nilai tinggi, seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan kebaikan bersama.

Sebagai akibatnya, SBY mungkin lebih memprioritaskan etika dan prinsip moral daripada tindakan politik yang mungkin berdasarkan pertimbangan keluarga atau kepentingan politik.

Perbedaan dalam pendekatan dan pandangan antara Jokowi dan SBY tentang dorongan untuk mencalonkan keluarga mereka dalam pemilihan presiden mencerminkan beragam gaya kepemimpinan dan cara mereka menanggapi peristiwa politik.

Selain itu, perbedaan ini juga mencerminkan pandangan mereka terhadap manfaat politik.

Jokowi mungkin melihat pencalonan Gibran sebagai langkah cerdas dan strategis dalam politik.

Sementara itu, SBY mungkin lebih memilih untuk mempertimbangkan etika dan prinsip moral dalam pengambilan keputusan politiknya.

Namun, perbedaan pandangan antara Jokowi dan SBY juga mencerminkan debat yang tengah berlangsung di kalangan elite politik Indonesia mengenai etika dan transparansi dalam proses pemilihan umum.

Sementara Jokowi mungkin melihat pencalonan Gibran sebagai peluang untuk mencapai tujuan politiknya, SBY percaya bahwa etika dan prinsip moral harus selalu menjadi landasan dalam politik.

Namun, perdebatan ini juga menyoroti pentingnya transparansi, integritas, dan penerapan etika dalam politik.

Keputusan tentang pencalonan seseorang seharusnya didasarkan pada kemampuan, integritas, dan komitmen mereka untuk melayani masyarakat, bukan sekadar hubungan keluarga atau pertimbangan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun