Partai Golkar telah mengusulkan dan memberikan dukungan kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi calon presiden, Prabowo Subianto, dalam Pemilihan Presiden 2024. Pengumuman ini disampaikan dalam Rapimnas Golkar yang berlangsung pada hari Sabtu (21/10) kemarin, di mana Gibran turut hadir.
Meskipun pertemuan antara Gibran dengan Ketua Umum Partai Golkar dan PAN adalah hal yang biasa dalam dunia politik, ada pertimbangan etika politik yang perlu diperhatikan ketika pertemuan tersebut membahas dukungan atau deklarasi dari Golkar dan PAN terhadap Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Gibran adalah seorang kader aktif PDIP, sementara Golkar dan PAN adalah bagian dari koalisi yang mendukung Gerindra.
Sebelumnya, PDIP telah mendeklarasikan pasangan calon presiden dan cawapresnya untuk Pemilihan Presiden 2024, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud Md. Oleh karena itu, keputusan Partai Golkar untuk mendukung Wali Kota Solo ini sebagai pasangan Prabowo dapat dilihat sebagai langkah yang tidak tepat.
Gibran adalah seorang kader dari PDIP dan juga masih menjabat sebagai Wali Kota. Oleh karena itu, dari segi hukum, dia adalah kader PDIP yang mencalonkan diri untuk PDIP.
Dalam konteks ini, partai-partai yang mengambil kader dari partai lain tanpa izin atau kesepakatan dengan partai asal menimbulkan pertanyaan tentang etika dalam pengelolaan organisasi partai.
Seharusnya, partai-partai politik seharusnya memajukan kader-kadernya sendiri sebagai pemimpin dan tidak mengambil kader dari partai lain, terutama jika mereka berasal dari koalisi yang berbeda.
Apabila Gibran menerima tawaran untuk menjadi cawapres Prabowo, maka etika politik dari putra sulung Presiden Joko Widodo ini juga akan dipertanyakan oleh banyak pihak.
Tindakan semacam ini dapat berdampak pada pendidikan politik masyarakat. Publik mungkin akan melihatnya sebagai upaya Gibran untuk mencapai tujuannya dengan cara yang pragmatis demi meraih kemenangan sebagai cawapres. Selain itu, hal ini juga dapat memicu pertanyaan mengenai dinasti politik.
Keputusan Partai Golkar untuk mendukung Gibran sebagai cawapres mencerminkan kurangnya semangat demokrasi dan pertumbuhan politik dinasti. Ini bisa dinilai sebagai langkah yang melawan semangat reformasi, dan kemungkinan besar akan mengecewakan dan memicu kemarahan di kalangan publik atas keputusan tersebut.
Seharusnya, Partai Golkar seharusnya menunjukkan semangat demokrasi dengan menghindari politik dinasti. Pengembangan kader di Partai Golkar harus lebih representatif, yang berarti mencalonkan cawapres dari kader-kadernya sendiri, bukan dari partai lain.
Jika Gibran memutuskan untuk maju sebagai cawapres, dia akan harus mengambil cuti dari jabatannya sebagai Wali Kota, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang PKPU. Menurut Pasal 15 PKPU Nomor 19 Tahun 2023, pejabat seperti wali kota tidak perlu mengundurkan diri jika mencalonkan diri sebagai calon presiden atau cawapres.
Namun, ada potensi munculnya masalah lain jika Gibran benar-benar maju sebagai cawapres Prabowo. Sebagai kader PDIP, langkahnya ini dapat menyebabkan konflik dengan partainya, terutama karena PDIP sudah mengumumkan pasangan calon presiden dan cawapresnya untuk Pemilihan Presiden 2024, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud Md.
Gibran sendiri menjadi Wali Kota Solo setelah memenangkan Pilkada 2020 melalui PDIP, sehingga masalah ini bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi yang lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H