Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Indonesia Nol Emisi, Dimulai dari Mana?

24 Oktober 2021   21:44 Diperbarui: 24 Oktober 2021   22:12 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi emisi karbon mobil (news.ddtc.co.id/diunduh)

INDONESIA tengah berupaya memenuhi komitmen National Determine Contribution (NDC), terkait penurunan emisi karbon yang disepakati dalam Paris Agreement. Sebelumnya, program Langit Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menguat awal tahun 2021 ini.

Belum terlambat memang, meski gagasan-gagasan tentang ekologi ramah lingkungan yang bebas polusi sudah lama disuarakan sebelumnya. Tetapi, komitmen ini perlu diupayakan dengan lebih sungguh-sungguh. Paling tidak, melalui skenario kebijakan net zero emission atau emisi nol karbon hingga 2045 mendatang.

Karuan saja, sebagai negara dengan jumlah populasi sangat besar, Indonesia memang punya riwayat panjang penggunaan bahan bakar yang banyak mengandung karbon bagi kehidupan ekonomi penduduknya. Emisi gas buang dari kendaraan dengan bahan bakar tinggi karbon yang digunakan ini menjadi sumber utama polusi udara di langit kita.

Lihat saja, data Indeks Kualitas Udara IQAir United States yang pernah dilansir laman www.iqair.com. Didapati, kualitas udara di kota Jakarta (Indonesia) termasuk zona oranye, menduduki peringkat ke-6 dengan nilai 138. Peringkat ini sama dengan di New Delhi (India), yang juga termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Sementara, beberapa negara penghasil minyak seperti Uni Emirat Arab dan Afganistan, justru masih di bawah Indonesia. Artinya, kualitas udaranya masih lebih bagus dibanding di negara kita.

Faktanya, tingginya pemanfaatan bahan bakar dan emisi ini nyata-nyata telah memicu perubahan iklim tidak menentu dengan cepat. Emisi karbon termasuk penyumbang terbesar terjadinya pemanasan global (global warming), selain panas akibat dari efek Gas Rumah Kaca. Dampaknya, kualitas udara tidak bagus, siklus cuaca tidak menentu, hingga bencana kekeringan dan kelaparan atau bahkan banjir.

Kurangi Ketergantungan Karbon
Tahukah kita, bahwa emisi karbon merupakan salah satu penyumbang pencemaran udara, yang berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan? Emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon. Contoh dari emisi karbon ialah CO2, gas pembuangan dari pembakaran bensin, solar, kayu, daun, gas LPG, dan bahan bakar lainnya yang mengandung hidrokarbon.

Lalu, apakah kita benar-benar bisa menghindari senyawa karbon dalam kehidupan sehari-hari? Sejauh mana kontribusi penggunaan karbon bagi perekonomian per kapita? Pertanyaan-pertanyaan di atas memang menjadi kajian penting dalam kaitan mewujudkan Net-Zero Emissions (NZE).

Senyawa karbon diantaranya bisa berupa alkana, ataupun alkena. Secara definitif, alkana terkandung dalam bahan bakar, juga sebagai bahan pelarut organik, sumber hidrogen, serta pelumas. Sementara, alkena banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan plastik.

Ini artinya, pemanfaatan karbon banyak terkandung dalam kegiatan produksi produk-produk konsumtif yang hampir tiap hari dimanfaatkan manusia. Seperti makanan kemasan, kosmetik, ataupun produk-produk kimia dan non-organik lainnya.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas merilis, harus dilakukan penurunan intensitas energi secara signifikan hingga tingkat efisien energi rata-rata berada di kisaran 6-6,5 persen. Dan tingkat efisiensi energi saat ini yang masih berada di kisaran 1 persen.

Kabar menggembirakan terjadi di balik pandemi hampir dua tahun terakhir. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), didapati pada 2020 lalu, emisi fosil menurun 7% dibandingkan tahun sebelumnya karena pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi global. Padahal, dalam kurun 1990 sampai 2019, emisi mencapai 38 gigaton karbondioksida. Angka menunjukkan terjadi kenaikan rata-rata 0,9% per tahun dalam satu dekade terakhir.

Bisa jadi, tren emisi fosil yang turun lumayan signifikan ini sebagai sebuah optimisme bagi terwujudnya Net Zero Emissions. Akan tetapi, tentu saja berkurangnya emisi atau gas buang dari bahan bakar ini bukan sebagai bonus semata, sebagai faktor keberuntungan situasi pandemi.

Karena itu pula, NZE butuh kerja keras dan tidak sebatas imbauan atau upaya penyadaran moral. Dekarbonasi menuju nol emisi harus menjadi upaya konkret yang didukung regulasi sistemik yang bersifat memaksa. Keduanya harus ditempuh dalam proses yang tidak singkat, hingga tahapan dan titik tujuan akhir tercapainya NZE pada 2070 mendatang.


Transisi upaya dekarbonasi memang sudah dilakukan pemerintah, dan ini bisa menjadi kebijakan sistem energi lebih menyeluruh nantinya. Melalui ketentuan perpajakan misalnya, kini sudah diatur untuk kendaraan bermotor yang sudah tua. Pajak juga dikenakan pada kendaraan yang terlalu banyak mengeluarkan emisi gas buang, yang bisa mengotori udara kita. Berkurangnya emisi yang terbuang dari kendaraan tua ini, diyakini akan bisa mengurangi polusi. Termasuk, mengurangi penggunaan bahan bakar rendah oktan melalui pengurangan subsidi BBM dan alternatif Energi Terbarukan.

Berbagai alternatif solusi sudah menjadi atensi untuk bisa diterapkan nantinya untuk mengurangi emisi karbon. Terdapat empat pilar penting yang mampu mendukung upaya dekarbonasi dalam sistem energi di Indonesia. Yakni, energi terbarukan, elektrifikasi, mengurangi penggunaan bahan fosil, dan penggunaan bahan bakar bersih.

Mulai dari Pribadi dan Lingkungan
Mewujudkan upaya dekarbonasi di atas tentu saja bukan perkara mudah dan butuh proses panjang. Banyak kendala yang harus diantisipasi dan disikapi pemerintah, termasuk bagaimana mendorong kontribusi rakyat untuk secara perlahan-lahan mengurangi ketergantungan pada karbon dalam kesehariannya.

Dalam kaitan ini, transisi penggunaan bahan bakar bersih dan menurunkan pemakaian bahan bakar fosil adalah yang paling mudah, sekaligus mendesak dilakukan. Semakin rendah mobilitas dan pemenuhan konsumsi penduduk yang menggunakan energi karbon, maka mencapai nett emission akan lebih cepat. Pun, sebaliknya.

Kesadaran masyarakat untuk bertransisi ke produk-produk ramah lingkungan juga menjadi tantangan nyata mencapai Net-Zero Emission (NZE). Nah, dalam konteks mempercepat pencapaian NZE, maka bisa dimulai dari pribadi atau diri sendiri dan keluarga. Pemahaman edukasi berbasis keluarga terkait energi ramah lingkungan dan emisi perlu banyak-banyak dilakukan.


Pemahaman ini sangat penting, karena penggunaan bahan bakar dan senyawa karbon juga banyak terjadi di rumah tangga. Karuan saja, keduanya berkaitan dengan mobilitas kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat sehari-hari. Perpindahan bahan bakar minyak tanah memang sudah banyak berkurang, berganti bahan bakar gas elpiji. Tetapi, ini belum diikuti dengan pola kebiasaan lain untuk lebih hemat energi, terlebih emisi yang berkarbonasi.

Kebiasaan memanaskan makanan harus dihilangkan. Selain tidak menyehatkan, makanan lama yang sering dipanaskan akan memicu pemanasan yang menyebabkan gas karbon. Begitu juga, sering menyimpan menggunakan alat pemanas dari listrik, bisa menimbulkan emisi karbon yang meningkat.

Mengurangi penggunaan plastik juga menjadi cara agar penggunaan karbon juga berkurang. Kandungan alkena dalam karbon yang banyak digunakan sebagai bahas dasar pembuatan plastik, akan menyusut manakala masyarakat sendiri mengurangi bahan kemasan dari plastik. Apalagi, jika menjadi sampah berlebih, bahan plastik ini juga bisa merusak lingkungan karena sulit terurai.

Cukup besarnya kontribusi emisi karbon dari transportasi ini nyata. Maka, berkendara dengan bijak juga bisa didorong untuk mengurangi gas buang kendaraan bermotor. Ini bahkan bisa dimulai dari pengendara sendiri. Saat antrean mengular di stasiun pengisian ulang bahan bakar (SPBU) misalnya, alangkah lebih baiknya kendaraan dimatikan sambil menunggu giliran diisi. Bila perlu, pihak SPBU juga bisa mengeluarkan peraturan bagi konsumen untuk mematikan mesin kendaraannya. Kampanye Matikan Mesin bisa dibangun sebagai gerakan komunal mengurangi emisi karbon berlebihan di jalan.

Dalam konteks lebih luas, kebijakan bebas asap kendaraan juga bisa terus digalakkan. Seperti melarang lalu lintas kendaraan bermotor (car free) di ruas jalan sepanjang kawasan ruang publik saat hari-hari tertentu. Jika berkepentingan jarak dekat atau santai, sebisa mungkin kita juga tidak menggunakan kendaraan bermotor untuk memenuhinya. Sekadar beli makanan ringan di warung tetangga, maka tidak perlu berkendara bermotor.

Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan total emisi karbon dioksida (CO2) mencapai 33,9 gigaton (Gt) sepanjang 2020. Sebanyak 13,5 Gt di antaranya berasal dari listrik dan pemanas, dan menjadi yang paling banyak dibandingkan sumber lainnya. Selain industri, transportasi juga menyumbang emisi karbon sebesar 7,2 Gt. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun