foto ilustrasi pasien Covid-19 (wartaekonomi.co.id/diunduh)
MENCEKAM! begitu gambaran yang bisa dirasakan dalam berbagai obrolan publik, menyusul situasi pandemik yang terjadi hampir sebulan terakhir. Kata yang menggambarkan ketakutan berlebihan ini juga kerap terlontar akhir-akhir ini, bersamaan status darurat yang ditetapkan pemerintah akibat lonjakan kasus covid-19 beberapa pekan terakhir.
Dalam beberapa grup whatssap yang penulis ikuti di dua daerah berbeda, hampir tiap hari muncul isi obrolan tentang berita kematian. Jumlahnya bisa 3-4 kali dalam sehari, dan sebagian besar dibarengi informasi pengobatan dan protokol covid-19 pada kasus kematiannya. Sebagian yang wafat, juga masih dalam satu keluarga atau sepasang suami-siteri.
Lebih memprihatinkan juga, didapati informasi lonjakan pasien terkonfirmasi covid-19 dimana-mana, dan harus ditangani rumah sakit. Mirisnya, kondisi pasien kurang tertangani di ruang khusus ICU Screening, karena memang jumlahnya sangat membeludak.
Pihak rumah sakit rata-rata sudah tidak bisa menampung sebenarnya. Akan tetapi, tidak serta merta bisa menolak karena menjadi hak pasien untuk bisa mendapatkan pelayanan dan penanganan medis. Shelter pasien khusus yang tidak lagi memadai, mengharuskan para pasien ini ditangani di tempat seadanya, bahkan sampai teras ruang atau lorong rumah sakit.
Prihatin kondisi mencekam ini, seperti juga yang dialami Heru Totok (52), yang kebetulan harus banyak di berada di rumah swasta di Kota Malang, karena harus menunggui ibunda. Dalam masa PPKM Darurat sejak 3 Juli 2021, pemandangan hilir mudik ambulans didapatinya masuk dan keluar kompleks rumah sakit ini.
Heru Totok sendiri sempat beberapa waktu menjadi tenaga relawan Satgas Covid-19 di wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Malang. Mulai sosialisasi dan razia kerumunan, hingga ikut pemulasaran jenazah pasien terkonfirmasi positif Covid-19, pernah dilakoninya.
Atas lonjakan kasus covid-19 yang terus mengkhawatirkan ini, sebagai warga biasa sekaligus relawan, ia punya sejumlah harapan terkait pengendalian dan penanganan pandemi dan darurat kesehatan ini. Mulai penanganan pasien covid-19, vaksinasi, hingga kebijakan terkait PPKM Darurat Jawa-Bali, yang masih berlangsung hingga 20 Juli mendatang.
Menurut Heru Totok, kondisi lonjakan kasus terkonfirmasi dan angka kematian covid-19 kini tak bisa lagi diremehkan. Warga masyarakat harus bisa dijamin aman kesehatannya dengan sigap dan tepat.
"Kesiapan pemerintah kini sangat dibutuhkan, pasien wajib diterima dan mestinya tidak ada alasan penuh atau tak bisa dilayani. Vaksinasi (anti-Covid-19) juga harus dipercepat, jangan berdalih diberikan bertahap atau bahkan karena alasan tidak cukup dana untuk vaksin," harap Totok, Sabtu (13/7/2021).
Kegundahan dan harapan Heru Totok ini memang cukup beralasan, dan bisa mewakili suara semua masyarakat. Jika dirunut, ada sebuah pertalian antara kebijakan vaksinasi dengan angka kematian terkonfirmasi covid-19 beberapa waktu terakhir. Pemerintah memberi prioritas vaksin covid-19 pada lansia (usia 50 tahun ke atas), dan angka meninggal didominasi kelompok usia ini.
Entah fakta ini kebetulan atau tidak. Akan tetapi, kebijakan terhadap lansia ini tentunya berdasar dan menjadi upaya antisipatif yang sudah diprediksi sebelumnya. Imunitas tubuh kelompok lansia lebih rentan, dan rata-rata memiliki penyakit komorbid yang akan membahayakan jika sudah terpapar dan terinfeksi virus bernama SARS-Cov-2 ini.
Masalahnya kemudian, apakah vaksinasi sudah berjalan dengan maksimal? Contoh kasus di Kabupaten Malang misalnya, sesuai data Dinas Kesehatan setempat per 13 Juni 2021 lalu, masih sekitar 30 persen sasaran vaksinasi yang sudah tercover vaksin sejak program ini diluncurkan pemerintah.
Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Malang memastikan, sejumlah 33.640 orang sudah tervaksin covid-19, dari total sasaran vaksin 123 ribu lansia (per 13/6/2021). Sempat dijadualkan vaksinasi masal sebelumnya, namun akhirnya harus ditunda dengan berbagai pertimbangan.
Kadinkes drg Arbani Mukti Wibowo, sempat membenarkan hal ini dengan alasan menunggu persiapan lebih matang. Diantaranya, terkait pendataan sasaran, dan pendaftaran secara online agar sasaran bisa terbagi agar tidak terjadi penumpukan peserta. Pihaknya juga masih harus mempersiapkan petugas vaksinator. Ini dilakukan agar prokes tetap terjaga pada saat pelaksanaan vaksinasi.
Belum kelar soal vaksinasi lansia ini, masyarakat sudah keburu diterpa kepanikan soal informasi sejumlah varian baru virus penyebab Covid-19. Salah satunya, varian Delta yang disebut-sebut lebih ganas dan membahayakan. Dan kini, pemerintah tengah sibuk mempersiapkan vaksin baru dengan prioritas sasaran anak-anak, usia 14 tahun ke atas.
Situasi darurat pandemi kini lebih mengkhawirkan, ketika bersamaan lonjakan kasus covid-19 ini ketersediaan tabung dan ventilator oksigen di rumah sakit menjadi langka, jumlahnya tak sebanding yang dibutuhkan pasien. Ini diperparah lagi, ketika tabung ini sulit dicari di pasaran. Entah karena latah panik berlebihan, atau memang ada yang sengaja memanfaatkan situasin krisis ini.
Situasi karena kepanikan seperti ini memang bukan fenomena baru. Kita ingat, dalam beberapa kali situasi krisis atau menjelang momen tertentu, bagimana BBM atau beberapa kebutuhan pokok sulit didapatkan. Jika ada, dipastikan harganya selangit dan mencekik rakyat kecil yang membutuhkan.
Dalam konteks sulitnya tabung oksigen (ventilator), setidaknya memunculkan pertanyaan: bagaimana sebenarnya alat kelengkapan kesehatan di rumah sakit? Berkaca pada pelayanan rawat inap, maka ada standar rasio tempat tidur pasien (BOR) rawat inap yang harus tersedia. Lalu, bagaimana dengan alat ventilator dan tabung oksigen?
Faktanya, alat ventilator sangat penting karena dibutuhkan semua pasien dengan gejala sakit yang berhubungan dengan suplai oksigen dalam tubuh. Ini biasanya karena penyakit jantung maupun ada masalah di paru-paru. Akan tetapi, ventilator memang butuh ruangan tersendiri, sehingga tidak semua rumah sakit mampu menyediakannya.
Ada sebuah pernyataan menarik soal melonjaknya pasien di rumah sakit akhir-akhir ini. Guru Besar Keamanan Pangan dan Gizi, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Prof Ahmad Sulaeman menyebutkan, meningkatnya jumlah pasien pascalebaran terjadi hampir setiap tahun. Rata-rata peningkatannya hingga 20 persen, dan didominasi kasus diabetes dan hipertensi. Hal ini karena kebiasaan buruk pola makan yang tidak terkontrol (dilansir Antara, 20 Juni 2019).
Pertanyaan selanjutnya layak dikemukakan, apakah rumah sakit tidak cukup mampu menyediakan tabung dan ventilator lebih banyak? Apakah Dana Kapitasi yang sudah disediakan pemerintah sejak beberapa tahun terakhir, tidak cukup membantu kelengkapan alat kesehatan vital ini?
Terlepas hal ini, pada waktu bersamaan terjadi klaim pembiayaan Covid-19 sangat besar yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Seperti dilansir di beritasatu.com, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Senin (5/7/2021) menyebutkan, total pengajuan klaim Covid-19 periode 28 Januari 2020 sampai 19 Juni 2021 sebanyak 1.044.855 kasus, dengan klaim biaya sebesar Rp 61,4 triliun. Dari angka tersebut, telah selesai diverifikasi 958.210 kasus dengan biaya Rp 58,6 triliun (95,46%).
Memang ada kesan semrawut dan kewalahan pemerintah menghadapi ledakan kasus covid-19 kini. Sebagian kalangan, bahkan menganggap ini sebagai kegagalan pemerintahan Joko Widodo mengendalikan pandemi. Tak terkecuali, pemberlakuan PPKM Darurat Jawa-Bali yang bakal diperpanjang waktunya, masih tidak terlepas dari kritik, bahkan meluas menjadi protes kalangan rakyat kecil.
Bagi akal waras, situasi pandemi sangat darurat ini menganggap kurang pas, terlebih untuk saling menyalahkan dan menyudutkan. Dengan keyakinan ilahiyah kuat, banyak juga yang memaknai lonjakan pandemi ini dengan tawakkal, selain berbagai ikhtiar yang sudah dilakukan.
Belum lagi, informasi hoaks dan yang masih diragukan kebenarannya, banyak berseliweran di tengah kegaduhan lonjakan kasus pandemi Covid-19 ini. Khalayak yang cepat percaya dan menelan mentah-mentah kabar hoaks ini pun dibuat menjadi tambah panik. Kepanikan yang juga diperparah dengan latah menyebarkan informasi yang masih harus dikonfirmasi kebenarannya tersebut. Â
Semua kepanikan berlebihan, atau sebaliknya keras kepala menyepelekan, memang tak lepas dari latar belakang khalayak yang ada. Apalagi, bangs Indonesia memang punya populasi besar, dengan beragam sosiokultur dan keyakinan.
Yang pasti, masih ada harapan mengatasi pandemi yang semakin meresahkan kini. Vaksinasi Sinovac telah dijamin, dan pemerintah sudah mendatangkan tabung oksigen bantuan negara lain. Semua lintas sektor juga sudah digerakkan membantu vaksinasi, mulai TNI-Polri, BUMN, hingga organisasi kemasyarakatan.
Berbagai pengalaman gagap dan tidak sinkron pengendalian pandemi Covid-19 oleh pemerintah mestinya tidak terjadi lagi di kemudian hari. Angka kasus yang dirilis sewaktu-waktu bisa lebih dikelola, karena yang lebih penting dikedepankan adalah aksi nyata penanganan kasusnya.
Tidak perlu lagi ada heboh kalau itu hanya soal data tracing kontak erat atau suspek. Tetapi, bagaimana hasil tracing ini sudah diberi asessmen jauh-jauh hari. Konsentrasi pengendalian penularan dan penyelamatan kepada yang sudah jelas terinfeksi dan terkonfirmasi positif, lebih darurat dan semestinya didahulukan. Daripada sibuk penyekatan wilayah atau jalan dan kerumunan, tetapi belum jelas status kesehatannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H