Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Data dan Fakta Populasi Indonesia Kini! Bonus Demografi Nanti?

13 Juli 2021   22:14 Diperbarui: 13 Juli 2021   22:32 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi antrean pelamar pekerjaan (republika.co.id/diunduh)

HINGGA Juli 2021 ini, tercatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 271,34 jiwa. Jumlah populasi yang tidak sedikit yang akhirnya juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia. Bagaimana fakta populasi Indonesia kini?

Sejak beberapa tahun terakhir, perkiraan bonus demografi juga sudah disebut-sebut sebagai kenyataan yang bakal dihadapi Indonesia. Puncaknya, diprediksi terjadi pada tahun 2030 sampai 2040. Angka demografi yang sejatinya bisa menjadi modal sosial sekaligus pasar yang prospektif di masa-masa mendatang.

Karuan saja, berdasarkan hasil Sensus Penduduk BPS 2020 yang dirilis September 2020, Indonesia masih dalam masa bonus demografi dengan jumlah populasi usia produktif (15-64) sebesar 70,72 persen. Dari angka ini, tercatat populasi generasi milenial (usia 24-39 tahun) sebesar 25,87 persen.

Angka dan fakta populasi di Indonesia ini pun kemudian menjadi dasar sekaligus obyek berbagai kebijakan dan program pemerintah hingga level terbawah dari tahun ke tahun. Sebut saja, soal ketahanan (ekonomi dan pangan), kesejahteraan (kesehatan dan pendidikan), jaminan sosial, hingga kemaslahatan hidup di semua lini dan sendi lainnya.

Kebijakan ini memang selaras dengan cita-cita dan tujuan bangsa sejak era pendahulu (founding fathers). Yakni, terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, mandiri dan berdikari, melalui pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya.

Nyatanya, Indonesia kini tengah menghadapi situasi sulit dan tak normal darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19, yang berlangsung sejak awal 2020 lalu. Apa yang dialami masyarakat Indonesia sebelumnya menjadi terpolarisasi, atau bahkan terdegradasi, karena terdampak situasi ketidaknormalan pandemik ini. Populasi yang besar ini menjadi keuntungan?

Bagaimana potret kondisi populasi Indonesia kini, setidaknya selama pandemi yang terjadi sejak awal 2020 lalu? Berikut data dan faktanya:

# Ter-PHK dan Pendapatan Menurun
Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan Survey Sosial Demografi Dampak Covid-19 akhir tahun lalu. Jumlah respondennya diklaim mendekati jumlah reponden survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2019 lalu.

Hasilnya, dari sejumlah 27.379 responden, tercatat sebanyak 786 diantaranya bekerja di sektor pariwisata. Paling terdampak adalah yang bekerja di penyediaan akomodasi dan kebutuhan kuliner, dimana 70,82 persen mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Sektor paling terdampak lainnya akibat pandemi Covid-19 adalah jasa transportasi dan pergudangan. Didapati, setidaknya 62,60 persen dari responden yang bekerja di bidang ini juga mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Data hasil survey demografi dampak Covid-19 BPS  ini juga menunjukkan, menjadi koban pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar, baik permanen atau diberhentikan sementara.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) penduduk usia 15-24 tahun merupakan kelompok pengangguran tertinggi, jumlahnya mencapai 20,46 persen per Agustus 2020. Angka itu naik 1,77 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

ilustrasi antrean pelamar pekerjaan (republika.co.id/diunduh)
ilustrasi antrean pelamar pekerjaan (republika.co.id/diunduh)

Sementara itu, angka pengangguran di Indonesia sendiri mencapai 9,77 juta orang, bertambah dari sebelumnya 7,10 juta orang. Tingkat pengangguran penduduk usia muda Indonesia ini disebut-sebut bahkan tertinggi di Asia Tenggara.

# Pasar Empuk Kreditur Keuangan
Indonesia tak hanya terkenal sebagai negara dengan populasi penduduk besar, namun juga diakui memiliki potensi kekayaan dan sumberdaya alam sangat melimpah. Akan tetapi, apakah kekayaan yang dimiliki ini serta merta berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan perekonomian warga negaranya?

Yang pasti, besarnya populasi di Indonesia ini, sejatinya menjadi pasar menjanjikan bagi berbagai penyedia barang kebutuhan atau jasa penunjang keseharian. Sebut saja, kebutuhan barang-barang konsumtif, kesehatan, atau ekonomi penunjang esensial lainnya.

Tercatat, lebih dari 110 juta warga Indonesia menjadi pengguna aktif jasa telekomunikasi, yang banyak menggunakan perangkat gadget atau ponsel pintar. Angka ini bisa terus bertambah, seiring perkembangan teknologi telekomunikasi dan digitalisasi berbagai pelayanan beberapa sektor penting, baik urusan publik, korporasi maupun kebutuhan privat.

Fakta lainnya, karena berbagai alasan ekonomi, sebagian masyarakat Indonesia bisa dibilang demen dan punya ketergantungan pada lembaga keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, hingga Desember 2020, ada pencairan pinjaman baru dari industri fintech lending dengan angka pertumbuhan 26,47 persen secara tahun ke tahun (y-o-y).

Pada waktu bersamaan, Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK mencatat, jumlah pemberi pinjaman dan peminjam juga tumbuh sebesar 18,32 persen, dan menjadi 134,59 persen dalam kurun waktu setahun. Keberadaan lembaga keuangan non bank yang memberi pinjaman secara online (pinjol) disebut-sebut yang memicu kenaikan signifikan masyarakat sebagai peminjam ini. Jumlahnya pernah dirilis hingga lebih dari 3 ribu lembaga pinjol.

Ada mata rantai yang bisa ketemu, antara banyaknya pengguna perangkat telekomunikasi dengan kecenderungan pinjam dana dengan mudah tanpa agunan ini. Apalagi, banyak pinjol kini tidak terlalu ribet untuk bisa memberi pinjaman, cukup melalui berbagai aplikasi digital yang dibuatnya.

Dengan jumlah populasi sangat besar, ditambah kebiasaan mengakses aplikasi telekomunikasi ini, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi pasar empuk dan menjanjikan bagi berbagai penawaran barang/jasa apapun.

Negara memang tidak secara langsung dirugikan dan menanggung permasalahan akibat tren naik pinjaman pribadi ini. Akan tetapi, setidaknya ini bisa menjadi cerminan, bahwa perekonomian sebagian masyarakat Indonesia tidak cukup kuat, bahkan untuk kelangsungan hidup sendiri sehari-harinya.

# Tanggungan Jaminan Kesehatan
Derajat kesejahteraan masyarakat bisa diukur dari kualitas kesehatannya. Kesehatan yang semakin terjamin, menandakan adanya kualitas hidup masyarakat tersebut.

Data BPJS Kesehatan menunjukkan, sejak diluncurkan 2014 lalu, program JKN-KIS sudah mencakup 223,9 juta warga atau lebih dari 82 persen penduduk Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan yang diaudit per 31 Desember 2019, BPJS Kesehatan membukukan pendapatan iuran peserta sejumlah Rp 111,75 triliun.

Jumlah tersebut, juga diklaim lebih besar dibandingkan dengan beban jaminan kesehatan pada 2019 yang harus dikeluarkan BPJS kesehatan, yakni senilai Rp108,46 triliun. Meski, beberapa tahun sebelumnya BPJS mengaku mengalami defisit karena pendapatan iuran jauh tidak sebanding beban pengeluaran pembiayaan kesehatan yang ditanggungnya.

Bagaimna dengan tahun 2020. BPJS Kesehatan menegaskan, aset netto per 31 Desember 2020 dana jaminan sosial kesehatan masih minus Rp 6,36 triliun. Padahal, arus kas uang yang masuk tercatat ada sekitar Rp 18,74 triliun. Kondisi defisit ini diantaranya dikarenakan masih ada klaim tanggungan yang harus dibayar sejumlah lebih dari RP 25 triliun.

Akan tetapi, dalam penghitungan BPJS Kesehatan, aset dan kondisi keuangan untuk jaminan kesehatanan JKN-KIS dapat dikatakan aman, apabila memiliki minimal kecukupan estimasi pembayaran klaim selama satu setengah bulan ke depan waktu berjalan. Aset untuk pembayaran klaim 1,5 bulan ke depan ini setara sekitar Rp 13,93 triliun.

Dari kondisi ini, bisa disimpulkan juga bahwa populasi besar Indonesia masih menyisakan beban penjaminan kualitas hidup kesehatannya. Apalagi, besaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan disebut-sebut masih mendapatkan suntikan subsidi negara, terutama untuk golongan peserta mandiri Kelas II dan III.

# Kemandirian Berwirausaha Kurang
Indonesia boleh mempunyai jumlah penduduk sangat besar, dan menduduki 5 besar peringkat negara dengan populasi terbesar dunia. Akan tetapi, soal kemandirian dan potensi berwirausaha warganya, masih kurang dari 5 persen dari total penduduknya.

Tepatnya, tercatat masih sekitar 3,47 persen saja atau setara 8 juta lebih penduduk Indonesia yang berwirausaha. Angka ini bahkan tertinggal dari sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara. Seperti, Malaysia dan Thailand, tingkat kewirausahaanya sudah berada di sekitar 4,74 persen dan 4,26 persen. Sedangkan, Singapura menjadi yang tertinggi yakni sebesar 8,76 persen.

Meski begitu, Kementerian BUMN pernah merilis, ada potensi cukup besar dari sektor kewirausahaan ini. Ini ditunjukkan dengan tumbuhnya sejumlah startup atau wirausaha pemula di Indonesia. Hingga saat ini, ada setidaknya kepemilikan 2.219 startup di Tanah Air, yang menjadikan Indonesia masuk lima negara dengan statrup terbanyak.

Apakah kemunculan banyak wirausaha (startup) ini bisa menjadi kekuatan kemandirian dan kesejahteraan perekonomian bangsa Indonesia ke depan? Tentu saja, iya!
 
Digitalisasi dan dorongan sektor industri kreatif disebut-sebut bisa mendorong tumbuhnya wirausaha-wirausaha baru ini. Tinggal masalahnya, sejauh mana bangsa Indonesia, khususnya generasi milenial, selalu mendapatkan ruang dan dukungan berbagai pihak untuk menekuni dan membesarkannya.

Bonus Demografi, Tantangan Lebih Berat
Tahun 2030 mendatang, diprediksi menjadi titik awal didapatkannya bonus demografi dari jumlah populasi Indonesia yang sangat besar ini. Asumsi bonus berarti sebuah keuntungan dari melimpahnya usia produktif yang dimiliki.

Akan tetapi, bonus demografi ini tetap menjadi tantangan, bahkan bisa berubah menjadi ancaman, jika tidak mampu dimanfaatkan dan diberdayakan sebaik-baiknya. Populasi yang harus bisa menjadi entitas dan komunitas kuat lah yang nantinya bisa sebuah keuntungan yang bisa diandalkan nantinya.

Karuan saja, entitas masyarakat usia produktif yang punya kapabilitas, daya juang, dan etos kerja tinggi, yang diharapkan menjadi bonus demografi Indonesia nantinya. Bukan sebaliknya, populasi yang lemah, tak tahan banting, mudah menyerah, dan kurang responsif atau gagap atas segala situasi dan permasalahan yang muncul di sekitarnya.

Dalam konteks ini, situasi sulit dan darurat kesehatan akibat pandemi corona sejak akhir 2019 lalu, nyata-nyata menjadi ujian. Sudah banyak fenomena dan gejala sosial yang muncul karena dampak pandemi yang belum berkesudahan ini.

Kemerosotan ekonomi, produktifitas, hingga ketergantungan banyak dialami masyarakat kita kini. Bangsa Indonesia tengah menghadapi kekacauan berupa ketidaknormalan di hampir semua lini kehidupan. Sebagian masyarakat kita bahkan mengalami keterpurukan dan terjatuh di tengah kekacauan dan ketidaknomalan yang dihadapi.

Empati sosial dan kegotong royongan memang banyak terbangkitkan selama menghadapi momok pandemi ini. Ini cukup mudah karena memang jumlah populasi dengan beragam latar belakang yang dipunyai bangsa ini. Akan tetapi, hanya mengandalkan empati sosial dan kebersamaan gotong royong ini tidak cukup, dan lama kelamaan akan habis.

Sebaliknya, jika yang terjadi adalah ketidaksiapan, akibat kemalasan, rasa pasrah, atau tak cukup kapasitas personal memadai, maka bonus demografi bisa berubah petaka, karena tak mampu menghadapi berbagai krisis dan resesi di kemudian hari.

Akibatnya, bonus demografi di Indonesia justru akan membebani dan menghambat kemajuan negara. Akan muncul lebih banyak pengangguran terbuka, kualitas hidup rendah, atau krisis jati diri dan sosial, yang akan berbahaya bagi generasi berikutnya.

Maka, berpikir strategisnya adalah bagaimana populasi besar yang ada di Indonesia ini tetap tangguh dan memiliki nilai keunggulan yang tetap selalu bisa diandalkan. Bagaimana pula menjadikan bangsa besar ini sebagai pelaku dan agen kemajuan, bukan semata menjadi sasaran pembangunan yang hanya menghabiskan anggaran dari tahun ke tahun.

Wallahu a'lam (*)

Sumber data dalam tulisan ini diambil dari berbagai sumber dan referensi (diolah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun