MEMBINCANG angka pengangguran mungkin membosankan karena selalu muncul dari tahun ke tahun. Pengangguran dan lapangan kerja juga menjadi isu yang hampir selalu disinggung dalam setiap kesempatan diskusi pembangunan manusia.
Karuan saja, data soal pengangguran dimunculkan dari laporan hasil sensus rutin Badan Pusat Statistik (BPS) tiap tahun. Setidaknya, melalui survei sosial ekonomi nasional (susenas) yang dilakukan setahun dua kali.
Data dan faktanya, angka pengangguran terbuka di Indonesia memang tak bisa diremehkan. Terakhir, di Jawa Timur, berdasarkan hasil survei BPS tercatat pengangguran terbuka didominasi lulusan SMK, yakni mencapai 11,89 persen (2020). Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya, yakni hanya 8,39 persen.
Menjadi lebih mengkhawatirkan lagi sebenarnya, ketika masa sulit pandemi harus dihadapi rakyat Indonesia lebih lebih dari setahun terakhir. Dampaknya bisa dirasakan siapa pun. Orang yang sebelumnya bekerja, bisa kehilangan pekerjaannya. Yang biasanya berpenghasilan tetap, bisa berkurang pendapatannya.
Jika disimak lebih jauh, angka pengangguran ini setidaknya bisa dibedakan menjadi dua: pengangguran subsisten dan pengangguran baru. Kategori pertama, dialami orang yang memang sangat kesulitan atau tidak mampu bekerja pada orang lain. Pekerjaannya pun lebih serabutan, kadang bekerja dan kerap pula tidak bekerja sama sekali.
Yang lebih mengkhawatirkan, adalah kemunculan pengangguran terbuka baru. Sebabnya, bisa karena sulit atau terbatasnya lapangan kerja, atau kurang kompetitif karena kemampuan pas-pasan. Kelompok usia produktif dan milenial, termasuk lulusan SMA/SMK, atau bahkan kampus, termasuk yang rentan masuk pengangguran terbuka baru ini.
Rekrutmen Kerja Berkurang
Mengatasi fenomena pengangguran ini, bisakah mengandalkan rekrutmen calon pekerja oleh perusahaan? Bisa jadi tetap ada peluang dan kesempatan ini, meski banyak perusahaan kini mengalami kelesuan.
Masa pandemi telah memunculkan fakta berkurangnya kesempatan rekrutmen kerja baru ini. Perekonomian sulit dan tak normal yang memengaruhi cash flow dan income perusahaan, memaksa mereka mengurangi pekerjaan bahkan membatasi dan menghentikan rekrutmen pekerja.
Namun begitu, menurutnya, banyak didapati sebenarnya lulusan SMK yang bekerja secara freelance atau menjadi start up pemula sesuai kompetensi keahlian yang dimiliki. Pelajaran wajib kewirausahaan di SMK-SMK, juga menjadi pendorong munculnya start up baru dari lulusan SMK.