Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Milenial Kini, Mudah Saja Terampas Masa Depannya

14 Oktober 2020   15:29 Diperbarui: 31 Mei 2021   11:22 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Milenial Kini, Mudah Saja Terampas Masa Depannya

ilustrasi wayang topeng (foto dokumen pribadi)

TAHUKAH kita, siapa yang paling diidolakan anak-anak saat ini? Sadarkah kita, siapa yang banyak menjadi panutan milenial kini? Siapa harus peduli, bagaimana mereka mencari (si)apapun yang kelak menjadi inspirasi sukses dan kebaikan dalam kehidupan serta masa depannya kelak?

Beberapa pertanyaan berat, namun kerap terlupa dan terlewat begitu saja dalam pikiran sadar kita. Pertanyaan sulit yang juga tak bisa langsung dipecahkan layaknya soal pelajaran sekolah. Dan, pertanyaan yang semestinya berlaku bagi siapapun, terlebih orang tua apapun profesi kita.

Mungkin sudah kerap terlewatkan, bagaimana atensi dan keprihatinan kita pada keseharian dan dunia anak-anak kita. Munculnya pandemi hampir setahun terakhir, menjadi ujian berat bagi semua, yang juga kian memperberat apapun yang harus dihadapi anak cucu kita.

Pandemi memang masalah kesehatan yang tak bisa disepelekan bagi kemanusiaan. Namun, kemaslahatan kemanusiaan anak cucu tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Tak semestinya kita sangat risau kebodohan anak bangsa, namun menyepelekan ancaman kemerosotan mental dan psikososial yang bisa menggerus anak-anak kita kelak, bahkan di saat kepolosan dan ketidaktahuannya kini.

Baca juga: Permainan Tradisional Solusi Mengatasi Kecanduan Game Online pada Anak di Masa Pandemi Covid-19

Ruang Terbatas yang Tak Mudah Dibatasi

Suatu pagi, Annisa Kamil (11) dan Gandes Arum (8) sama-sama serius menyiapkan buku, sambil harus beberapa kali melihat pesan pelajaran sekolah yang terkirim melalui gawai dari guru kelas masing-masing. Butuh setidaknya 3 jam tiap hari, karena semua materi pelajaran berikut soal latihan ini kerap harus disalin terlebih dulu di buku sebelum dikerjakan. Keduanya, tetap tidak jauh dari pendampingan orang tuanya.

Pagi berikutnya, belajar daring dari pesan messanger harus dilakukan lebih lama. Terutama bagi Annisa yang kini sudah kelas 5 SD, belajar lebih serius karena sesekali menggunakan instrumen dari google sheet dan google class yang harus diisi. Untuk membantu memudahkan belajar, aplikasi penunjang belajar lain tampak kerap dibukanya.  Lebih kreatif memang, karena anak jadi mengenal lebih banyak aplikasi di internet untuk membantu belajarnya.

Pada hari lainnya lagi, fokus dan konsentrasi belajar daring mereka di rumah mulai banyak terganggu. Si kakak kerap berkomunikasi virtual dengan teman sekelasnya dari gawai yang dipegang. Tak sebatas saling tanya pelajaran, komunikasi pun melebar hal-hal lain. Dan ini cukup intens dan bisa berlama-lama, jauh melebihi waktu yang sebenarnya dibutuhkan untuk sekadar belajar daring sendiri.

Tak bisa langsung dibatasi, karena memang bisa saja sewaktu-waktu ada materi atau intruksi susulan dari guru yang mendampingi belajar jarak jauh ini. Untuk lebih tenang dan nyaman, belajar mereka pun harus di tempat tersendiri, setidaknya di kamar atau ruang belajar khusus.

Belajar dengan cara tak biasanya ini menghasilkan begitu cepat perubahan pada perilaku dan sikap belajar anak. Sementara, perkembangan belajar mereka tidak cukup langsung bisa diketahui. Ya, terpenting kemauan belajar anak tetap ada, meski tak bisa lagi di bangku sekolahnya. Sesederhana itu kah?

Penulis cukup kaget, mendapati perubahan cepat pada anak kami kini, bahkan sejak awal model belajar daring ini harus dilakoni mereka. Annisa yang awalnya tidak begitu tertarik gawai android, berubah dengan cepatnya kini seperti menemukan keasyikan tersendiri. 'Dunia lain' yang kini ditemui Kakak Annisa, meski ia tak banyak beranjak dari meja belajar di kamarnya.

Anak kami yang belum beranjak remaja ini kini begitu banyak temannya. Tidak kenal langsung sebelumnya, bahkan juga dari lintas kota dan pulau. Ada juga bahkan yang nyasar, ngakunya dari negara lain. Wadduh!

Penulis juga tersentak, menemukan macam-macam kata dan istilah dalam chat yang biasa mereka gunakan. Pelajaran lain yang cepat dikenal si kakak, seperti kata-kata bahasa Inggris dan Korea, tak jarang pula digunakan dalam komunikasi maya-nya.

Baca juga: Kecanduan Game Online Membuat Menjadi Antisosial

Satu komunitas jagad maya sudah diikuti anak kami, dan selalu beranak pinak menjadi grup baru, mengikuti munculnya hal-hal baru yang dimunculkan trendsetter dan pesohor yang diidolakan milenal dan anak ingusan kini. "Kamu Army bukan?" Begitu salah satu bahasa pemersatu anak milenial kini.

Masih ada lagi, banyak aplikasi android lain yang akhirnya dikenali dari fitur aplikasi digital media sosial (medsos). Yang mengkhawatirkan juga, semua aplikasi ini juga dilengkapi fitur interaktif yang bisa saling bertukar pesan sesama penggunanya. Tidak hanya Youtube dan Instagram, fitur lain dengan konten bebas yang bisa diunggah pengguna, dinikmati anak dengan mudahnya.

TikTok, Bigo, Wechat, Snapchat dan sejenisnya kerap menganggu anak-anak saat ia sedang belajar daring sekalipun. Cara paling mudah harus dihapus aplikasi tak penting ini. Namun, tetap saja kembali dipasang jika gawai android sudah di tangan mereka!  

Memanfaatkan gawai menjadi satu-satunya alternatif paling mudah dan cepat mendukung anak belajar daring di rumah selama pandemi. Semua memang bermula dari pengiriman materi dan soal latihan pelajaran melalui aplikasi pesan (whatapps), lalu menjadi kegiatan rutin pembelajaran non-tatap muka ini. Namun, terlalu lama diharuskan memegang gawai tidak baik bagi perkembangan anak.

Banyak Daring, Menjauhkan Anak pada Kebutuhannya

Siapa paling terancam akibat situasi pandemi berkepanjangan yang terjadi kini? Orang dewasa yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan memang terdampak langsung. Akan tetapi, anak-anak juga lah yang paling rentan. Terlebih, mereka sejatinya belum siap dan tak cukup dewasa memahami cara bagaimana menghadapinya.

Sudah berbulan-bulan lamanya, anak-anak kita jauh dari keceriaan bermain bersama sebayanya. Motivasi dan perhatian di bangku sekolah dari para bapak dan ibu guru, sudah banyak tergantikan dari perangkat digital yang sejatinya jelmaan dari siapapun, bahkan yang tidak dikenali sama sekali sebelumnya.

Alih-alih memudahkan belajar tanpa tatap muka, anak-anak kita kini bisa saja menjadi penjelajah 'dunia' luar dan asing hanya dengan memanfaatkan gadget yang dipegangnya. Cukup sedih memang, anak-anak kita telah cepat dibesarkan juga oleh kebiasaan 'dunia lain'. Dunia yang bisa saja mengesampingkan, bahkan menjauhkan anak-anak dari kedekatan keluarga dan lingkungan sekolah yang jauh lebih hangat dan menyenangkan.

Tak hanya terbatasi dan terampas masa belianya, namun juga dibayangi 'momok' yang bisa mengancamnya sewaktu-waktu. Kenyataan tak kasat mata inipun tak disadarinya, karena memang jauh melampaui alam sadar dan usianya. Tentu saja, dalam situasi kekinian, milenial dan anak-anak tak bisa terus dibiarkan menyelami dunianya sendiri.

Baca juga: Kiat Mengatur Belanja Online Anak

Sangat mungkin terjadi, lunturnya patronase dan paternalistik pada keseharian dunia anak milenial. Terlebih, manakala mereka banyak kehilangan waktu bertemu dengan orang-orang dewasa yang bisa saja menjadi sosok yang sepatutnya bisa diindahkan. Usia anak dan milienal sangat peka, cepat tertarik pada hal-hal baru yang tidak dikenali sebelumnya. Sementara, mereka masih butuh banyak referensi hal-hal baik untuk kemudian bisa ditiru dan diteladani.

Banyak waktu di rumah, mestinya juga lebih menyadarkan kita sebagai orang tua untuk bisa menggantikan kebutuhan anak di masanya, sesuai tumbuh kembangnya. Anak butuh didampingi belajarnya memang iya. Tetapi, yang perlu diberikan pada anak-anak dalam situasi kini lebih dari itu. Bisa menikmati masa kecil, tumbuh kembang, dan kreativitas yang menyenangkan harus dihadirkan menjadi pilihan lain agar tidak terimbas terlalu jauh terpaan digitalisasi karena kebanyakan daring.

Tidak mudah dan tak murah memang untuk bisa mengerem kecenderungan dan halusinasi liar pada anak-anak. Tetapi, memberi referensi dan panutan baik sebanyak-banyaknya secara nyata, jangan sampai terlewatkan. Jika tidak dimulai sekarang, maka kapan lagi? Sebelum semua terlambat. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun