Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Coffeestory, (selalu) Ada 'Galau' dalam Sesap Kopi

21 September 2020   20:50 Diperbarui: 21 September 2020   21:03 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Choirul Amin, Kolumnis dan Founder inspirasicendeki.com
Bergiat di Aksara Cendekia Malang.

coffee is not enough about itself! But enjoying it will be encourage anything. That is my coffeestory!

TAK terhitung berapa kali kedai kopi jadi jujugan, bahkan berpindah-pindah tempat, dengan suasana berbeda tentunya. Bagi banyak orang, menikmati secangkir kopi panas memang menjadi kebiasaan favorit, yang tak terlewatkan dalam kesehariannya, saat siang ataupun malam.

Suasana dan kenikmatan rasa memang menjadi pilihan ketika menikmati waktu ngopi. Ada efek yang selalu dirasakan penikmatnya, tatkala menyesap nikmatnya jenis minuman yang aslinya berasa pahit ini. Semakin pas, bisa jadi akan menjadikan penikmatnya betah berlama-lama duduk dengan secangkir kopi di depannya.

Sebuah artikel yang memuat hasil penelitian menunjukkan, walaupun kafein mungkin baik untuk meningkatkan produktivitas, tetapi kafein tidak selalu membantu siapa pun meningkatkan kreativitas mereka dalam menghasilkan ide-ide baru. Namun, jika ingin fokus untuk menyelesaikan masalah, kafein bisa bermanfaat bagi orang-orang kreatif, yang perlu fokus pada pekerjaan mereka. Bagaimana menurut Anda?

Menikmati kopi panas menjadi pilihan kebanyakan orang, di sela-sela aktivitasnya atau sepulang kerja. Namun, hangatnya secangkir kopi juga pas untuk mengawali hari, atau bahkan untuk menghabiskan sisa-sisa waktu, hingga hari berganti. Setiap momen ngopi, mempunyai makna dan tujuan berbeda. Ngopi bisa menginspirasi, bisa juga mengalihkan situasi diri si penikmatnya.

Pun bagi penulis, menikmati kopi memang sulit tergantikan. Kapanpun waktunya, dimana saja disempatkannya sejenak, bahkan kerapkali berlama-lama. Yang mungkin tak lazim, kopi yang jamak untuk menemani saat menikmati relaksasi, kerap tidak dimaknai begitu saja adanya. Otaknya masih terus bekerja, dengan sesekali diam dalam kepulan asap yang terus saja dirasakannya.

Ada kebiasaan tak lazim kerap ditunjukkan memang. Penulis lebih suka kongkow menikmati kopinya sendirian saja. Yang mungkin nampak terbaca orang lain, ia bisa dianggap acuh pada sekeliling. Mungkin juga, orang lain beranggapan ada masalah personal yang tengah dihadapi, dan mengganggu pikirannya. Ekstrimnya, ia memang tidak sedang butuh ditemani atau bahkan sekadar disapa. Heheee...

Bagi penulis, sederhana saja: menikmati kopi menjadi salah satu cara, membaca apa yang menggejala dan menjadi fenomena. Fenomena dan realita yang tak lewat begitu saja, karena kerap menjadi kegalauan karena memang meresahkan. Memuaskan diri setiap menikmati ngopi, bukan berarti acuh dan tak peduli atas apapun yang terjadi. Barangkali begitu sederhananya!

Banyak cara lain tentunya, bertafakkur di alam terbuka, agar lebih jernih memaknai 'kuasa' untuk lebih melihat hal kasat mata (problem eksistensial) yang ada. Atau, tenang berdiam diri di tempat peribadatan dan persembahyangan, juga cukup efektif menjadi 'madrasah' dalam belajar memahami berbagai masalah sosial dalam kehidupan kita.

Kopi dan Keindonesiaan, Tak Terpisahkan

Indonesia adalah produsen dan kaya komoditas jenis kopi adalah fakta adanya. Jenis kopi asli Indonesia bisa ditemukan hampir di semua bagian wilayah nusantara, mulai pulau Aceh dan Sumatera hingga Papua. Ada kopi Toraja (Sumatera), kopi Gayo (Aceh), kopi Kintamani (Bali), hingga kopi Rinjani.  Paling banyak, varian kopi persebarannya ada di Pulau Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur.

Setidaknya, dalam sebuah acara internasional penghargaan khusus negara produsen kopi, nama Indonesia pernah mendapatkan penghormatan besar-besaran. Indonesia terkenal sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia, sekaligus pengekspor kopi robusta terbesar kedua seantero bumi. Negara penghasil terbesar kopi, menurut data Organisasi Internasional Kopi, adalah Brazil, Vietnam, Kolombia, dan Indonesia secara berurutan.

Fakta lainnya, Indonesia menempati posisi sebagai penghasil kopi terbaik dunia. The Huffingtonpost bahkan menyebutkan kopi luwak dari Sumatera sebagai kopi termahal di dunia. Predikat Indonesia sebagai negara kopi bukan buah bibir yang baru viral saat ini. Perbincangan kopi Indonesia diyakini sudah ada sejak abad 16.

Jika kita berkunjung ke kedai atau kafe-kafe, berbagai jenis kopi lokal asli Indonesia hampir pasti disuguhkan, juga dipajang bijihannya dalam wadah topeles kaca atau sudah berupa serbuk dalam aneka kemasan cantik. Kopi asal Jawa dan Sumatera, seperti kopi Luwak, hampir selalu ada. Mengenal Indonesia, kenali juga kopinya. Barangkali begitu!

Pertanyaan logis sekiranya, apakah bangsa Indonesia benar-benar sudah makmur seperti nama besar kopinya? Sudahkah Indonesia dicintai, layaknya penikmat kopi mencintai citarasa kopi lokalnya? Jawabnya, Indonesia belum selesai, masih harus banyak diresapi dan menjadi atensi, melebihi kecintaan bangsanya pada kekayaan kopinya!

Barangkali, sebuah kebetulan saja bagi penulis, yang memang suka menikmati kopi, jenis apapun. Kebetulan yang dimaksud adalah, bahwa sejatinya kopi dan ke-Indonesia-an punya keterikatan dan pertalian sejarah dan makna. Pendek kata, mengenal Indonesia bisa dikenal dari kekayaan kopinya. Sebaliknya, setidaknya bagi penulis, dalam setiap kandungan kopi yang terseduh dan dinikmati, ada nilai-nilai 'ke-Indonesia-an' yang menarik untuk dicerna dan dibaca.

Indonesia dalam mindset penulis memang dalam lingkup entitas yang ada di sekililingnya, sebatas yang terjangkau oleh wawasan dan pemikirannya. Indonesia tidak dalam arti kebangsaan dan kenegaraan yang luas, namun bisa terkait apapun yang menjadi turunan dan ejawantah dari bentuk aslinya. Berpikir keIndonesiaan yang tetap aktual, faktual yang menjadi fenomena. Bukan keIndonesiaam imajiner atau sekadar obyek halusinasi.

Kisah hebat dan menginspirasi sudah banyak terlahir, dari kecintaan dan kebiasaannya 'membaca' apapun terkait gejala sosial dan kekinian, di sela-sela waktu yang dihabiskan hanya dengan seduhan kopi. Sejumlah tokoh dan pemikir hebat, lokal dan nasional, muncul bersamaan dengan kebiasaannya mencampur pikiran dan alam sadarnya dengan puluhan kali menikmati minuman khas lokal ini. Tak dinyana memang, (ampas) kopi juga mampu mendatangkan kearifan budi dan ketajaman akal penikmatnya.

Tidak sedikit juga artikel yang menyebutkan, sebagian diklaim sebagai hasil penelitian (ilmiah), bahwa menikmati kopi bisa menghadirkan ide, energi positif, bahkan kreativitas imajinasi. Kopi juga kerap bisa dirasakan sebagai penawar, atas suasana hati dan munculnya perasaan orang yang menikmatinya. Namun ada juga yang beranggapan sebaliknya, tumpukan kafein yang ada pada kopi, tidak lebih dari sekadar asupan untuk dinikmati seperlunya seperti minuman lainnya.

Konon, kisah tokoh-tokoh besar dunia pun tak lepas dari kopi di balik kesuksesannya. Ada komposer Ledwig van Beathoven, filusuf Perancis, Immanuel Kant, dan Benjamin Franklin, sosok perumus Deklarasi Kemerdekaan AS. Franklin misalnya, tidak menutup-nutupi kecintaannya akan kopi. Ia pernah menyatakan, “Dari sekian banyak kemewahan di atas meja… kopi dianggap yang paling berharga. Kopi menimbulkan keriangan tanpa efek samping; kopi tidak pernah berujung kesedihan.”

Kopikologi dan Komunikasi Diplomasi
Kopikologi menjadi istilah baru beberapa dasawarsa terakhir, tidak hanya bagi penikmatnya, melainkan pula publik berbagai kalangan. Tempat apapun, bisa menjadi ekologi baru, yang tidak lepas dari suguhan kopi. Kopikologi dengan berbagai komunitas penganutnya sudah menjadi entitas dan klaster tersendiri.

Kopikologi sudah menjadi semacam cara dan peradaban baru yang harus dipahami jamak dan diikuti bersama-sama. Banyak pemikiran baru, ide-ide segar, serta diksi dan narasi alternatif terkait berbagai hal yang terlahir dari pergulatan madzab kopikologi ini. Datangnya dari para penikmat kopi yang tak segan berkumpul, sambil bertukar pandangan dan saling lempar dirkursus, atau sekadar menikmati alam pemikiran dari buku atau browsing, sembari menyesap kopi kesukaan.

Banyak bahasa diplomasi dan komunikasi juga muncul dari lingkungan penikmat kopi. Ya, kedai atau tempat lain yang menyajikan kopi menjadi sarana komunikasi pilihan untuk kepentingan apapun, seperti diplomasi dan politik. Pun tak terkecuali, untuk komunikasi yang membahas strategi dan rencana sebuah program aksi. Yang kerap kita dengar, 'selesaikan saja semua di meja kopi'!

Tidak dinafikan memang bahwa jagongan ngopi adalah fenomena sosiokultur masyarakat kita. Namun lebih dari itu, kopikologi, adalah cara dan sarana bagi terlahirnya banyak hal bagi kehidupan kita. Kopi bisa jadi sumber literasi dan imajinasi, memunculkan optimisme dan inspirasi untuk hal dan kemauan baru.

Sekali lagi, bagi sebagian penikmatnya (termasuk juga penulis sendiri), momen menikmati kopi juga bisa menjadi cara merefleksi dan tadabbur, kopi adalah penawar dan jawaban spontan, atas kegalauan apapun di sekitar kita, tentang realita sosial dan ke-Indonesia-an. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun