Pesisir dengan segala dinamikanya memang sangat asik dipelajari. Ini adalah hasil dari diskusi kecil penulis dengan salah satu tokoh takmir Masjid Baitul Muslimin di salah satu kota pesisir di Banyuwangi.Â
Harapan besarnya, uraian sederhana ini mampu membuka lembar peta yang belum pernah diungkap. Adapun fakta yang membuat telinga marah, ini adalah wujud dari autocorrection (koreksi diri), yang ujungnya diharapkan menjadi jembatan perbaikan bagi generasi pesisir saat ini dan di masa yang akan datang. InshaAllah, mari bersama membijaki kata demi kata yang tersampaikan.
Bismillahirrahammanirrohiim.
Apa yang sesungguhnya terjadi di daerah pesisir? Kenapa semua problematika ini terjadi? Apa unsur yang menjadi penyebab utamanya? Bagaimana keterlibatan tokoh mampu menjadi lokomotif perubahan kearah kebaikan? Dan apa yang harus dikontribusikan untuk membawa perubahan yang lebih baik. Ini yang akan menjadi ruang lingkup diskusi kita.
Di ruang pendidikan, kita akan menemukan warna yang berbeda, antara karakter siswa di daerah agraris dengan siswa di daerah pesisir. Pilihan kata dan cara merespon, serta tekanan diksinya sangat jelas berbeda.Â
Penulis contohkan misalnya, dalam teknik penanganan siswa bermasalah, ramai di kelas atau bullying. Di daerah agraris pendidik cukup menaikkan tekanan kata "Nak Stop!" di rentang volume 3, 4 atau 5. Maka, sang anak yang sedang melakukan pelanggaran, memilih untuk berhenti.Â
Jika masih berlanjut dengan menyebutkan tambahan kata berikut bisa lebih efektik, "Nak, ini Pak Guru, Stop Nakalmu!". Akan tetapi ini berbeda saat berada di pesisir? Rentang volume bisa di ambang batas 6 atau 7. Dan butuh usaha yang lebih sabar menyelesaikan hal ini. Tentunya tidak semua terjadi seperti ini, dan tidak 100% mewakili gambar utuh daerah pesisir akan tetapi paling tidak potretnya sekilas bisa terlihat seperti yang disampaikan sebelumnya.
Kenapa terjadi seperti ini? Fundamental karakter seorang anak terletak di rumah. Dan di rumah, peran dominan terletak pada keteladanan orang tua, dalam hal ini ayah dan bunda para siswa. Kualitas orang tua menentukan seberapa tinggi kadar karakter sang anak. Ini bisa menjadi bernilai positif ataupun sebaliknya.Â
Ada dua hal mendasar dari dalam diri orang tua yang memberikan pengaruh kuat ke anak. Pertama pemahaman akan agamanya dan kedua kefasihan melaksanakan pemahaman agama atau satunya kata dan perbuatan dengan tuntunan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Besarnya pengaruh orang tua ini sampai disabdakan beliau dalam hadits berikut:
"Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhori).
Stressing hadits diatas ada pada orang tua, dan objeknya adalah anak. Bisa terbaca, jika hendak menjadikan anak menjadi nasrani, maka penulisnya orang tua. Sedang penulis pasti akan menulis apa yang ada dibenaknya. Dipastikan jika dalam benak hanya ada faham nasrani maka begitulah yang tertulis di lembar sang anak. Dalam konteks karakter, yang terjadi adalah. Karakter anak merupakan penjumlahan dari apa yang ada pada diri ayah dan bunda mereka.