Jurnalis; Bekerja dan Menetap di Medan
Seni pertunjukan memberikan tempat tersendiri bagi teater komedi. Dalam sebuah pementasan teater komedi, tema yang berat dan serius tidak lagi menjadi sumber kejenuhan, namun telah tenggelam dalam kegelian hati penonton yang tergelitik dialog, gerak dan ekspresi lakon.
Masalah perdagangan orang (trafficking in person) di Sumatera Utara ternyata dianggap masih cukup seksi dan “layak jual” untuk para seniman di Medan. Walau pun kini tidak lagi berdimensi pemaparan data statistik, penanggulangan kasus, proses hukum hingga rehabilitasi korban saja, tetapi lebih pada mereplikasi bagaimana proses trafiking itu terjadi, sehingga melalui pesan yang disampaikan masyarakat dapat lebih awas dan lebih tanggap.
Tepat sekali rasanya bila budayawan Medan, Yusrianto Nasution mengemas fenomena yang sejak awal 90-an teramat menggelisahkan kita ini dalam naskahnya, Detektif Danga-danga: Episode Perawan di Sarang Mucikari.
Bersama Yulhasni, yang kebetulan sama-sama aktif malang melintang di Teater O – Universitas Sumatera Utara (USU), Bang Yus kini sedang ‘memasarkan’ ide segarnya di lima kota di Sumatera Utara sejak awal Maret hingga media April mendatang, mulai dari Pematangsiantar, Tebingtinggi, Binjai, Stabat hingga puncaknya di Medan.
Detektif Danga-danga yang dipentaskan atas dukungan Kedubes Australia dan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) ini tak lain tak bukan hanyalah cermin kebiasaan masyarakat Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya pada budaya mudah ditipu, budaya mudah putus asa dan budaya mudah menyerahkan nasibnya pada apa yang disebut Bang Yus dalam naskahnya sebagai ‘komandan.’
Barangkali, Bang Yus dapat merasuki pikiran kita sehingga kita bisa menjadi ‘sangat diri kita’, dan kita benar-benar dapat menikmati dan menertawakan budaya masa bodoh kita terhadap masalah terjadi di sekeliling kita.
Detektif Danga-danga
Di lidah orang Medan, kata danga-danga (baca: Dangak-dangak) berarti jelek dalam segi apapun, sudah tidak layak pakai atau tidak berfungsi secara wajar. Namun, penulis naskah dalam persfektif kebudayawannya menggandengkan kata Danga-danga dengan kata Detektif, yang dalam bahasa Indonesia selalu dijadikan icon kepada orang-orang yang dikenal jenius, teliti, cekatan dan tangkas dalam menggali, menganalisa dan menyelesaikan masalah.
Benarkah penulis naskah teater yang berpengalaman seperti Yusrianto Nasution telah mengawinkan dua kata yang sangat kontras, bahkan kontradiktif? Adakah beliau salah memilih kata? Sejatinya tidak. Dua kata itu adalah simbol betapa paradoksnya penanganan masalah trafiking di Indonesia.
Artinya, di satu sisi, pihak-pihak yang disebut-sebut professional, berkompeten, bertanggung jawab, yang memiliki wewenang, legitimate dan bla-bla bla, dalam implementasi penanganan kasus trafiking sering dianggap lamban, atau bahkan selalu terlambat.
Di sisi lainnya, masyarakat awam yang sangat asing dengan istilah serapan yang mendadak popular seperti trafiking, sangat terbatas dalam segala hal baik dana, konon pula senjata, tidak mempunyai kewenangan dan sebagainya, terpaksa harus ‘turun tangan’ menyelesaikan masalah yang dihadapi keluarganya yang menjadi korban.
Penggunaan judul Detektif Danga-danga, kemudian oleh Bang Yus ditegaskan dan diperkuat dengan anak judul Episode Perawan di Sarang Mucikari. Kalimat yang tentunya mengundang tanda tanya besar di benak kita? Adakah gadis perawan di sarang mucikari? Pertanyaan yang bisa dijawab ya, bisa tidak dan bisa juga tidak perlu dijawab sama sekali. Karena, biasanya, tentu saja mucikari (baca: germo) akan segera menjadikan seorang perempuan korban trafiking sebagai mesin uangnya.
Itu terlihat dalam ending pementasannya ternyata mampu menyelamatkan sang perawan sehingga dapat kembali ke pangkuan orangtuanya sehingga belum sempat menjadi korban eksploitasi seksual oleh pria hidung belang.
Sebagai seorang budayawan yang tentu sangat menghormati profesionalitas aparat, tentu saja Bang Yus tidak ada maksud menegasikan keberadaan aparat keamanan, aparat hukum dan aparat-aparat berseragam lainnya. Namun, di balik itu, hakikatnya Bang Yus telah menyisipkan pesan kepada masyarakat, bahwa rakyat jelata yang lemah sekalipun sangat diperlukan partisipasinya dalam mencegah dan menanggulangi masalah perdagangan orang.
Keterwakilan Budaya
Dalam penanganan permasalahan berbangsa dan bernegara, termasuk pencegahan dan penanganan masalah trafiking keterwakilan budaya hendaknya perlu mendapat apresiasi dari para pengambil kebijakan.
Undang-undang No. 21 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) yang disahkan pada tanggal 20 Maret 2007 hendaknya lebih membumi, dapat tersosialisasi ke akar rumput, tidak hanya berkutat dari tangan para ahli hukum ke tangan pihak elit atau sebaliknya.
Benar sekali sudah ada penyuluhan, sosialisasi dan iklan layanan masyarakat. Itu bagus. Tidak salah pula kegiatan pelatihan, workshop, seminar, lokakarya, konferensi guna membahas masalah trafiking dari tingkat RT hingga tingkat tinggi (baca: internasional). Itu tetap perlu dilanjutkan.
Kini, saatnya penanganan masalah berbangsa dan bernegara juga disempurnakan dengan menggunakan alat komunikasi yang sangat efektif, dengan bahasa rakyat. Teater, sebagai seni pertunjukan yang mereplikasi kehidupan akar rumput seperti apa adanya, perlu juga dijadikan alat komunikasi yang efektif itu, yang menjadikan rakyat seperti dirinya sendiri.
Tentu saja, pemecahan berbagai persoalan perlu kita lakukan dengan kepala dingin. Nah, teater komedi, seperti yang menjadi ciri khas Teater O – USU sejak kelahirannya 21 tahun lalu perlu mendapat sambutan, bukan cemoohan atau tertawa belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H