Mulai hari kedua, ketika semua sudah terkondisikan dengan baik di lokasi masing-masing setelah drama aku harus mengantarkan pakaian ke tempat masing-masing. Kakak ipar dan keponakanku di RSU Kota Jogja, kakak kandungku dan keluarga mertuanya isolasi mandiri di rumah mereka, nenek isolasi mandiri di rumah bersamaku. Namun ternyata muncul keributan di luar perihal "Keluarga Medha ada yang Positif Covid!". Glek.
Well, hal yang paling sulit dari semua ini adalah, menjelaskan ke orang-orang bahwa ada bagian dari keluargaku yang terpapar COVID-19. Bagi sebagian orang sakit ini dianggap tabu, bahkan mendapatkan cibiran, dan juga penolakan. Hal yang ingin kusampaikan adalah kami hanya perlu istirahat sejenak untuk melawan virus-virus di dalam tubuh keluarga kami ini.
Satu persatu muncul notifikasi pesan dari orang-orang terdekat kami seperti,
"Ada yang kena COVID-19 di keluargamu?? Gimana keadaannya??"
"Bapak (mertua kakak) sakit apa? Kok update sedih begitu?"
"Seriusan ada yang positif? Jaga diri ya, makan vitamin, buah, makan banyak!"
Dari semua itu yang paling paling banyak adalah anjuran "Jangan lupa jaga kesehatan, minum vitamin, makan buah ya!" Hmm... mungkin bagi seorang sepertiku hal ini rasanya agak sulit. Aku adalah tipikal yang sejak kecil ketika sakit paling tidak suka dijenguk, dikasihani, atau diingatkan. Hal ini rasanya berat sekali.
Ya, memang aku tidak sakit. Namun, aku ada di posisi menjaga Nenek yang sedang sakit. Aku mencoba untuk baik-baik saja meski sejujurnya bisa jadi kesehatan mentalku dan nenek terganggu. Nenek yang seharusnya hari itu istirahat karena demam tinggi menjadi banyak telepon masuk dan harus menerima telepon paling sering dari keluarga terdekat.
Alhasil, nenek pun drop. Beliau merasa kelelahan untuk menjawab pertanyaan yang ingin tahu kronologi bagaimana cucu-cucunya dapat terpapar Covid-19. Bagiku ini posisi yang sangat sulit karena aku gagal menjaga nenekku dari serangan telepon yang hari itu masuk bertubi-tubi. Hari itu kacau sekali.
Perlu kusampaikan bahwa sebenarnya tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana kejadian seseorang bisa terpapar Covid-19. Bisa jadi karena kontak tangan dengan rekan, melalui uang kertas/logam saat berbelanja, melalui interaksi langsung dengan OTG (Otang Tanpa Gejala), atau lainnya. Namun hari itu rasanya benar-benar berat, karena banyak orang mencoba menggali dan ingin tahu,
Disitu kesabaran kami benar-benar diuji oleh pertanyaan, masukan, dan telepon masuk yang riuh memenuhi notifikasi ponsel kami. Hmm... sambil menghirup nafas panjang aku lagi-lagi harus menguatkan pijakan "Aku pasti bisa menghadapi ini,".
Sangat sulit menjelaskan ke orang-orang bahwa kondisi kami sehat dan baik-baik saja. Namun orang-orang dengan 'pengetahuannya' tentang COVID-19 berusaha untuk menjejali kami dengan masukan-masukan yang berbeda. Bahkan dikondisi ini aku benar-benar harus menjelaskan bahwa mentalku terganggu.
Aku tidak tahan untuk tidak mengangkat telepon dan mendapatkan masukan banyak sekali dari mereka. Dengan satu orang berbeda versi dengan orang lain versi lainnya. Jujur, di kondisi ini kami hanya perlu dua. DOA dan ISTIRAHAT.
Aku tahu persis, mereka mengkhawatirkan keadaan kami. Â Mereka peduli dengan kami. Sejauh ini mereka hanya menyaksikan apa yang terjadi di televisi, YouTube, dan akun-akun lainnya tentang bagaimana COVID-19 dan efeknya setelah masuk ke dalam tubuh. Kemudian mereka menyampaikan arahan-arahan yang menurutku membuatku mual. Jujur, karena banyak sekali.
Dalam hati aku berdoa, semoga pertanyaan-pertanyaan menyudutkan seperti ini tidak sampai membuat imunitas kita turun. Karena kita tidak tahu apakah di sekitar kami sudah benar-benar bebas Covid-19 atau belum. Jujur, ini adalah kekhawatiran kami. Oleh karenanya kami kelelahan.
Namun keadaan ini tidak lama dan hanya berlangsung selama sampai sekitar pukul 4 sore. Aku sangat lega ketika sudah tidak ada lagi orang-orang bertanya tentang COVID-19 di keluargaku. Benar saja, setelah semua telepon tertutup aku dan nenekku langsung tidur.
Alhamdulullilah, dari banyak orang yang menelepon tak sedikit yang paham dan dapat menghargai adanya penderita COVID-19 di keluargaku. Sehingga mereka langsung membantu kami dalam hal supply makanan dan kebutuhan untuk semua keluargaku. Terima kasih banyak kami ucapkan atas atensi dan kepeduliannya kepada keluarga kami, njih.
Akhirnya aku harus menjelaskan kepada kantor tempatku bekerja untuk aku memohon Work From Home sesuai anjuran dari rumah sakit dan puskesmas yakni selama 10 hari. Aku sangat terkejut saat aku hanya mendapatkan WFH hanya selama 1 minggu 2 hari oleh atasanku. Jujur, aku sangat merasa kecewa.
Aku tidak mengkhawatirkan gaji yang mungkin akan berubah jika aku melakukan WFH, namun kesehatan lingkungan kerjaku. Di hari itu mungkin bisa saja aku dalam kondisi yang sangat baik karena aku dalam imunitas yang baik. Namun, aku pun tidak tahu apakah dengan aku isolasi mandiri di rumah dapat menjamin masa inkubasi virus di sekitarku.
Sungguh aku merasa sangat kecewa. Hal yang mungkin bisa membawa kabar buruk untuk teman-teman rekan kerjaku yang lain. Aku sangat percaya masa inkubasi seseorang itu angat penting, mengingat usia virus itu baru akan musnah setelah 14 hari.
Dan hal buruk pun benar-benar terjadi...
Jangan lewatkan Kisah "Keluargaku Terpapar Covid-19 - Part 3" ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H