Mohon tunggu...
Meby Risma Sektiorini
Meby Risma Sektiorini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Nahdatul Ulama Surabaya

S1 Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pengalaman Saya Terkena Covid-19

31 Oktober 2022   19:54 Diperbarui: 31 Oktober 2022   20:00 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2021 merupakan tahun yang memprihatinkan bagi seluruh masyarakat di dunia. Hal tersebut dikarenakan Covid-19 yang sudah tersebar secara luas di penjuru dunia, sehingga membuat banyak orang positif terkena Covid-19. Salah satunya saya, dan keluarga. 

Di bulan Juni 2021 kami dinyatakan positif covid-19, awal mulanya yaitu saya merasa sakit di seluruh badan sehingga tidak bisa berdiri, dan kepala terasa pusing. 

Saat saya memeriksakan diri ke rumah sakit, dokter hanya menyatakan bahwa saya sakit lambung, akan tetapi berjalannya waktu kurang lebih 3 sampai 5 hari, badan saya tidak ada perubahan sama sekali, selain itu ayah, dan ibu saya juga merasa tidak enak badan. Melihat kami sakit secara berurutan, salah satu saudara saya menganjurkan untuk melakukan tes covid. 

Setelah melakukan tes covid, ternyata benar kami bertiga positif terkena covid-19, di situ kami merasa sangat terpukul, namun hal tersebut sudah tidak bisa kita pungkiri, oleh karena itu kami melakukan isolasi mandiri dikarenakan seluruh rumah sakit di Sidoarjo dan Surabaya sudah sangat penuh. 

Di hari pertama saya isolasi mandiri saya tidak bisa mencium aroma dan merasakan apapun, sedangkan ibu, dan ayah saya merasa lemas dan mual. Di hari ke-3 kami melakukan isolasi mandiri, ternyata tidak ada perubahan sama sekali, ibu saya semakin parah karena beliau merasakan sesak nafas dan batuk berulang-ulang , hal tersebut membuat kami panik dan akhirnya kami berusaha untuk mencari rumah sakit yang masih kosong, oleh karena itu ayah saya meminta bantuan kepada lurah di desa saya, untuk mencarikan rumah sakit yang masih bisa menampung pasien Covid-19. Ternyata ada rumah sakit di Krian yang masih bisa menampung pasien. 

Di hari itu juga kami dijemput oleh ambulans desa untuk diantarkan ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit pertama, kami sudah menunggu selama 2 sampai 3 jam untuk mendapatkan kamar akan tetapi tidak ada kamar yang kosong. 

Di situ ibu saya sudah mulai tidak bisa menahan rasa sesaknya, kemudian kami dialihkan ke rumah sakit kedua, di situ ada ruangan yang kosong akan tetapi ruangan tersebut sangatlah kecil. 

Maka dari itu kami tidak bisa melakukan apa-apa dan menerimanya, karena ibu saya sudah sangat membutuhkan penanganan, setelah dicek saturasi oksigennya ternyata ibu saya yang paling rendah di angka 58 sedangkan ayah saya di angka 70 dan saya diangka 92, setelah melakukan cek tersebut akhirnya yang berada di rumah sakit hanyalah ibu dan ayah saya, dikarenakan mereka sangat membutuhkan penanganan dan kamar di rumah sakit hanya tersisa 2 kamar. 

Lalu saya kembali pulang dengan ambulans, karena saya dianjurkan untuk isolasi mandiri lagi sampai dua minggu. Saat saya melakukan isolasi mandiri semua tetangga tahu bahwa keluarga kami terkena Covid-19, maka dari itu warga yang ada di perumahan saya memberikan bantuan berupa sembako dan setiap paginya saya dibelikan makanan, dikarenakan saya tidak bisa keluar rumah. 

Di rumah, setiap pagi saya melakukan caring dan banyak meminum vitamin. Di rumah, saya terus berdoa, dan berikhtiar akan kesembuhan keluarga kami, saya selalu menanyakan kabar kedua orang tua saya kepada salah satu saudara saya yang menjaga orang tua saya di rumah sakit, dikarenakan memang saya tidak boleh keluar sama sekali, saya tidak bisa berbicara langsung maupun lewat telepon dengan ibu saya, hal itu dikarenakan ibu saya sudah sangat kritis di rumah sakit, beliau tidak bisa melakukan apa-apa dan terus merasakan sesak sehingga beliau di pasangkan oksigen. Di situ saya sangat terpukul dan menangis mendengar bahwa ibu saya tidak ada perubahan sama sekali. 

Di malam hari ke-3 saya melakukan isolasi mandiri dan orang tua saya di rumah sakit, malamnya Saya merasa gelisah dan memiliki firasat kepada ibu saya, karena di malam itu saya tidur sendiri dan dimimpikan oleh ibu saya, beliau bilang bahwa beliau sudah sembuh dan bisa pulang. 

Di pagi harinya saya melakukan rutinitas pemulihan dan juga bersih-bersih, kemudian salah satu tetangga saya bertanya apakah sudah mendapatkan kabar dari ayah saya, di situ saya tidak tahu maksud dari kabar itu apa, sehingga saya menelpon ayah saya, namun beliau tidak mengangkat telepon dari saya, di situ perasaan saya sudah mulai tidak tenang. Kemudian beberapa menit kemudian saudara saya datang dan memberikan kabar bahwa ibu saya sudah meninggal di pagi itu. 

Saat itu saya merasa sesak dan lemas mendengarkan kabar tersebut, saya tidak bisa melakukan apa-apa, namun saya hanya bisa berdoa agar segala amal ibadah almarhumah ibu diterima oleh Allah SWT. Selang beberapa waktu ayah saya menelpon dan memberikan semangat kepada saya, agar keadaan saya tidak semakin parah, padahal di situ saya juga tahu bahwa ayah saya pasti juga sangat merasa terpukul karena kepergian almarhumah. 

Di rumah, saya menunggu kabar jenazah almarhumah ibu , karena masih menunggu urutan  untuk dilakukan pemandian di rumah sakit. Rencananya almarhumah ibu akan dimakamkan di dekat rumah kami. 

Setelah jenazah almarhumah ibu saya tiba dipemakaman, saya datang untuk melihat beliau terakhir kalinya walaupun jenazah berada di dalam peti dan saya tidak bisa melihat wajah beliau untuk terakhir kalinya, namun saya yakin bahwa almarhumah sudah bahagia dan tidak merasakan sakit lagi. Setelah proses pemakaman selesai saya pun kembali ke rumah untuk melakukan isolasi mandiri lagi selama 2 minggu dan ayah saya masih berada di rumah sakit dikarenakan beliau tidak boleh pulang terlebih dahulu selama dua Minggu. 

Setelah melakukan isolasi selama dua minggu ternyata kami sudah dinyatakan negatif, dan akhirnya boleh melakukan aktivitas kembali, dan ayah saya bisa pulang ke rumah. Itu adalah pengalaman saya terkena Covid-19. 

Wabah tersebut memang benar adanya, karena kami sudah merasakan terkena Covid-19, untuk orang-orang yang tidak percaya akan adanya wabah ini, dan berpikir bahwa hal tersebut hanyalah permainan belaka semua itu salah, karena kami sudah merasakannya. Namun kami sudah ikhlas mengenai peristiwa tersebut dan kami yakin bahwa hal tersebut akan ada hikmah dan balasan yang terbaik dari Allah SWT.

Nama: Meby Risma Sektiorini

NIM: 2130022023

Prodi: S1 Kesehatan Masyarakat

Universitas: Nahdatul Ulama Surabaya

Tugas UTS Bahasa Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun