Mohon tunggu...
Fadli Muhamad
Fadli Muhamad Mohon Tunggu... Pustakawan - Writer

Love reading, love writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Akan Kau Lakukan, Saat Tahu Kapan Kau Akan Mati?

9 Desember 2023   08:27 Diperbarui: 9 Desember 2023   09:00 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah pertanyaan yang mampu mengubah seseorang. Bukan hanya dari pribadinya semata, melainkan dari segala aspek yang bersifat materil dan non-materil yang memiliki andil dalam membentuk sebuah sinkronisasi yang berlandaskan kepada hal yang bersifat manusiawi. Sebuah pertanyaan yang sekiranya mampu untuk merubah cara pandang setiap insan yang masih dapat menghirup udara bebas sebagai cara untuk tetap bertahan hidup. Sebuah pertanyaan yang sekiranya dapat merubah kepribadian setiap insan yang menilai bahwa kehidupan yang dimilikinya sebelumnya adalah sebuah hinaan, menjadi kepada sesuatu yang dinilainya pantas dan lebih bermoral. Singkatnya, sebuah pertanyaan yang mampu membuat dirimu menjadi lebih baik dan lebih hidup, menurut versimu.

Apa yang akan kau lakukan, seandainya kau tahu kapan kau akan mati?

Pertanyaan kecil, sebenarnya, dan sepele, juga cenderung tidak masuk akal dan terlalu mengada-ngada. Tetapi sungguh, memiliki dampak yang sangat luar biasa terhadap setiap entitas yang memiliki jiwa yang masih melekat erat pada raga mereka yang rapuh. Terkadang memang begitulah yang terjadi di dalam otakku,  secara tiba-tiba memunculkan suatu pertanyaan atau pernyataan yang sangat acak. Contohnya pada saat sekarang ini, beberapa detik yang lalu pertanyaan itu secara tiba-tiba datang menyelimuti benakku. Dan membuatku berkutat dengan sejuta jawaban dari satu pertanyaan kecil yang bodoh itu.

Baca juga: Lilin Terakhir

Ya, tentu saja aku pun juga memikirkan apa jawaban untuk pertanyaan itu. Dan saat ini, kurang lebih ada ribuan jawaban kongkrit yang menghiasi dinding-dinding imajinasiku yang sudah hampir meledak. Ribuan kemungkinan yang membuat tersendatnya seluruh garis realita. Ribuan kemustahilan yang hanya bisa diwujudkan saat kau masih memiliki garis waktu hidupmu yang kian lama kian menipis. Ribuan angan-angan yang hanya akan tetap menjadi angan-angan belaka. Tapi, tentu saja kau tetap bisa mewujudkan semuanya itu, jika kau masih memiliki waktu untuk ribuan tahun ke depan.

Dari ribuan jawaban itu, ada beberapa yang menjadi favoritku, dan saat ini masih terus kubayangkan jika suatu saat nanti hal itu akan terjadi. Jika aku tahu kapan aku akan mati, aku akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama Fiona. Ya, bersama Fiona kesayanganku! Karena selama ini aku terlalu sibuk dengan segala pekerjaanku yang membuat dirinya kini diselimuti kehampaan dan kesendirian. Walaupun seluruh pekerjaanku memang aku dedikasikan untuk dirinya, tetapi mau bagaimana pun dirinya masih tetap memerlukan seseorang yang memperhatikannya. Seseorang yang tertawa bersamanya. Seseorang yang menangis bersamanya. Seseorang yang tumbuh besar bersamanya. Seseorang yang disebutnya sebagai ayah.

Pekerjaanku sebagai ilmuwan memang sangat menyita waktuku untuk bisa bersamanya. Bahkan pada saat hari libur sekali pun, diriku masih tetap dihantui dengan panggilan-panggilan telepon dari berbagai sumber yang mengharuskan aku untuk menjawabnya, sehingga membuat waktuku bersama Fiona menjadi sangat terbatas. Membuat rasa kekanakannya menjadi terbatas karena tidak adanya sosok yang mampu menumpu semua imajinasinya. Membuat rasa keingintahuannya akan segala rahasia yang belum diketahuinya memuncak tapi tidak dapat diledakkan. Membuat dirinya kesepian.

Baca juga: Lantai Tiga Belas

Aku masih mengingatnya, kala itu adalah ulang tahunnya yang kesepuluh tahun, tepat  dua tahun yang lalu, saat dia sangat antusias akan hadirnya sebuah kue ulang tahun seukuran rumah Spike, anjing peliharaannya, yang sudah kujanjikan sebelumnya. Dengan beberapa teman sekolah dan teman di lingkungan rumah yang hadir, dirinya diselimuti tawa bahagia dan senyuman yang sangat mempesona yang hanya dimiliki oleh dirinya. Mereka saling berbalas tawa, menari dengan penuh keceriaan, berlari ke sana ke mari, saling bercanda dengan candaan khas kawan seusianya, tidak ada yang kurang sedikit pun. Aku yang berada di tengah kerumunan itu pun ikut tertawa dengan tingkah laku mereka, walaupun aku tidak terlalu paham dengan beberapa istilah yang mereka gunakan sebagai bahan guyonan, tetapi aku tetap menikmatinya. Aku ikut tertawa di dalamnya. Dan Fiona semakin melebarkan senyumnya saat melihat aku ikut terbawa suasana di sana.

Namun sesaat sebelum kue ulang tahun yang sudah kujanjikan itu tiba dihadapannya, sebuah panggilan masuk dari telepon selulerku berdering berulang kali. Sedikit kuabaikan pada awalnya, tetapi karena hingga lima menit ponselku tidak berhenti berdering aku pun mengangkatnya. Sebuah panggilan masuk dari kolegaku yang memang sejak beberapa hari itu sedang kutunggu. Lebih tepatnya sebuah kabar yang sangat ingin kuketahui tentang perkembangan di dalam lab yang kutinggalkan selama tiga hari untuk mempersiapkan acara ulang tahun Fiona. Sedikit ragu pada awalnya, aku pun mengangkat panggilan itu dengan sedikit bergidik. Tanpa menyebutkan nama, tanpa menyebutkan kabar, tanpa basa basi sedikit pun, kolegaku langsung berbicara kepadaku saat panggilan itu tersambung. Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas, dia hanya berkata dua kata kepadaku dengan nada yang gemetar, 'INI BERHASIL'. 

Sejujurnya, dari ribuan kata yang terdaftar dalam kamus yang telah terorganisir dengan sangat sedemikan rupa, hanya dua kata itulah yang sangat kutunggu. Dua kata yang mampu membawa semua hasil kerjaku selama bertahun-tahun itu terbang menembus nirwana. Dua kata yang mampu membuat tercengang semua mata ilmuwan yang ada di dunia ini. Sedikit akan kusinggung mengenai pekerjaanku. Bertahun-tahun yang lalu aku bersama timku sedang melakukan penelitian untuk menemukan sebuah obat yang mampu menyembuhkan hingga ke tingkat jaringan sel. Agak kurang tepat jika harus menyebutnya sebagai obat, lebih tepat dibilang sebagai booster, pemacu untuk metabolisme tubuh agar bisa bekerja berkali-kali lipat dari keadaan normal. Singkatnya, booster ini dapat meregenerasi hingga ke bagian sel manusia, sehingga bagian tubuh manusia yang terluka dapat sembuh sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Bahkan booster ini dapat mendeteksi penyakit kanker dan membasminya dengan tuntas sebelum penyakit itu meluas. Dengan kata lain, ini adalah obat untuk segala jenis penyakit!

Awalnya aku tidak bisa percaya dengan apa yang kudengar itu, aku tidak tahu bagaimana aku harus bersikap. Memang ini adalah saat yang sangat kuharapkan, tetapi saat momen itu tiba, aku jadi tidak tahu apa yang harus kulakukan setelahnya. Diriku yang sedari tadi ikut terbawa suasana akan cerianya kerumunan, kini menjadi mengasingkan diri dengan ribuan pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Aku tidak tahu persis bagaimana sikap Fiona selama sisa pesta itu berlangsung, tetapi saat aku berbicara kepadanya bahwa aku harus pergi sesaat setelah menerima telepon itu, senyuman, gairah dan keceriaan yang sebelumnya memuncak dan menular ke seluruh orang yang ada, kini menjadi meredup. Hilang dengan seketika. Aku tahu aku salah kala itu, menghancurkan keceriaan yang hanya bisa dinikmatinya setiap setahun sekali. Tapi mau bagaimana lagi, aku pun pergi karena ini adalah sesuatu yang sangat penting. Bukan hanya bagi orang lain atau bagi diriku, tetapi juga bagi dirinya kelak.

Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengulang kembali waktu dan memperbaiki kesalahan yang sudah kuperbuat. Setelah peristiwa itu pun hubunganku dengan Fiona mulai merenggang. Kami mulai jarang berbagi cerita, mulai jarang berbagi tawa, bahkan untuk bertegur sapa pun Fiona seakan mengalihkan dirinya agar tidak berpapasan denganku. Seakan aku sudah melukis warna kelabu pada dunianya yang sebelumnya berwarna-warni dengan corak yang indah. Memang aku tidak menyalahkan siapa pun atas kejadian ini, tetapi melihat hubungan kami yang seperti itu sungguh membuatku sedih.

Itulah mengapa jika aku tahu kapan aku akan mati, aku akan lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Fiona. Tertawa bersamanya, mendengarkan segala keluh kesahnya, berjalan-jalan, menikmati senja bersamanya di taman kota sambil menikmati es krim stroberi favoritnya. Semua hal yang berhubungan dengan Fiona, aku ingin kembali mengulanginya. Dan ingin menjadi lebih baik untuk dirinya.

Tetapi sayangnya, itu sudah agak terlambat bagiku. Bukan agak terlambat lagi, tapi sudah sungguh sangat terlambat. Karena hanya tinggal hitungan beberapa menit lagi, kesadaranku sudah akan menghilang, meninggalkan ragaku yang rapuh dan jauh dari kata sempurna ini. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah melayangkan jawaban-jawaban dari satu pertanyaan bodoh itu ke atas langit yang tak berujung. Memainkan semua peranku yang bisa kulakukan dengan lebih baik dalam sebuah angan-angan. Membayangkan akan betapa cantiknya sosok Fiona kelak saat dia seusiaku, lalu mulai bertemu dengan dambaan hatinya, berjalan di altar dalam dekapanku dengan diriku yang semakin diselimuti dengan banyaknya kerutan di wajahku sementara dirinya dengan memakai gaun serba putih yang memang sangat cocok untuk dirinya. Oh, betapa cantiknya Fionaku!

Kemudian aku akan mulai merubah peranku dari sosok ayah yang gila akan pekerjaannya, menjadi sosok kakek yang akan terus menjaga malaikat-malaikatku saat mereka membutuhkanku. Membayangkan Fiona akan memiliki buah hati yang memiliki mata secantik dirinya, juga senyuman seanggun miliknya, serta rambut pirang yang terurai dengan aroma jeruk yang tercium seiring dengan embusan angin mengibas rambutnya. Oh, betapa sangat cantik membayangkan sosok Fiona yang sedang berlari-lari dengan sosok Fiona Kecil yang memiliki semua kebaikan dan keindahan dari Fionaku. Berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang lucu tanpa mempedulikan segala masalah tentang kehidupan. Hanya kesenangan dan keceriaan yang ada di hadapannya.

Semua angan-angan itu kini perlahan lenyap, meninggalkan diriku seorang diri yang sedang terbaring lemah menatap langit-langit kediamanku yang hampir seluruhnya berwarna kelabu. Entah karena pandanganku yang mulai kehilangan cahayanya setiap detik atau karena memang seluruh ruangan ini diselimuti kegelapan. Apapun itu, entah mengapa kegelapan ini justru sekarang menjadi teman bagiku untuk bisa menghabiskan saat-saat terakhir hidupku yang kupikir akan mencapai batasnya beberapa saat lagi.

Dengan susah payah aku menggulingkan tubuhku, mencoba merangkak menuju ke arah meja kerjaku yang dipenuhi dengan beberapa dokumen yang berisikan rumus, formula dan hasil dari penelitian-penelitanku selama beberapa tahun terakhir. Tapi bukan itu tujuanku menghampiri meja kerjaku. Bukan untuk menuju ke dokumen-dokumen itu yang saat ini tidak lebih hanya menjadi sampah yang tertumpuk di atas meja kerjaku. Tapi aku ingin menuju ke salah satu foto yang tertampang di sana. Aku ingin meraih foto yang selalu membuat jiwa dan batinku merasa tenteram setiap kali aku memandangnya. Sebuah foto yang diambil tiga tahun yang lalu, yang memperlihatkan bagaimana indahnya duniaku sebelumnya saat Fiona masih bisa dengan lepas melemparkan senyuman terbaiknya kepada dunia. Sebuah swafoto yang kuambil melalui ponselku yang menampilkan sosok diriku bersama malaikatku, Fiona, yang tersenyum sangat lebar, yang mampu membuat semua beban dunia yang berada di pundakku mencair dan melebur tak bersisa.

Aku merangkak dengan seluruh sisa tenagaku yang kian lama kian menipis. Inci demi inci tubuhku bergerak, inci demi inci diriku semakin dekat dengan mejaku. Aku mencoba meraih kaki meja itu untuk mengangkat beban tubuhku, tapi itu sangat mustahil untuk dilakukan, karena aku merasakan sakit yang sangat perih di sekujur tubuhku ketika aku mencoba melakukannya. Hingga akhirnya aku mencoba untuk menarik kaki meja itu, berusaha menggulingkannya agar terjatuh dan menumpahkan semua yang ada di atas sana. Dengan mengerahkan semua tenagaku, usahaku pun tidak sia-sia. Tapi aku tahu bahwa itu akan sangat berdampak buruk bagi kondisi tubuhku sekarang ini. Tapi tak apa, ini akan sangat sepadan dengan apa yang sedang kucoba untuk kuraih.

Detik berikutnya sebuah dentuman yang cukup menggelegar menggema ke seluruh penjuru ruangan, dengan semua benda, tumpukan dokumen dan beberapa alat tulis berhamburan ke segala arah. Aku sungguh tidak peduli dengan semua peralatan yang berantakan itu, karena beberapa menit yang lalu seisi rumahku juga sudah menjadi porak poranda karena sebuah insiden. Insiden yang seharusnya tidak pernah terjadi jika aku bisa lebih bijak terhadap pilihan hidupku yang kuambil sebelumnya.

Aku berhasil meraihnya. Meraih sebuah bingkai foto yang didalamnya menampilkan sosok Fiona dengan senyuman cantiknya. Oh! Betapa aku merindukan dirinya. Betapa aku kini sangat ingin bersama dirinya! Betapa aku sangat ingin memeluknya! Tanpa kusadari air mataku pun mulai membumbung dan membasahi kedua pelipisku lalu turun dengan sangat perlahan meninggalkan semua kenangan yang sangat menyakitkan. Kembali semua kenangan yang sebelumnya sempat sirna kini terpampang kembali dengan penuh sendu. Membawaku kembali kepada kenangan itu yang hanya semakin menambah sakit kepada relung hatiku yang sangat rapuh. Bahkan rasa sakit akan kenangan itu dapat meleburkan seluruh rasa sakit yang sudah menjalar ke sekujur tubuhku ini. Sungguh, sebuah rasa sakit dan kehampaan yang tak berujung.

Perlahan nafasku mulai terasa sangat berat dan pandanganku mulai semakin memandang semuanya dengan warna kelabu. Yah, mau bagaimana pun juga, di sinilah aku, pada akhirnya. Walaupun aku mencoba menelepon ambulans sekarang ini, itu akan percuma. Bukan karena tanganku yang tidak bisa menggapai ponselku karena mulai mati rasa, atau pun bukan karena mulutku yang tidak bisa berbicara karena tersumbat dengan darahku yang mencoba keluar melalui saluran pernapasanku karena adanya beberapa pendarahan hampir di seluruh organ dalamku. Bukan, bukan karena itu. Tapi karena kurasa memang percuma, dan walaupun aku berhasil menelepon mereka, aku yakin saat mereka tiba di kediamanku, mereka tetap akan menemui kondisiku yang sudah kehilangan kesadaranku seratus persen.

Karena aku masih bisa merasakannya dari awal insiden tadi sampai sekarang ini. Darahku masih terus mengalir keluar membasahi lantai kayu kamarku dengan tidak terkendali. Walaupun aku mencoba untuk menghentikan pendarahannya dengan menggunakan tanganku, tetap saja, darah yang keluar dari dada bagian kiriku terus mengalir membasahi sekujur tubuhku yang kian lama kian melemah. Lagipula percuma, saat tangan kiriku sedang mencoba menekan dada bagian kiriku, darah yang menjadi bagian vital dari keberlangsungan hidup seorang manusia itu, juga mengalir deras dari beberapa bagian tubuhku yang lainnya. Terhitung ada lima tikaman yang cukup dalam yang bersarang di sekujur tubuhku. Satu di bagian perut sebelah kananku, dua masing-masing berada di dada kiri dan kananku, satu tepat di diafragmaku, dan satu lagi di paha sebelah kananku. Ditambah ada beberapa jumlah sayatan yang entah ada berapa banyak yang menyelimuti seluruh tubuhku ini yang hanya berbalutkan piyama tidurku. Entah aku harus bersyukur atau tidak, tapi dari semua tikaman dan sayatan itu tidak ada yang benar-benar melukai organ vitalku, dan hanya membuatku menderita dengan sangat perlahan. Sungguh!

Kini yang bisa kulakukan hanya berbaring, menunggu hingga kesadaranku pergi meninggalkan raga dan pikiranku yang sudah mulai menampakkan sesuatu yang sudah tidak masuk akal lagi. Yang pertama kali pikiranku tampilkan adalah sebuah pemandangan tentang sebuah taman impian yang sangat indah dengan perpaduan warna-warna cerah yang sangat menyejukkan hati. Kemudian dengan cepat pemandangan yang menyejukkan itu segera berganti bagai angin lalu; hanya dalam hitungan detik, pemandangan dengan semua warna-warna cerah itu berubah seketika menjadi kelabu. Lengkap dengan semua perasaan putus asa, kekhawatiran, ketakutan, dan ketidakberdayaan datang seiringan dengan pemandangan yang berwarna kelam dengan nuansa kelabu. Mungkin itu adalah gambaran sekilas yang diberikan Tuhan kepadaku untuk menunjukkan ke mana diriku akan berada setelah aku mengembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Sebuah gambaran untuk menunjukkan kekuasaan-Nya yang digunakan sebagai hukuman atas apa yang sudah kulakukan selama ini. Oh, pikiranku sudah semakin tidak keruan!

Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa terkait insiden yang terjadi padaku ini, selain menyalahkan diriku sendiri. Karena ini semua memang adalah kesalahanku, dan kurasa aku pantas mendapatkannya. Aku sudah menceritakan tentang pesta ulang tahun Fiona yang kesepuluh tahun, bukan? Oh, otakku mulai menjadi agak susah untuk mengingat sekarang. Tapi ya, semua ini memang berasal dari hari itu, kurasa. Aku akan mencoba menceritakannya sesingkat mungkin, karena aku juga mulai merasakan kedinginan yang sangat hebat dari kedua kakiku yang sudah tidak dapat digerakkan.

Enam bulan setelah pesta ulang tahun Fiona yang kesepuluh tahun itu, bukan hanya kegembiraan dan keceriaan Fiona yang menghilang, tetapi juga kesehatannya. Ya, kesehatan Fiona semakin melemah seiring berjalannya hari, dan setelah beberapa bulan itu, yang sungguh di luar dugaanku, Fiona didiagnosa memiliki tumor sebesar kelereng yang bersarang di batang otaknya. Menurut pemeriksaan dokter, untuk anak seusia Fiona memiliki tumor seperti itu, dinilai sudah agak terlambat. Dan untuk bisa disembuhkan sudah agak sulit untuk dilakukan. Dalam sekejap, duniaku pun serasa berputar seratus delapan puluh derajat. Duniaku serasa hancur berkeping-keping. Duniaku serasa berubah menjadi gelap dengan awan mendung yang membumbung sepanjang hari; merenggut semua kebahagiaan dan semangatku untuk hidup di dunia ini. Tapi dengan semua kehampaan dan kekosongan batin yang kurasakan, aku yakin Fiona lebih merasakan sakit yang jauh lebih menyiksa dari apa yang kurasakan. Jauh lebih menyayat hati malaikat kecilku yang begitu anggun.

Dengan semua beban itu, aku berusaha untuk tetap tegar, dan memutuskan untuk mengambil tindakan yang menurutku memang inilah yang seharusnya aku lakukan. Dan kupikir, mungkin memang inilah takdirku, untuk menyempurnakan booster yang sedang kukembangkan itu. Sebuah booster yang mampu menyembuhkan semua jenis penyakit!

Aku pun melakukannya. Setelah menerima kabar buruk itu, aku kembali ke dalam laboratorium, berkutat dengan semua formula dan racikan untuk menyempurnakan booster itu. Sebenarnya masih banyak tahapan dan rancangan sebelum booster itu diujicobakan kepada manusia. Tapi dengan segala tekad yang kupunya, dengan segala kemampuan yang kumiliki, dengan segala sumber daya yang ada, aku mempercepat semua proses itu berkali-kali lipat. Hingga akhirnya pada kurang lebih satu tahun berikutnya, atau lebih tepatnya seminggu yang lalu, hasil dari booster tahap pertama itu dinilai layak untuk diujicobakan kepada manusia, tapi masih belum stabil. Waktuku semakin sempit, waktu Fiona semakin sempit, jadi aku langsung mengambil tindakan untuk mengujicobakan hasil itu langsung kepada Fiona. Walaupun kolegaku yang lain melarangku untuk melakukannya karena masih belum stabilnya ramuan itu; tapi aku sudah benar-benar kehabisan waktu, dan Fiona sudah tidak menunggu lebih lama lagi.

Malam harinya, aku berencana untuk mengambil ramuan itu secara diam-diam dari laboratorium tanpa sepengetahuan kolegaku yang lain. Aku menggandakan ramuan itu dengan semua formula secara presisi yang sudah terracik rapi, dan dalam beberapa jam aku berhasil melakukannya. Langsung kubawa ramuan itu menuju ke kediamanku dengan Fiona yang sudah semakin melemah. Aku menyuntikkan ramuan itu ke tubuh Fiona yang terlihat semakin kurus, semakin lemah, semakin ringkih dan hampir tidak dapat membuka kedua matanya. Sejujurnya aku kurang begitu ingat bagaimana penampilan Fiona saat dia sedang terbaring lemah di atas kasurnya, karena memang aku sangat jarang berada di rumah dan lebih sering menghabiskan waktu di dalam laboratorium untuk menyempurnakan booster itu. Bahkan setelah aku menyuntikkan ramuan itu ke tubuh Fiona, aku pun langsung keluar dari kamarnya, tidak berani untuk menetap terlalu lama bersama dirinya. Tidak sanggup melihat bidadariku dalam kondisi seperti itu.

Singkat cerita, beberapa hari setelah Fiona menerima suntikan booster itu, perlahan dirinya mulai membaik, mulai menunjukkan hal yang positif dari dirinya. Semua tanda vitalnya berangsur normal dan air wajahnya kembali sedikit lebih cerah. Aku begitu yakin kalau ramuan itu bisa memberikan hasil yang baik dan mampu buat Fiona kembali ke keadaan normal. Namun dari semua hasil baik yang sudah terjadi itu Fiona masih belum membuka kedua matanya yang anggun. Dirinya masih tertidur dalam diam di atas kasur tanpa bisa memberikan sedikit tanda secara pasti. Yang tadinya keyakinanku sekokoh menara mercusuar, kini seakan runtuh dengan terjangan ombak kegelapan yang mengikis habis hingga ke kepingan terkecil menara itu. Membuatku kembali diselimuti kehampaan.

Dan yang kutakutkan pun terjadi. Entah karena raga Fiona yang sudah terlanjur rapuh sehingga tidak dapat menyerap ramuan booster itu dengan sempurna, atau karena ramuan yang kubuat itu memang belum sepenuhnya sempurna, entah karena hal apa pun itu, dirinya sama sekali tidak bisa bertahan. Hingga akhirnya beberapa hari setelah Fiona menerima suntikan booster itu, atau lebih tepatnya dua hari yang lalu, Fiona mengembuskan nafas terakhirnya. Dokter sudah memberikan pernyataan dan aku pun sudah memeriksanya sendiri, bahwa denyut nadi Fiona sudah menghilang. Nafasnya sudah tidak lagi menghela; dirinya sudah tiada.

Aku yang semakin dirundung awan gelap, yang kini berubah menjadi lebih gelap dan pekat, tidak tahu harus berbuat apa selain mengikhlaskannya. Begitu juga dengan semua keluargaku yang mencoba untuk mengikhlaskannya. Mengikhlaskan seorang bidadari untuk kembali ke surga, tempat di mana dirinya seharusnya berada. Kami pun membuat upacara kematian untuknya, dihadiri semua keluarga besar termasuk kakek dan nenek Fiona, paman dan bibinya, serta kerabat-kerabat istriku. Fiona termasuk anak yang periang dan mudah bergaul dengan banyak orang, jadi tidak heran jika banyak sekali orang yang datang berkunjung pada upacara kematiannya. Namun dari begitu banyaknya orang yang hadir di sana, aku masih tetap merasa kesepian, masih tetap merasa hampa, masih tetap merasa sebagian dari diriku hilang entah ke mana. Beberapa kali kerabat yang lain mencoba untuk menghiburku, berbicara denganku, tapi itu percuma. Aku bahkan tidak dapat mendengar apa pun yang mereka katakan kepadaku karena aku sudah dibuat tuli dengan semua kehampaan ini.

Begitu banyak kerabat dan rekanan yang datang yang ingin melihat Fiona untuk yang terakhir kalinya, sehingga aku dan keluargaku memutuskan untuk tidak segera memakamkannya siang itu juga. Dengan segala persyaratan yang diberikan oleh pihak pemakamakan, akhirnya mereka memperbolehkannya. Fiona dibolehkan untuk berada di kediamanku selama semalam lagi sehingga kerabat yang lain masih bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Walaupun banyak orang yang ingin melihat dirinya untuk yang terakhir kalinya, tetapi aku, yang sebagai ayahnya, tidak kuat dan tidak ingin melakukan hal itu. Aku tidak ingin merusak kenangan indah tentangnya yang sudah terpatri di memori terdalam otakku. Aku takut dengan melihat kondisinya yang seperti sekarang ini dapat menghancurkan semua kenangan indah itu.

Pada awalnya aku seperti itu, tidak ingin melihatnya dalam kondisinya yang seperti itu. Tetapi pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya. Mendekati Fiona yang sedang tertidur lelap di dalam peti kayu yang menyelimutinya dari dinginnya hari. Oh, betapa terkejutnya aku! Saat aku melihatnya, dengan seketika air mataku langsung membumbung di kedua mataku. Bahkan di saat seperti ini dirinya masih tetap terlihat anggun di mataku. Dengan mengenakan gaun berwarna tangerine dan dihiasi sarung tangan putih yang menutupi kedua tangannya; juga rambut pirangnya yang dibiarkan terurai hingga menutupi sebagian bahunya. Bahkan aku masih bisa merasakan sedikit aroma jeruk yang keluar dari rambutnya yang terurai itu. Oh, dia sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak ada perubahan dari dirinya saat masih bisa berlari dengan ceria. Seakan dia hanya sedang tertidur, menunggu seseorang untuk membangunkannya. Kemudian dia akan bangun sambil menampakkan senyuman terindahnya kepada dunia. Oh, sungguh, melihat dirinya dalam kondisi seperti itu membuat air mataku mengalir dengan sangat deras. 

Aku mencoba untuk mengikhlaskannya. Sungguh, aku benar-benar mencobanya! Tapi entah mengapa ada sebagian dari diriku yang tidak terima dengan apa yang terjadi. Sebagian dari diriku berkata bukan seperti inilah seharusnya yang terjadi. Sebagian dari diriku masih belum ingin bidadari kecilku pergi secepat ini! Ramuanku seharusnya berhasil, ramuanku seharusnya bisa menyembuhkannya, bukan seperti ini yang seharusnya!

Hingga akhirnya pada malam harinya, tepatnya pada pukul sepuluh malam, atau kurang lebih dua jam yang lalu, aku kembali untuk menemui Fiona yang diam tidak bergerak di ruang tengah kediamanku. Suasana di sana sudah sangat sepi, beberapa kerabatku yang menginap di sini pun sudah terlelap tidur. Termasuk adik dan istriku yang terlelap di sofa ruang tengah. Aku menghampiri Fiona dengan membawa satu dosis lagi ramuan booster itu. Kemudian aku menyuntikkannya di lengan sebelah kirinya yang terasa sangat dingin. Aku tidak tahu dengan apa yang kulakukan ini, tapi aku memiliki keyakinan bahwa ramuan ini seharusnya bisa menyembuhkannya. Kutunggu hingga beberapa menit setelah selesai kusuntikkan, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda perubahan. Akhirnya aku mencoba untuk benar-benar mengikhlaskannya sekarang. Aku pun kembali ke kamarku yang berada di lantai 2 dan meninggalkan Fionaku yang sedang tertidur lelap dalam balutan peti kayu yang akan menjadi teman dalam perjalanannya menuju nirwana.

Tanpa kusadari aku benar-benar kelelahan, dan terlelap kurang lebih sekitar satu jam. Karena ketika aku terbangun aku sempat melihat jam dinding yang terpampang di atas meja kerjaku, yang menunjukkan hampir tengah malam. Ketika aku terbangun aku merasakan sakit yang sangat menusuk di kepalaku, mungkin karena aku terbangun dalam keadaan terkejut. Ya, aku terkejut karena aku mendengar suara yang sangat gaduh yang datang entah dari mana, dan aku juga tidak yakin suara apa itu. Aku pun bangkit dari ranjangku dan mencoba untuk mengambil air dari dapur yang berada di lantai bawah. Namun saat aku menuruni tangga aku kembali dikagetkan dengan suara yang sangat gaduh itu, dan sekarang aku tahu suara apa itu yang mengakibatkan aku terbangun dengan sakit di kepalaku ini. Yaitu suara pecahan kaca, entah seperti gelas atau piring dan barang-barang lainnya yang dibanting dengan sangat keras. Juga suara dentuman dari benda tumpul yang saling beradu, seakan ada seseorang yang sedang berlatih tinju di tengah malam di dalam ruang tengah kediamanku.

Dengan perlahan aku menuruni sisa anak tangga yang menuju ke lantai bawah dengan perasaan yang tidak keruan. Karena aku dapat mendengarnya dengan jelas bahwa suara itu berasal dari lantai bawah rumahku. Entah itu dari arah dapur atau dari arah ruang tengah tempat di mana kerabatku semua berkumpul. Tapi sedikit agak aneh, jika memang suara itu berasal dari lantai bawah, seharusnya kerabatku yang lain juga akan mendengarnya, bukan? Termasuk istriku. Juga, dengan adanya suara gaduh seperti itu dengan ada banyaknya kerabatku di sana, pastilah seharusnya ada suara orang lain di antara suara kegaduhan itu. Dan anehnya, dari suara-suara yang timbul itu, tidak ada satu suara orang lain pun yang terdengar.

Dengan perasaan yang semakin tidak keruan akhirnya aku tiba di lantai bawah; dan betapa terkejutnya aku dengan apa yang kutemukan di sana. Awalnya kukira itu adalah mimpi, tapi dengan apa yang kualami sampai sekarang ini, kuyakini bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi memang inilah yang terjadi dan yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Langit-langit rumahku yang sebelumnya berwarna krem dengan perpaduan warna coklat muda pada setiap sisinya kini berubah menjadi berwarna merah. Juga lantai keramik yang sebelumnya berwarna putih dengan beragam corak kini juga berwarna senada dengan langitnya-langitnya. Seakan seseorang telah meledakkan kaleng cat berwarna merah sehingga itu menyebar hingga ke seluruh penjuru rumah.

Keterkejutanku pun tidak berhenti sampai di situ. Setelah aku memfokuskan pandanganku dan menyapu seluruh area ruang tengah itu, aku mendapati sebuah pemandangan yang membuat bulu kudukku berdiri. Bukankah sudah kubilang bahwa seluruh kerabatku tidur di ruang tengah itu? Ya, mereka memang tidur di sana, bahkan saat aku tiba di ruang tengah itu dan melihat suasana yang tidak keruan itu, mereka semua memang masih terlihat terlelap tidur. Tapi dengan diselimuti warna merah yang senada hampir di setiap bagian tubuh mereka. Wajah, badan, lengan, kaki yang berserakan pun tidak ada yang luput dari warna merah itu. Awalnya aku agak lama mencerna semua itu, tetapi saat aku melihat wajah istriku yang sedang terbaring di atas sofa di dekat perapian, barulah aku mulai kehilangan akal sehatku dan membuat lututku terasa lemas seakan kehilangan ototku untuk menopang berat tubuhku. Karena kutemui bagian tubuh istriku yang lainnya juga tergeletak di sofa lainnya yang berada di seberangnya serta lengannya yang memperlihatkan cincin kawin kami tepat berada di bawah kakiku.

Kepalaku berputar, kesadaranku mulai mengambang entah ke mana. Aku tidak percaya dengan pemandangan yang ada di hadapanku ini. Pemandangan yang aku sendiri tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Ini terlalu gila, ini terlalu mengada-ngada, ini terlalu tidak masuk akal! Dan kau tahu apa yang menjadi lebih tidak masuk akal lagi. Yaitu kutemui satu sosok yang sedang berdiri di ujung ruangan yang sedang menatapku dengan tajam dengan sebilah pisau yang berada di genggamannya; lengkap dengan warna merah yang senada pada pisau itu, juga pada seluruh tubuhnya. Aku mengenali sosok itu, tapi entah mengapa di saat yang bersamaan aku juga tidak mengenalinya sama sekali. Karena aku mengenali pakaian yang dikenakannya, sebuah gau berwarna tangerine dengan sarung tangan berwarna putih yang membalut kedua tangannya. Serta rambut pirang itu, aku mengenal dengan baik rambut pirang bidadariku itu. Tapi entah mengapa tatapan itu . . . ya, tatapan itu, aku sama sekali tidak bisa mengenalinya.

Secara mengejutkan dia berlari ke arahku, dan aku yang masih mencoba memproses semua ini tidak bereaksi apa pun. Bahkan hingga beberapa tusukan bersarang di badanku, aku masih tidak bereaksi apa pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba melepaskan cengkeramannya dengan sekuat tenaga dan melemparnya jauh hingga terbanting ke atas meja kaca yang berada di depan sofa, lalu aku mencoba sekuat tenaga untuk naik ke atas dan kembali ke kamarku. Namun ternyata dia lebih cepat dari dugaanku, karena dalam hitungan detik saja dirinya sudah lompat ke belakang punggungku dan kembali mencabik-cabik bagian tubuhku. Kembali kulempar dirinya setelah aku sampai di kamarku, dan dirinya pun mendarat tepat ke arah kursi kayu dengan kepalanya terlebih dahulu yang mendarat tepat di tepian kursi. Di sinilah aku pada akhirnya, dengan dirinya yang masih tidak sadarkan diri di ujung ruangan sampai sekarang ini, aku mencoba untuk mencerna apa yang sudah terjadi.

Sesaat setelah aku membanting meja untuk mengambil foto yang berada di atas meja kerjaku, dirinya pun kembali bangkit, berdiri, dengan tatapan mengerikan yang sama sekali tidak kukenali. Tapi mau bagaimana pun dia sekarang ini, dia adalah Fiona, dan aku sama sekali tidak ingin menyakiti Fiona. Dengan perlahan dirinya pun berjalan mendekat ke arahku yang sudah tidak mampu untuk melawan dan hanya terbaring di atas lantai kayu kamarku. Sedetik kemudian dia pun melompat ke arahku dan mulai kembali mencabik-cabik tubuhku dengan pisau yang ada di genggamannya. Aku sudah mulai kehabisan tenaga, dan hampir tidak mampu untuk melawan balik, jadi dengan sisa tenaga yang ada aku langsung mencengkeram lehernya dan menjepitnya di antara lengan dan dadaku. Dirinya kini tepat berada di dekapanku dengan masih mencabik-cabik tubuh bagian kiriku, dan lenganku tepat mencengkeram di bagian lehernya. Aku tidak tahu apa yang menjadikan dirinya seperti ini, bahkan berkali-kali aku berteriak kepadanya dan berbicara kepadanya, tapi seakan dirinya sama sekali tidak mengenaliku. Seakan dia bukanlah Fiona yang selama ini menjadi bidadariku.

Aku mulai kehabisan tenaga, pandanganku mulai seutuhnya berwarna gelap, tapi bisa kurasakan bahwa dirinya yang semula menggeliat dengan kekuatan yang brutal, kini mulai melemah dan terasa seperti sudah kehabisan nafas di dalam dekapanku. Jadi, kurasa jika aku bisa menahannya lebih lama lagi, aku bisa menghentikannya. Apa pun caranya, aku harus menghentikannya. Bukan hanya karena aku tidak ingin orang lain celaka karena tindakannya, tetapi aku juga tidak ingin meninggalkan Fiona dalam keadaan seperti ini. Dan mau bagaimana pun nantinya, kali ini aku tidak akan meninggalkan Fiona, aku akan tetap berada di sini sampai dirinya yang sekarang ini lenyap dan hilang dari Fionaku yang anggun bak bidadari. Aku kini bisa merasakannya, bahwa dirinya sekarang mulai berhenti menggeliat dan akhirnya berhenti secara total. Dengan perlahan aku pun mulai melepaskan cengkeramanku di lehernya, tapi masih dalam posisi mendekapnya.

Aku pun tersadar dengan apa yang terjadi, dan yang semula kukira semua ini adalah karena ramuan booster dariku itu, kini kubuang jauh-jauh gagasan itu. Tidak, sesungguhnya ini bukan karena ramuan booster-ku yang membuat Fiona menjadi hidup kembali dengan lebih agresif dari biasanya. Bukan karena ramuanku itu yang membuat Fiona bertindak seperti zombi; bukan, ini semua bukan karena ramuanku itu. Ini semua adalah murni kesalahanku. Ya, aku meyakininya, bahwa ini adalah kesahalanku! Kesalahanku yang meninggalkan Fiona saat dirinya sangat membutuhkan diriku. Kesalahanku yang meninggalkan Fiona saat dirinya sangat membutuhkan ucapan selamat ulang tahun dariku saat ulang tahunnya yang kesepuluh tahun itu. Kesalahanku yang meninggalkan Fiona dan tidak ada di sana saat dirinya sedang terbaring lemah melawan penyakit yang sangat menyiksa dirinya. Ini semua adalah kesalahanku. Itu semua adalah kesalahanku.

Dan andai saja, aku masih bisa mendapatkan kesempatan . . .

Sekali ini saja . . .

Jika tahu kapan aku akan mati . . .

Aku ingin meminta maaf kepada Fionaku . . .

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun