Mohon tunggu...
Fadli Muhamad
Fadli Muhamad Mohon Tunggu... Pustakawan - Writer

Love reading, love writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Akan Kau Lakukan, Saat Tahu Kapan Kau Akan Mati?

9 Desember 2023   08:27 Diperbarui: 9 Desember 2023   09:00 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa terkait insiden yang terjadi padaku ini, selain menyalahkan diriku sendiri. Karena ini semua memang adalah kesalahanku, dan kurasa aku pantas mendapatkannya. Aku sudah menceritakan tentang pesta ulang tahun Fiona yang kesepuluh tahun, bukan? Oh, otakku mulai menjadi agak susah untuk mengingat sekarang. Tapi ya, semua ini memang berasal dari hari itu, kurasa. Aku akan mencoba menceritakannya sesingkat mungkin, karena aku juga mulai merasakan kedinginan yang sangat hebat dari kedua kakiku yang sudah tidak dapat digerakkan.

Enam bulan setelah pesta ulang tahun Fiona yang kesepuluh tahun itu, bukan hanya kegembiraan dan keceriaan Fiona yang menghilang, tetapi juga kesehatannya. Ya, kesehatan Fiona semakin melemah seiring berjalannya hari, dan setelah beberapa bulan itu, yang sungguh di luar dugaanku, Fiona didiagnosa memiliki tumor sebesar kelereng yang bersarang di batang otaknya. Menurut pemeriksaan dokter, untuk anak seusia Fiona memiliki tumor seperti itu, dinilai sudah agak terlambat. Dan untuk bisa disembuhkan sudah agak sulit untuk dilakukan. Dalam sekejap, duniaku pun serasa berputar seratus delapan puluh derajat. Duniaku serasa hancur berkeping-keping. Duniaku serasa berubah menjadi gelap dengan awan mendung yang membumbung sepanjang hari; merenggut semua kebahagiaan dan semangatku untuk hidup di dunia ini. Tapi dengan semua kehampaan dan kekosongan batin yang kurasakan, aku yakin Fiona lebih merasakan sakit yang jauh lebih menyiksa dari apa yang kurasakan. Jauh lebih menyayat hati malaikat kecilku yang begitu anggun.

Dengan semua beban itu, aku berusaha untuk tetap tegar, dan memutuskan untuk mengambil tindakan yang menurutku memang inilah yang seharusnya aku lakukan. Dan kupikir, mungkin memang inilah takdirku, untuk menyempurnakan booster yang sedang kukembangkan itu. Sebuah booster yang mampu menyembuhkan semua jenis penyakit!

Aku pun melakukannya. Setelah menerima kabar buruk itu, aku kembali ke dalam laboratorium, berkutat dengan semua formula dan racikan untuk menyempurnakan booster itu. Sebenarnya masih banyak tahapan dan rancangan sebelum booster itu diujicobakan kepada manusia. Tapi dengan segala tekad yang kupunya, dengan segala kemampuan yang kumiliki, dengan segala sumber daya yang ada, aku mempercepat semua proses itu berkali-kali lipat. Hingga akhirnya pada kurang lebih satu tahun berikutnya, atau lebih tepatnya seminggu yang lalu, hasil dari booster tahap pertama itu dinilai layak untuk diujicobakan kepada manusia, tapi masih belum stabil. Waktuku semakin sempit, waktu Fiona semakin sempit, jadi aku langsung mengambil tindakan untuk mengujicobakan hasil itu langsung kepada Fiona. Walaupun kolegaku yang lain melarangku untuk melakukannya karena masih belum stabilnya ramuan itu; tapi aku sudah benar-benar kehabisan waktu, dan Fiona sudah tidak menunggu lebih lama lagi.

Malam harinya, aku berencana untuk mengambil ramuan itu secara diam-diam dari laboratorium tanpa sepengetahuan kolegaku yang lain. Aku menggandakan ramuan itu dengan semua formula secara presisi yang sudah terracik rapi, dan dalam beberapa jam aku berhasil melakukannya. Langsung kubawa ramuan itu menuju ke kediamanku dengan Fiona yang sudah semakin melemah. Aku menyuntikkan ramuan itu ke tubuh Fiona yang terlihat semakin kurus, semakin lemah, semakin ringkih dan hampir tidak dapat membuka kedua matanya. Sejujurnya aku kurang begitu ingat bagaimana penampilan Fiona saat dia sedang terbaring lemah di atas kasurnya, karena memang aku sangat jarang berada di rumah dan lebih sering menghabiskan waktu di dalam laboratorium untuk menyempurnakan booster itu. Bahkan setelah aku menyuntikkan ramuan itu ke tubuh Fiona, aku pun langsung keluar dari kamarnya, tidak berani untuk menetap terlalu lama bersama dirinya. Tidak sanggup melihat bidadariku dalam kondisi seperti itu.

Singkat cerita, beberapa hari setelah Fiona menerima suntikan booster itu, perlahan dirinya mulai membaik, mulai menunjukkan hal yang positif dari dirinya. Semua tanda vitalnya berangsur normal dan air wajahnya kembali sedikit lebih cerah. Aku begitu yakin kalau ramuan itu bisa memberikan hasil yang baik dan mampu buat Fiona kembali ke keadaan normal. Namun dari semua hasil baik yang sudah terjadi itu Fiona masih belum membuka kedua matanya yang anggun. Dirinya masih tertidur dalam diam di atas kasur tanpa bisa memberikan sedikit tanda secara pasti. Yang tadinya keyakinanku sekokoh menara mercusuar, kini seakan runtuh dengan terjangan ombak kegelapan yang mengikis habis hingga ke kepingan terkecil menara itu. Membuatku kembali diselimuti kehampaan.

Dan yang kutakutkan pun terjadi. Entah karena raga Fiona yang sudah terlanjur rapuh sehingga tidak dapat menyerap ramuan booster itu dengan sempurna, atau karena ramuan yang kubuat itu memang belum sepenuhnya sempurna, entah karena hal apa pun itu, dirinya sama sekali tidak bisa bertahan. Hingga akhirnya beberapa hari setelah Fiona menerima suntikan booster itu, atau lebih tepatnya dua hari yang lalu, Fiona mengembuskan nafas terakhirnya. Dokter sudah memberikan pernyataan dan aku pun sudah memeriksanya sendiri, bahwa denyut nadi Fiona sudah menghilang. Nafasnya sudah tidak lagi menghela; dirinya sudah tiada.

Aku yang semakin dirundung awan gelap, yang kini berubah menjadi lebih gelap dan pekat, tidak tahu harus berbuat apa selain mengikhlaskannya. Begitu juga dengan semua keluargaku yang mencoba untuk mengikhlaskannya. Mengikhlaskan seorang bidadari untuk kembali ke surga, tempat di mana dirinya seharusnya berada. Kami pun membuat upacara kematian untuknya, dihadiri semua keluarga besar termasuk kakek dan nenek Fiona, paman dan bibinya, serta kerabat-kerabat istriku. Fiona termasuk anak yang periang dan mudah bergaul dengan banyak orang, jadi tidak heran jika banyak sekali orang yang datang berkunjung pada upacara kematiannya. Namun dari begitu banyaknya orang yang hadir di sana, aku masih tetap merasa kesepian, masih tetap merasa hampa, masih tetap merasa sebagian dari diriku hilang entah ke mana. Beberapa kali kerabat yang lain mencoba untuk menghiburku, berbicara denganku, tapi itu percuma. Aku bahkan tidak dapat mendengar apa pun yang mereka katakan kepadaku karena aku sudah dibuat tuli dengan semua kehampaan ini.

Begitu banyak kerabat dan rekanan yang datang yang ingin melihat Fiona untuk yang terakhir kalinya, sehingga aku dan keluargaku memutuskan untuk tidak segera memakamkannya siang itu juga. Dengan segala persyaratan yang diberikan oleh pihak pemakamakan, akhirnya mereka memperbolehkannya. Fiona dibolehkan untuk berada di kediamanku selama semalam lagi sehingga kerabat yang lain masih bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Walaupun banyak orang yang ingin melihat dirinya untuk yang terakhir kalinya, tetapi aku, yang sebagai ayahnya, tidak kuat dan tidak ingin melakukan hal itu. Aku tidak ingin merusak kenangan indah tentangnya yang sudah terpatri di memori terdalam otakku. Aku takut dengan melihat kondisinya yang seperti sekarang ini dapat menghancurkan semua kenangan indah itu.

Pada awalnya aku seperti itu, tidak ingin melihatnya dalam kondisinya yang seperti itu. Tetapi pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya. Mendekati Fiona yang sedang tertidur lelap di dalam peti kayu yang menyelimutinya dari dinginnya hari. Oh, betapa terkejutnya aku! Saat aku melihatnya, dengan seketika air mataku langsung membumbung di kedua mataku. Bahkan di saat seperti ini dirinya masih tetap terlihat anggun di mataku. Dengan mengenakan gaun berwarna tangerine dan dihiasi sarung tangan putih yang menutupi kedua tangannya; juga rambut pirangnya yang dibiarkan terurai hingga menutupi sebagian bahunya. Bahkan aku masih bisa merasakan sedikit aroma jeruk yang keluar dari rambutnya yang terurai itu. Oh, dia sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak ada perubahan dari dirinya saat masih bisa berlari dengan ceria. Seakan dia hanya sedang tertidur, menunggu seseorang untuk membangunkannya. Kemudian dia akan bangun sambil menampakkan senyuman terindahnya kepada dunia. Oh, sungguh, melihat dirinya dalam kondisi seperti itu membuat air mataku mengalir dengan sangat deras. 

Aku mencoba untuk mengikhlaskannya. Sungguh, aku benar-benar mencobanya! Tapi entah mengapa ada sebagian dari diriku yang tidak terima dengan apa yang terjadi. Sebagian dari diriku berkata bukan seperti inilah seharusnya yang terjadi. Sebagian dari diriku masih belum ingin bidadari kecilku pergi secepat ini! Ramuanku seharusnya berhasil, ramuanku seharusnya bisa menyembuhkannya, bukan seperti ini yang seharusnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun