Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Lainnya - Seranting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesta Orang-Orang Suci

2 Januari 2025   12:24 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:26 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Langit akan runtuh malam ini,” ucap Ma Inyong.

“Ngawur,” Pa Pacet, sembari mengunyah sesuatu, menjawab sembrono.

Ma Inyong bisu mendadak — lebih tepatnya malas menanggapi orang tolol.

Perempuan berumur satu setengah abad itu tidak keliru. Malaikat sendiri yang berbisik padanya, "Esok malam, kau tak lagi bisa menengok langit." Ma Inyong lantas menyimpulkan bahwa kiamat telah tiba. Pagi itu, ia mengatakan hal yang sama ke pedagang cabai, dalam ledakan tawa yang kurang ajar, membuat semua orang di situ berlari kocar-kacir dan melolong heboh. Siapa pula yang tak takut kiamat? Dan siapa pulalah yang tak percaya dengan sesepuh satu ini?

Selain perihal umur, orang-orang menghormatinya lebih karena perannya sebagai dukun beranak. Ia telah berurusan dengan semua selangkangan ibu-ibu kampung. Tak pernah ada orok yang mati di tangannya. Itulah mengapa ia  begitu diagungkan. Walau belakangan ia terciduk menyembah setan yang dikurung dalam botol, orang-orang kampung tetap menjadikannya suri tauladan sebab tak satu pun orang bisa melangkahi  Ma Inyong.

Sore ini, ia berkata begitu lagi di rumah. Bedanya dalam tawa halus dan sopan yang lantas diuntit cemooh pedas dari sang adik laki-laki. Pa Pacet kembali mengolok-ngolok, lantas duduk di sebelahnya. Ma Inyong lagi-lagi diam — lebih tepatnya malas harus bersebelahan dengan orang dongok.

Sepintas kilat menyambar dan disusul pekikan petir yang mengoyak-ngoyak gendang telinga. Rupanya, langit seram tak juga kuasa mengusir dua kakak adik yang anteng duduk di beranda. Rumah itu bertepian dengan jurang, sehingga mereka dapat dengan mudah menonton orang-orang kampung di bawah situ. 

Suara saut-sautan terdengar halus. Ma Inyong berdiri, kemudian menciduk dari pembatas beranda. Matanya masih jeli melihat orang-orang yang terlihat kecil di bawah sana. 

Satu kampung heboh sudah dibuat si sepuh. Mereka pecah begitu kacau. Sebagian terdiam termenung, sedangkan yang lain meraung pedih teringat dosa, terutama para mucikari kampung dan aki-aki berbadan ringkih. Malam itu, seseorang berjenggot putih memimpin mereka, membentuk barisan seperti pawai-pawai bocah sembari menaiki bukit. Mereka berseru, Allahuakbar! 

“Benar-benar kiamat,” ucap Ma Inyong terkekeh.

Sebelum Pa Pacet bercemooh ria, Ma Inyong cepat-cepat menyerbu nafas, “Kita harus berpesta malam ini.” Ia menunjuk-nunjuk kubah masjid kampung, mengisyatkan takkan ada azan maupun radio dengan lengkingan memekak yang membuat kelelawar masuk kembali ke dalam mulut gua. “Tak payah khawatir mereka merusak kekhidmatan pesta,” begitulah kira-kira maksudnya.

Tapi si adik tolol lain menafsirkan. “Rombongan pawai itu membawa kabur toa surau. Boleh jadi mereka menyerukan azan dan lantunan ayat suci sambil menaiki bukit dan pergi ke atas sini. Bagaimana pun kau tahu kan, mereka akan menyerukan nama Tuhan sampai malam benar-benar kiamat. ” Di akhir kalimat, ia tiba-tiba tersedak dan meludah. Hitam.

“Muncungmu memanglah tak lain dari perwujudan ketololan yang hakiki.” Ma Inyong akhirnya berkomentar juga. 

Kelak ia meninggalkan Pa Pacet yang mendadak sempoyongan, berjalan masuk ke ruang tengah dan memutar asal tombol siaran. Radio itu lantas buka mulut dan mengalunkan sebuah irama yang tak asing di kuping mereka.

Di tepi jalan si miskin menjerit,
Hidup meminta dan menerima.
Yang kaya tertawa berpesta pora,
Hidup menumpang di kecurangan. 

Arwah The Black Brothers mengisi langit-langit rumah. Ma Inyong tersedak ketika menyadari Pa Pacet ikut berdiri mengiringinya yang hanyut dalam dendangan. Kesambet apa, padahal tadi ia banyak bacot, pikir Ma Inyong. 

Mereka mulai berjoget-joget cantik. Si adik mengambil tangan si kakak dan menempatkannya di dada. Aduhai, elok sekali mereka berdansa. Perjaka dan perawan tua itu kini melakoni Tristan und Isolde, menggoda satu sama lain dalam penuturan Jerman (kalau saja ocehan ngawur mereka itu bisa disebut bahasa Jerman). 

Sadarlah kau… cara hidupmu,
Yang hanya menelan korban yang lain.
Bintang jatuh hari kiamat,
Pengadilan yang penghabisan.

Tangan Tristan melingkar di pinggang Isolde, tapi perlahan jari-jarinya turun ke bawah. Mendadak ia meremas bokong Isolde. Perempuan yang merasa harga dirinya dirampas, lantas menonjok Tristan tanpa ampun. Tristan menangis cengeng lepas menengok Isoldenya terkena kutukan mengerikan, membuat dirinya berubah menjadi nenek tua berbadan gempal. 

“Tai! Kau bahkan sudah mabuk sebelum aku selesai merebus biji pala!” Ma Inyong pun ngibrit ke dapur. Ia menjenguk sekuali besar rebusan biji pala. Tak lama ia kembali ke beranda, membawa dua batok kelapa berisi rebusan biji pala itu. 

Pa Pacet tampak ragu-ragu mengecap. “Teguk sedikit takkan membuat kau tewas di tempat, Pacet.” Ma Inyong santai duluan menyeruput. 

“Aku tak mau lupa diri di kala langit akan roboh. Mati dihimpit langit lebih dahsyat daripada tewas pasal mabuk biji pala. Dan, kau tahu aku suka yang gempar-gempar. Butuh kewarasan tuk menyaksikannya sendiri, Ma Inyong.” 

Yang disebut hanya mengaduh ringan, tak masalah dia mesti menenggak segentong rebusan biji pala dalam semalam. Sebetulnya, Ma Inyong setengah menaruh syak sebab si adik tampaknya benar-benar telah mabuk, tapi bukan lantaran biji pala. Guna membuat suasana lebih santai, ia melingsir kembali ke ruang tengah, memutar tombol siaran ke kanan ke kiri supaya berganti musik yang lebih asyik. Persetan romansa, Isolde tak sudi bokongnya kena remas lagi. 

Suara Hengky Black Brothers bertukar bising house music. Mendadak lampu teplok di beranda menjelma bola-bola lampu dengan kilau menusuk kornea secara sadis. Lantai kayu lapuk berganti ubin lincin yang bisa membuat orang tergelincir dan berdebum, tewas seketika. Ini bukan lagi rumah tua di tepi jurang, melainkan tempat berajojing malam. 

Ma Inyong (sekarang namanya Ko Indro) menghampiri Pa Pacet dan menyodorkan tuak (kau tahu itu adalah rebusan biji pala tadi). "Bersantailah sedikit." Ko Indro meyakinkan layaknya pria matang. Kemeja sutra ketat, ikat pinggang kulit, dan celana cutbray melekat sempurna di tubuhnya yang paripurna. Ia mengalungkan lengannya di pundak Pa Pacet, membuat punggungnya yang bungkuk kian membusur. Ko Indro menyodokkan muncung gelas ke congor si lelaki tua. Beliau spontan menyembur tuak itu, menolak untuk mabuk. Tapi, agaknya Pa Pacet memang sudah mabuk jauh-jauh hari – boleh jadi terlanjur sinting. Tengoklah, sekarang binatang mesum itu menatap Ko Indro penuh birahi. 

Beruntung, ia mampu membaca pikiran Pa Pacet sebelum ia kena sosor. Lelaki cina berperawakan gagah itu kini melengking persis Isolde dan menendangnya tepat di biji pelir. Binatang cabul langsung terkulai lesu dan menjerit tak kalah lengkingnya dari perempuan mana pun. Pekikannya kawin betul dengan suara gemuruh menyalak. Sedangkan pelaku hengkang dari tempat kejadian perkara menuju ruang tengah: menghabisi nyawa radio malang dengan membanting badannya ke sudut meja. Tak ada lagi rumah hiburan malam: house music, bola-bola lampu, maupun ubin licin sialan. 

Ma Inyong kembali menguasai tubuhnya, “Entahlah kau sakau karena cimeng jenis apa. Yang jelas, anjing mesum lebih mengerikan daripada anjing tolol!”

Saat itulah terdengar suara takbir. Bunyi derap langkah orang ramai berbaur keributan. Pa Pacet langsung berdiri tegak, terlupakan rasa ngilu luar biasa hebat dari biji pelirnya yang pecah. Ia menatap Ma Inyong horor.

“Mereka jelas tidak berniat kemari. Untuk apa orang suci bertamu ke rumah dukun kafir," ucap Ma Inyong.

"Tidak. Kurasa mereka memang berniat kemari," Pa Pacet tegang setegang anjing bertemu malaikat maut.

"Oh, kalau begitu, jelas mereka ingin ikut berpesta!" 

Ma Inyong bergeser ke dapur, “Tak kuduga orang suci punya selera hiburan yang bagus. Di malam kiamat begini, kupikir mereka akan meringkuk di rumah Tuhan.” 

Dapur itu kembali mengepul, sedangkan Pa Pacet memucat pasi, menutup lubang telinganya. Ia melirik sedih radio yang sudah tewas, berharap radio itu masih bisa memainkan musik ajojing. Sebaliknya, dengungan takbir terdengar semakin keras. Lelaki malang itu menusukkan telunjuknya ke lubang telinga, begitu dalam hingga congek dan darah mengucur di tangannya.

Tahu-tahu, datang suara baru yang bahkan menembus gendang telinga Pa Pacet yang disumbat. Ma Inyong sedang bernyanyi rupanya. Keras sekali.

Ku tau dunia telah hampir tiba.
Hari kiamat segera.
Kau tempuh langkahmu sendiri,
Tinggalkan aku sendiri.

“Oh, jika Tuhan memang menciptakan manusia tuk bersujud padanya, mengapa ia membiarkan bajingan seperti kita tetap hidup, Pacet?"

Ma Inyong berhenti mengepulkan tungku lalu kembali ke beranda. Pa Pacet mematung: mulutnya menganga ngeri dengan bibir mengerut ke bawah, dan air matanya menggenang di pelupuk mata.

Mereka sudah datang. Menunggu.

Seorang sesepuh yang tak kalah sepuh dari Ma Inyong berdiri paling depan, ia tua dan berjenggot dengan tongkat jati digenggamnya. Di sebelahnya orang-orang yang muda, menahan tubuhnya supaya tak jatuh. Sementara pawai-pawai tadi menyebar ke segala penjuru membawa obor yang menyala garang. 

“Binatang kau, Mak Lampir! Sudahi kemusyrikanmu. Sesungguhnya, bukanlah malaikat yang membisikimu, melainkan syaiton yang bersarang di dalam tulang dan daging busukmu yang penuh dosa.”

“Ngawur,” ucap Ma Inyong santai, tapi sedikit terkejut orang tua peyot itu ternyata lantang juga suaranya.

Rombongan pawai itu langsung menyalak merah, menggonggongi Ma Inyong dengan menyebut segala macam binatang dari seluruh kebun binatang yang ada. Orang tua itu menghantamkan ujung tongkat ke tanah, yang kemudian diterjemahkan oleh pemuda di sampingnya kepada rombongan pawai agar tetap tenang. Ma Inyong santai menuruni tangga rumah panggung, menghampiri mereka dan bertanya.

“Mengapa Tuhan membiarkan para bajingan tetap hidup?”

Hening. Si tua berjenggot memiringkan kepala dan terkekeh. Tak lama tawanya semakin keras dan terbahak-bahak, membuat dahaknya terkocok-kocok di kerongkongan. Rombongan pawai itu tergelitik perutnya dan ikut tertawa ngakak.

“Selain ahli mengocok botol berisi demit, kau ahli mengocok perut orang rupanya,” ucap pemuda disebelahnya, membuat rombongan semakin heboh tertawa sampai mereka harus menurunkan obor, mengelap air mata yang penuh gelak. Tak tersinggung, Ma Inyong ikutan ngakak kurang ajar, membuat si lelaki tua dan rombongannya berhenti tertawa.

Merasa kikuk, Ma Inyong berusaha memecah suasana, “Sayang sekali kalian datang kemari hanya untuk mengolok-ngolokku dan bukannya ikutan berpesta, padahal akulah pemegang rahasia hari kiamat itu. Tahu begitu, lebih baik aku tak membocorkannya dan membiarkan kalian mati terhimpit langit roboh sebelum kalian sempat bertobat.” Sayangnya, itu tidak lucu. Sama sekali tidak.

Namun, ada jawaban yang tak terduga malam itu. “Ya, justru karena itu, Ma Inyong. Malam ini kami datang untuk berpesta.” Si lelaki tua bicara dengan nada yang bersahabat, tak hanya membuat Ma Inyong tersedak, tapi juga seluruh rombongan. Kali ini ia benar-benar ngawur. Sampai akhirnya seseorang menyadari dan perlahan otak mereka nyambung.  Mereka baru mengerti maksud lelucon si sesepuh baru ini. Salah seorang tersedak, mereka kembali terkekeh dan heboh.

“Oh ya, benar! Tentu saja kami juga ingin berpesta, Ma Inyong!"

Ma Inyong menyadari, bahwa sedari tadi tangan kanan mereka bersembunyi di punggung. Mata Ma Inyong jeli menangkap. Mereka tidak hanya membawa obor, tapi juga parang, celurit, cangkul, batu runcing besar, apapun yang sekiranya bisa untuk mencincang-cincang daging atau menggeprek kepala orang.

Salah. Rupanya malaikat yang berbisik itu ngawur total. Langit tidak runtuh malam itu, tapi itulah malam terakhir Ma Inyong melihat langit. Terkepung sudah Ma Inyong oleh rombongan pawai dengan obor yang diangkat tinggi-tinggi dan parang teracung. Detik-detik sebelum tubuhnya mewujud bubur ngawur, Ma Inyong mendapat pencerahan dan terkekeh.

“Ah, sekarang kau paham, kan, Pacet? Mengapa Tuhan membiarkan para bajingan tetap hidup?” Ia melirik adiknya.

Pa Pacet tak lagi menganga horor, air matanya sudah jatuh tak tergenang. Ia yang sedari tadi diam membeku akhirnya berani menyimpulkan, sebelum ia berakhir rubuh dan tidak pernah kembali bangun.

Malam itu, langit telah runtuh menimpa para bajingan. Dan dunia dengan sendirinya telah melahirkan Adam dan hawa yang baru. Di dunia itu, bisikan Pa Pacet teruntuk Ma Inyong senantiasa menggema, meniup ruh pada calon-calon bajingan yang baru.

“Supaya orang-orang suci punya jalan tuk berjihad.”
“Supaya orang-orang suci punya jalan tuk berjihad.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun