Dapur itu kembali mengepul, sedangkan Pa Pacet memucat pasi, menutup lubang telinganya. Ia melirik sedih radio yang sudah tewas, berharap radio itu masih bisa memainkan musik ajojing. Sebaliknya, dengungan takbir terdengar semakin keras. Lelaki malang itu menusukkan telunjuknya ke lubang telinga, begitu dalam hingga congek dan darah mengucur di tangannya.
Tahu-tahu, datang suara baru yang bahkan menembus gendang telinga Pa Pacet yang disumbat. Ma Inyong sedang bernyanyi rupanya. Keras sekali.
Ku tau dunia telah hampir tiba.
Hari kiamat segera.
Kau tempuh langkahmu sendiri,
Tinggalkan aku sendiri.
“Oh, jika Tuhan memang menciptakan manusia tuk bersujud padanya, mengapa ia membiarkan bajingan seperti kita tetap hidup, Pacet?"
Ma Inyong berhenti mengepulkan tungku lalu kembali ke beranda. Pa Pacet mematung: mulutnya menganga ngeri dengan bibir mengerut ke bawah, dan air matanya menggenang di pelupuk mata.
Mereka sudah datang. Menunggu.
Seorang sesepuh yang tak kalah sepuh dari Ma Inyong berdiri paling depan, ia tua dan berjenggot dengan tongkat jati digenggamnya. Di sebelahnya orang-orang yang muda, menahan tubuhnya supaya tak jatuh. Sementara pawai-pawai tadi menyebar ke segala penjuru membawa obor yang menyala garang.
“Binatang kau, Mak Lampir! Sudahi kemusyrikanmu. Sesungguhnya, bukanlah malaikat yang membisikimu, melainkan syaiton yang bersarang di dalam tulang dan daging busukmu yang penuh dosa.”
“Ngawur,” ucap Ma Inyong santai, tapi sedikit terkejut orang tua peyot itu ternyata lantang juga suaranya.
Rombongan pawai itu langsung menyalak merah, menggonggongi Ma Inyong dengan menyebut segala macam binatang dari seluruh kebun binatang yang ada. Orang tua itu menghantamkan ujung tongkat ke tanah, yang kemudian diterjemahkan oleh pemuda di sampingnya kepada rombongan pawai agar tetap tenang. Ma Inyong santai menuruni tangga rumah panggung, menghampiri mereka dan bertanya.
“Mengapa Tuhan membiarkan para bajingan tetap hidup?”