Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Lainnya - Seranting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pitang Pelitung

29 Oktober 2024   15:22 Diperbarui: 29 Oktober 2024   15:51 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bingimagecreator: dalibudaya

Tapi tampaknya bocah ini salah paham. Ia malah menarik dompet si nenek. Nenek melongo usai si bocah berlari seolah badan jangkungnya didorong angin badai. Tidak, nyatanya bukan salah paham, bocah ini memang agak lain.

Pitang Pelitung bukanlah gembel sembarang gembel. Begitu-begitu, ia juga punya profesi: seorang peminjam. Kawan-kawan gelandangannya selalu menggeleng kepala setiap Pitang Pelitung membanggakannya dengan nama itu, sebab bagi mereka, profesi itu lazimnya disebut pencuri. Ia berang disebut pencuri, “Aku bukan pencuri! Aku ini peminjam!”

“Aku mengambil roti secara cuma-cuma dari tas seorang ibu, apakah itu mencuri? Aku mengambil sendal di mushola saat pemiliknya tengah bertemu Tuhan, apakah itu mencuri? Aku mengambil duit orang yang tercecer di trotoar dan mereka tidak menyadarinya, apakah itu mencuri? Tidak, sama sekali.”

“Ibu pemilik roti itu berbadan tambun, ia tak seharusnya makan banyak. Jadi kuselamatkan ia dengan mengambil roti itu supaya tak larut dalam masalah obesitas. Sendal di mushola? Itu juga bukan soal mencuri. Pemiliknya pastilah seorang hamba yang menyurgawikan akhirat, dunia bukanlah hal baginya; sendal adalah barang duniawi, jadi kuambil saja supaya ia lebih kasmaran dengan akhiratnya.”

“Dan duit yang jatuh di trotoar, melayang dari tas seorang ibu-ibu yang sasak rambutnya mengingatkanku pada tudung nasi, terlihat begitu ganjil pada kepalanya yang mungil. Dari perawakannya, sudah kutebak ia seorang pejabat (atau istri pejabat), dan memungut uang merah yang terlanjur jatuh di tanah tentu saja bukan perilaku yang berkelas, maka sebagai seseorang yang tidak berkelas, ya, kuambil saja duit itu.”

“Aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil apa yang orang-orang tinggalkan begitu saja,” ia akhirnya menarik kesimpulan setelah deklarasi pidato sepanjang tali beruk.

Kawan-kawannya berhenti melongo, “Dan kau menyebutnya meminjam?” Pitang Pelitung tak punya jawaban lain selain mengangguk. Sejak itu para gelandangan tak pernah mau berurusan dengan Pitung, sebab mutlak sudah, ia adalah bocah terlain dari yang paling lain. Dan sejak itu pula, Pitung memilih untuk hidup menyorok di bawah kolong jembatan. Tanpa awan gemawan. Tanpa kawan.

***

Tak satupun berprasangka, bahwa si nenek akan membanting pintu mobil dan kelak mengejar Pitung bak anjing gila. Badannya telah membusur nan ringkih, tapi rupanya kaki-kaki itu sekokoh kaki macan. Pitung tak peduli dengan angin badai yang mendorong tubuh kerempengnya. Ia sudah menendang dirinya sendiri supaya kakinya tersengat ngilu dan berlari terpontang-panting. Pertunjukan macan menerjang buas angin badai adalah tontonan yang mengejutkan selain seru bagi penghuni jalan raya. Klakson semakin ramai memekak, seolah memberikan tepuk tangan meriah.

Saking heboh dan penasarannya, satu pengemudi mobil telah ceroboh membuka pintu, sehingga Pitung tak punya waktu untuk mengerem, dan “brakk!”: kepalanya menubruk pintu dan punggungnya menghantam aspal. Tanpa dikeroyokpun, Pitung telah babak belur duluan. Si macan berdiri di belakangnya, bernafas tersengal-sengal dan menangis kesal. Ia merasa tak perlu membonyor si bocah, hanya merampas kembali dompet kesayangannya. Oh, tak lupa ia juga menyambar kantung remahan peyek, “Saya juga tak sudi kamu punya ini!”

Pitung masih terkapar, mencoba bangun tapi ngilu sampai ke tulang. Ia berteriak, tapi tercekat di tenggorokan, “Nenek jahat! Enggak mau minjamin aku dompet!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun