“Aku bingung, Dhi.”
“Lho tidak usah bingung, yang bingung itu tidak jujur.”
Aku mengangguk, “Masalahnya, aku belum berhasil jadi penyair, apalagi nggombal itu tadi, Dhi. Jadi mesti jawab apa? Lagian namanya gombal kok rasanya tidak pantes kalau dekat sama penyair.”
“Kenapa?”
“Penyair itu manusia yang mesti mensucikan jiwa, khatarsisme yang harus selalu dia tegakkan. Kebenaran dan kemanusiaan –terlebih lagi, Dhi, ketuhanan.”
“Tidak pantas kalau penyair berbuat yang tidak-tidak, apalagi melanggar hukum?”
“Hukumnya siapa dulu, Dhi!”
“Ada berapa hukum?” sahutnya cepat dan aku tidak langsung menjawab, malas mendebatkan hukum siapa dan hukum siapa, dan kelihatannya Dhimas Gathuk membaca kemalasanku ini. “Oke, hukum pemerintah.”
“Aku tidak paham, Dhi. Yang jelas, penyair tidak boleh menginjak-injak kebenaran, tidak boleh berlaku angkara dan merusak, terlebih lagi,”
“Merusak pagar-ayu?” sahut Dhimas Gathuk cepat, seperti halnya tadi.
“Tidak boleh merusak pagar ayu yang bukan haknya.” Sahutku dan Dhimas Gathuk mengangguk seolah memahami sesuatu.