Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyair Berlidah Setan

6 Desember 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:14 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku bingung, Dhi.”

“Lho tidak usah bingung, yang bingung itu tidak jujur.”

Aku mengangguk, “Masalahnya, aku belum berhasil jadi penyair, apalagi nggombal itu tadi, Dhi. Jadi mesti jawab apa? Lagian namanya gombal kok rasanya tidak pantes kalau dekat sama penyair.”

“Kenapa?”

“Penyair itu manusia yang mesti mensucikan jiwa, khatarsisme yang harus selalu dia tegakkan. Kebenaran dan kemanusiaan –terlebih lagi, Dhi, ketuhanan.”

“Tidak pantas kalau penyair berbuat yang tidak-tidak, apalagi melanggar hukum?”

“Hukumnya siapa dulu, Dhi!”

“Ada berapa hukum?” sahutnya cepat dan aku tidak langsung menjawab, malas mendebatkan hukum siapa dan hukum siapa, dan kelihatannya Dhimas Gathuk membaca kemalasanku ini. “Oke, hukum pemerintah.”

“Aku tidak paham, Dhi. Yang jelas, penyair tidak boleh menginjak-injak kebenaran, tidak boleh berlaku angkara dan merusak, terlebih lagi,”

“Merusak pagar-ayu?” sahut Dhimas Gathuk cepat, seperti halnya tadi.

“Tidak boleh merusak pagar ayu yang bukan haknya.” Sahutku dan Dhimas Gathuk mengangguk seolah memahami sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun