bergincu tebal senandungkan dosa
Sedang di balik dinding jejaka gelisah
menunggu saat berkencan” (Ebiet G. Ade, Saksikan Bahwa Sepi)
Apabila di atas, ada bangunan “Perempuan renta” pada bagian ini ditemukan kata “tua”. Renta dan tua dapat dipandang sebagai kata dengan nilai yang sama. Akantetapi ungkapan “renta” tetap lebih menyiratkan pada kepayahan hidup yang lebih banyak ketimbang kata tua. Dalam bait ini, kata tua justru mengandung lebih banyak kepayahan hidup. Manusia yang berusaha untuk menipu realitas dengan menampilkan kesan. Meski realitas sebenarnya tidak seperti apa yang nampak, sosok perempuan tua berusaha mengingkari keadaan diri. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk “menjadi” sesuatu yang palling diinginkan. Biasanya, hal yang diinginkan merupakan tuntutan realitas, apa yang realitas inginkan dari seorang individu. Perempuan tua (sebagai perwakilan dari manusia pada umumnya) justru merupakan bagian dari kebutuhan dunia. Jadi bukan dunia yang dimasak untuk memenuhi kebutuhan si perempuan tua, namun justru perempuan ini yang digiring ke atas tungku untuk memenuhi kebutuhan dunia.
Bagi saya, keadaan “perempuan tua” sebagai keterbalikan dunia dan menurunnya nilai manusia sebagai makhluk dengan derajat tinggi. Sebab manusia dalam keadaan “perempuan tua” terjaring oleh perangkap keinginan duniawi yang justru menjauhkan diri manusia itu dari ketenangan hidup. Manusia ini tidak mampu merasakan bagaimana heningnya gemericik air yang menyenandungkan kehidupan, mengenai hakekat hidup sebab dirinya terperangkap oleh keriuhan. Bayangan ini kembali berhadapan dengan perbandingan yang sangat layak diperhitungkan.
Tentang bagaimana seorang perempuan tua yang bergincu dan bersenandung dosa disandingkan dengan jejaka yang gelisah. Bagaimana rasanya ketika kita menunggu detik dimana ada pertemuan dengan kekasih. Tentu, ada gejolak yang berkecamuk dengan hebat. Menjadikan manusia serba salah dalam menghadapi waktu yang berganti.
Barisan syair lagu ini memberikan penggambaran mengenai perbedaan antara yang riuh dengan sepi. Riuh tidak sebagai kondisi lingkungan yang mana memiliki suatu kegiatan yang super sibuk. Sebaliknya, sepi tidak lantas hanya diam tanpa gerakan. Dua yang berlawanan ini sebagai nuansa, mungkin juga karakter yang terdapat dalam jiwa manusia dalam menghadapi dan menjalani kehidupan. Sepi melawan gaduh, sedang Ebiet G. Ade sendiri mengatakan kalau: “Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan”, ini terletak pada jiwa dan pribadi seseorang dalam menjalani hidup. Sepi dapat dikatakan sebagai manusia yang memiliki jiwa yang tenang, mengalir seperti air di pancuran pada rumpun bambu di lereng pegunungan.
Manusia akan mencapai ketenangan kalau dirinya memilih sepi sebagai ruh kehidupan. Sepi lebih menyenangkan dari yang riuh, sebab sepi seperti gadis telanjang yang sedang mandi dan bernyanyi. Tidak memiliki hasrat yang “terlalu” atau berlebihan. Ia menikmati hidup, sebagaimana adanya yang telah diberikan untuknya. Tidak mengadakan sesuatu yang belum ada, pun juga tidak mengejar yang belum mungkin tergapai. Yang ada, hanya menikmati apa yang ada hari ini dan mensyukurinya. Entah itu kemiskinan atau kepayahan hidup lainnya. Karena “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. 6. 32). [Catatan Perjalanan | Dhian Hari M.D. Atmaja | md.atmaja@yahoo.com]
22 Februari 2012
Saksikan Bahwa Sepi
(Ebiet G. Ade, Album Camelia III)