Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gadis Telanjang Itu, Sepi

23 Maret 2012   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbungkuk namun sempat senandungkan tembang

Sedang di balik pagar gadis berdendang

tengah mandi telanjang” (Saksikan Bawa Sepi, Ebiet G. Ade)

Perempuan renta yang saya kira memberikan pengetahuan akan kepayahan hidup yang belum selesai. Kepayahan (kesulitan) yang merupakan perwakilan dari kesulitan kita sebagai manusia di zaman ini. Mereka ini manusia dalam strata (kalau strata itu ada) bawah. Perempuan renta yang mesti menimba, sebagai perwakilan dari kepayahan hidup itu. Akantetapi, kontradiksi yang ditawarkan adalah perempuan renta yang menyenandungkan tetembangan. Di balik kesulitan hidup, ada keriangan. Kontradiksi seperti memiliki keontetikan realitas. Seperti ketika saya bertemu dengan para petani, senyuman mereka melayang dalam ikhlas. Lebar penuh keriangan.

Dan “di balik pagar gadis berdendang tengah mandi telanjang”, dualisme makna dan simbol yang diciptakan antara “perempuan renta” dan “gadis”. Dua yang dapat dijadikan suatu kesatuan, bahwa perempuan renta dan gadis ini sebenarnya satu. Mereka ini diri yang satu, seperti halnya materi dan esensi. Badan dan ruh. Bahwa dalam jiwa yang sepi (baca: bening) meskipun seringkali kita mendapati wujud yang tidak baik namun memiliki nilai yang mengagumkan. Seperti buah durian, meski keseluruhan penampilan terbalut duri namun memancarkan bau harum dan memiliki rasa yang nikmat. Ini pendidikan jiwa, bahwa meskipun kita berada pada posisi yang sulit (buruk) namun harus selalu berjiwa (dan berlaku) baik. Saya teringat dengan tetangga yang seorang pensiunan guru, yang mengatakan pada saya seperti ini: “Dulu, saya dipesan Ibu seperti ini, Mas. Apa pun keadaan kita, le, tetap harus bisa menjalankan tiga hal: bekerja seperti petani, berhati santri dan berbudi priyayi”. Sesuatu yang tidak terlalu mengada, namun saya dapat mengatakan, inilah suatu kebaikan.

Lagu ini memberikan kita perbandingan dengan syair di bawahnya. Kegetiran dan sakit yang terjadi dengan tanpa disadari. Ini sebagai lawan dari sepi, nuansa keriuhan yang mewakili gemuruh dada seseorang. Yaitu dada yang dipenuhi oleh gejolak hawa nafsu, urusan duniawi. Sedang dunia sendiri, terbaca dalam nuansa getir melalui simbolisasi “nafas jalanan”. Bisa saja kita membaca kalau ini merupakan penggambaran mengenai kehidupan masyarakat kota, namun ketika ditarik ke dalam satu kesatuan hidup manusia (maksud saya, seseorang), ini hanya menyoal pada diri sendiri. Kemudian “Gedung Tinggi” adalah tingginya dorongan atas pemenuhan hasrat. Gedung tinggi seperti tingginya keinginan manusia yang menjulang di bawah “terik” atau tekanan-tekanan kejiwaan yang berasal dari hawa nafsu.

“Dengarlah suara nafas jalanan

di balik gedung tinggi, di bawah terik

Lihatlah geriap lalu lalang disapu debu panas

Kasih pun sirna

Ada perempuan tua berdandan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun