Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dengarkanlah, Bahasa Kerinduanku

29 Maret 2011   13:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:19 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengarkanlah, Bahasa Kerinduanku
Oleh M.D.Atmaja

Bagaimana rasanya jikalau kita mencintai seseorang namun tidak memiliki kemampuan dalam berucap rindu atau cinta? Karena keterbatasan jarak yang tidak dapat dipendekkan, atau juga karena tidak tahu kemana harus melarikan kaki agar bisa merengkuh sang kekasih itu. Mungkin di saat rasa itu bergejolak, kita akan merasakan keresahan yang memuncak. Menjadi sakit yang teramat sulit untuk tersembuhkan, bahkan dapat membuat seseorang berani untuk mengakhiri kehidupannya di detik itu juga.Setiap orang memiliki cerita yang berbeda tentang cinta. Ada yang merasakannya sebagai kebahagiaan yang melenakan, pun, ada juga yang menghadapi kisah itu seperti perjamuannya dengan luka yang bernanah dan darah. Dari rasa cinta ini, entah itu yang membahagiakan atau yang menghancurkan, seseorang akan menjumpai gumpalan rasa yang menyumbat. Gumpalan itu, seringkali kita sebut dengan: RINDU atau KANGEN atau dengan istilah lain yang mewakili satu khasanah yang sama. Selayaknya rasa yang menjadi cikal-bakal dari rindu (kerinduan) ini, kadangkala terasa begitu nikmat. Terkadang juga begitu perih seperti luka baru yang dihujani air garam di saat malam dingin.

Kerinduan pada sesuatu yang dicintai, seperti menghadapi pisau dengan dua mata. Masing-masing bilahnya sama tajam dan berbahaya. Dapat dengan mudah berbalik hanya disebabkan pergeseran rasa yang begitu singkat. Gerak dari rasa yang teramat sulit untuk kita mengerti, meskipun itu ditelusur dengan 5 W dan 1 H. Namun, rasanya ketika hati ini mencintai sesuatu, kerinduan itu hadir sebagai bumbu kehidupan.

Sekilas, kita bisa saja menyamakan dengan masakan, tanpa kehadiran bumbu tentu saja makanan tersebut akan hambar. Tidak memberikan kenikmatan, pun lebih jauh lagi apa yang namanya kesenangan. Hanya sayang, cinta dan kerinduan berbeda jauh dari masakan. Bumbu yang menyertai cinta dan kerinduan ini dapat saja menjadi penikmat, namun di waktu yang tertentu dapat berubah menjadi racun yang paling mematikan.

Jikalau kerinduan hadir sebagai ruh dari suatu perjalanan cinta, keberadaannya harus ada. Entah itu mendatangkan kebahagiaan atau penderitaan. akantetapi, keberadaan dari ruh tersebut mesti di dalam takaran yang tepat. Kalau kerinduan teramat kental atau terlalu cair, rasa itu bisa mendatangkan ketersiksaan.

“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.”
(Rendra, “Kangen”)

Menjadi manusia yang diantara kehidupan dan kematian itu tentu saja tidak enak. Tungku yang di sana tidak ada api, maka tidak akan dapat digunakan untuk memasak. Tidak ada ada kehidupan, karena manusia yang telah tertikam rindu merasakan dirinya hilang dalam kesepian. Karena itulah, perasaan itu diungkapkan untuk tetap mencapai keberadaan. Keberadaan adalah kita mampu menjaga diri dari kekosongan akan arti, sebab, hidup itu dipenuhi makna. Apalagi kalau mampu menemui si tercinta dan si terindu, segala penderitaan akan sirna saat itu juga.

“Di cerlang matamu
kulihat pagi bangkit berseri
mencairkan kembali hidupku yang beku”
... (Rachmat Djoko Pradopo, “Di Cerlang Matamu”)

Kerinduan membawa pada beban. Dorongan yang begitu kuat untuk diobati – andai diibaratkan sebagai penyakit atau “dipuaskan” jikalau diungkapkan sebagai dahaga. Rindu yang tidak terpuaskan, biasanya menimbulkan gejolak. Menciptakan keresahan-keresahan tersendiri yang keberadaannya seperti hantu. Andaisaja bisa, kita akan mengajak perasaan rindu itu berdialog dan berkompromi dalam suasana yang hangat.

“Coba kau katakan padaku
apa yang seharusnya aku lakukan
bila larut tiba
wajahmu terbayang
kerinduan ini semakin dalam”
(Ebit G Ade, “Nyanyian Rindu”)

Kalau sudah diserang oleh rindu, kita cenderung melakukan apa saja. Berusaha keras untuk menemui. Walau jarak yang ditempuh itu begitu panjang dan melelahkan, si perindu pasti akan meluncur.

“Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkah oleh-oleh buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.”
(Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”)

Suatu keadaan yang menyedihkan. Rasa yang terus bergejolak, namun takdir seolah mengatakan lain. Meskipun seluruhnya mendukung pertemuan itu, namun masih saja ada keresahan. Bisa saja membuat kita terus menangis, merangkaikan kata agar kerinduan tidak begitu menyesakkan dada bersebab “pemuasan” itu jauh dari pandangan.

“Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris”
(Taufiq Ismail, “Dengan Puisi, Aku”).

Hanya dengan puisi itu, dengan membahasakan kerinduan, gumpalan yang menyesakkan dada bisa dilonggarkan. Meskipun jarak tidak mampu terlonggarkan. Membahasakan kerinduan dapat memberikan ruang untuk bernapas, sejenak meskipun banyak orang yang memprotesnya: Puisimu buruk! Sedangkan kita sadar kalau:

“puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan”
(Dodong Djiwapradja, “Puisi”)

Seburuk apa pun bahasa yang digunakan dalam membahasakan rasa (rindu) yang ada di dalam dada, bahasa itu bisa menghilangkan sesak, karena kepahitan yang tersimpan di dalam dada terluapkan dalam kata bijak (puisi). Dan, walau pun yang dikenang adalah rindu atas penghianatan. Apa kita masih mendendam dengan kerinduan itu? dengan cinta itu? Ada yang mengalun di telinga:

“Langit di atas simpang jalan
menemaniku bernyanyi
bagai gejolak pohon nan runtuh
bersama gitar bersama sepi
bersama luka dan cinta
aku masih sempat bernyanyi lagi

Ada yang mesti kupikir lagi
melepas dendam dan sakit hati
dan berjuang membunuh benci
Tuhan, jagalah tanganku ini”
(Ebit G Ade, “Ada Yang Tak Mampu Kulupa”)

Karena itulah, bahasakan rasa yang ada di dalam dada, seperi aku menuliskan bahasa kerinduan yang terus menyesak di dalam dada. Baik atau buruk, itu bukan tolok ukurnya, selama dia sebagai:

“Sajak seorang penyair
lahir dari kecup bibir
menetes seperti air”
(Ayatrohaedi, “Sajak”).

Karena rasa itu, ada yang bergejolak, membuat hati begitu resah dalam kemelut yang tidak juga usai. Dari rasa itu, perkenankanlah saya berpuisi:

Berkelopak merah-hitam darah
rekah di senjakala
langit berpesta, warna canda.
Seucap melesat dari busur lidah
menusuk jantung tumpahkan darah
menekapar jiwa meronta
terinjak dan bangkit menghunus pedang
saat matahari memerah sinar
membakar:
“Kusuma Dendam”
[M.D. Atmaja, “Kusuma Dendam”]

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Selasa Legi, 29 Maret 2011.

http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/

table.MsoNormalTable { text-align: justify; line-height: 150%; font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; }

“Perahu melancar, bulan memancar

di leher kukalungkah oleh-oleh buat si pacar

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak ‘kan sampai padanya.”

(Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun