Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Di Atas tandu Langitan, Jalan Cinta Penyair I

10 Maret 2011   14:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi pelajar di depan alam semesta dan tubuh manusia dapat dijadikan sebagai bekal dalam menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi. Perjalanan manusia Tuhan yang mencintai Tuhan melebihi apa pun, bahkan dirinya sendiri yang akan mengajak manusia untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk yang tercinta (Tuhan). Aktivitas ini, apabila dalam khasanah Islam ditunjukkan dalam perilaku ibadah, misalnya saja shalat dan dzikir (mengingat) Tuhan. Manusia pada umumnya, apabila kita merujuk ke khasanah Jawa, maka akan mengantarkan pada paradigma “laku” dengan cara melaksanakan “tapa brata” dan “lelana brata”. Sebagai usaha untuk belajar dari hati manusia (rasa sejati manusia).

Aktivitas belajar seperti ini, dalam puisi Di Atas Tandu Langitan antologi puisi Kitab Para Malaikat (2007) terbaca dalam bait:
Tentramlah dirimu berkepompong lalu munculkan bulu sayapmu,
kepakanmu memikat pandang membelai peputik kembang (VIII : LXVIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 48).
Menyepi menjadi salah satu jalan untuk belajar dari diri sendiri, dari kesunyian dengan lebih memperhatikan keberadaan rasa manusia. Kenapa dalam aktivitas menyepi, manusia lebih harus mengejawantahkan perasaannya ketimbang pikiran? Dan menjadikan manusia sebagai patokan dalam memulai sebuah perjalanan panjang pembelajaran?

“Dunia terwujud bersama dengan manusia” (Beatty, 2001: 230) yang mana keberadaan dunia ini ditentukan oleh keberadaan esensi dari manusia. Adanyanya wilayah yang disebut dengan dunia, karena ada manusia yang menyaksikan keberadaan material dan non-material dari dunia itu. Bersebab landasan ini, tidak menjadi suatu pemikiran semu ketika dalam kepercayaan batin jalan spiritual manusia Jawa, diri sendiri (rasa sejati) sebagai pusat dari tatanan dunia.

Selayaknya titik kosmos kehidupan masyarakat Jawa, titik berada di tengah yang mengatur segala aspek yang ada di tepian. Hati yang memiliki otoritas penuh dalam tatanan kosmos, sehingga dia (hati manusia atau rasa sejati) menjadi makro-kosmos dan tubuh adalah mikro-kosmos (Magnis-Suseno, 1995: 118). Dengan menyepi yang tertuang dalam “berkepompong” sebagai usaha untuk membangkitkan kekuatan batin manusia. Diketika manusia “berkepompong” dia, maksud saya manusia itu (penyair) memiliki ruang dan waktu yang lebih banyak untuk mendengarkan rasa sejati, dimana cahaya Tuhan Semesta Alam bersemayam, sebagaimana diungkapkan Mulder (1984: 11) bahwa Tuhan ada di dalam hati manusia, dan hidup manusia sendiri harus menjadi doa yang terus menerus kepada Tuhan. Dan orang yang memiliki hubungan dekat (yang secara sadar) dengan Tuhan, maka sudah tentu akan muncul keindahan di dalam jiwanya.

Ini sebagai bagian dari tujuan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang penyair. Kedekatan batin dengan makro-kosmos akan memberikan ruang yang lebih banyak dan makna terdalam dari saripati dunia yang termanifestasikan. Suatu perjalanan yang memang musti ditempuh dengan keyakinan akan “jalan hidup” seorang penyair, sebagaimana yang terbaca dalam bait dibawah ini:
Ketika mengunjungi keganjilan, tarikanlah penamu sampai batas lunglai,
bukan kesiaan memalukan, menelan buah maja tercapainya kerajaan (VIII : CIV) (Kitab Para Malaikat, 2007: 49-50)
“Ketika mengunjungi keganjilan” aspek ini yang menterjemahkan mengenai proses dalam meraih kedekatan dan pembangkitan kekuatan dari rasa sejati (makro-kosmos). Saya mendefenisikan istilah “ganjil” sebagai hal yang merujuk pada kegiatan yang bernilai spiritual, katakan saja Tuhan itu satu sehingga dia bernilai ganjil. Menempuh perjalanan untuk mencapai kekuatan batin memerlukan kerja keras dalam niatan “laku” akan “tapa brata dan lelana brata” yang mana suatu kegiatan yang tidak enak. Sebab, manusia akan digiring ke aktivitas untuk mengurangi makan, tidur, maupun berbincang untuk menjalani ritual kebatinan.

Kemauan dan tekat untuk mencapai “laku” kebatinan bukan suatu aktivitas yang tanpa hasil, walau sudah mencapai pada “batas lunglai” yaitu keterbatasan manusia dalam usaha menembus batas-batas tubuh(badaniah)nya. Aktivitas “laku” ini yang seringkali disebut dengan prihatin, memakan yang pahit dulu untuk mencapai manisnya hidup yang lebih hakekat. Untuk itu, memang menjadi hal yang berat ketika hidup hanya sekali dan dijalani untuk menempuh dan mereguk proses yang pahit, akantetapi “maja tercapainya kerajaan”, tinggal kita memilih, mana yang akan kita capai dahulu. Apakah kita akan memakan pahit kemudian manis, atau manis terlebih dahulu kemudian pahit? Perlu kita ingat, manis dan pahit ditentukan oleh tempatnya, apabila dia berada di akhir, maka kita menuju ke arah itu. Surga atau neraka.

http://md-atmaja-id.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun