"Apa yang dilihat orang akan menjadi satu kebenaran, Mas?"
"Tergantung dari sudut mana ia melihatnya. Penghakiman tidak bisa dilakukan dalam satu sudut padang saja. Setiap masalah itu ada sebabnya, persepsi dan justifikasi itu juga ada dasarnya. Ibaratnya, apabila kita melihat seseorang yang berlari di tengah malam membawa seekor ayam, bukan berarti dia adalah pencuri. Butuh banyak hal untuk menyatakan bahwa dia adalah pencuri." Nandar diam sejenak, "Tergantung dari mana kita melihatnya. Tergantung dari sudut pandang manusia."
Ucapan Nandar membuat Narti kaget. Ia menyelidik dengan kedua matanya yang bening bertirai air mata. Ada sesuatu yang aneh dari pria yang ada di sampingnya.
"Jadi tetap tergantung dari persepsi dan justifikasi itu sendiri, kan?"
"Saya kurang yakin," ucap Nandar lemah. Sangat jelas baginya, kalau ada seseorang yang berlari di tengah malam membawa seekor ayam, tidak lain, orang itu adalah maling, pencuri. Tapi Nandar sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkan perumpamaan gila itu.
"Lalu bagaimana penjelasannya?"
"Lupakan soal peng-ibarat-an tadi. Persepsi ditentukan dari bagaimana seseorang melihat suatu masalah. Intinya, tergantung dari sudut pandang mana orang melihat suatu masalah. Kemudian dia harus melihat secara jauh, sebelum menjustifikasikan sesuatu." Nandar diam, "Aku tidak tahu,"
Wajahnya menjadi muram saat ingat pada Rena, persepsi dan justifikasi. Nandar mulai mempertimbangkannya kembali atas persepsi yang telah ia bangun tentang Rena, kemudian justifikasi yang belum tentu sesuai dengan keyataannya. Nandar menggeleng lemah.
"Terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan," ucap keduanya yang hampir bersamaan.
Keduanya saling berpandangan tanpa tahu dengan apa yang harus mereka katakan kemudian. Nandar mendesah berat, mengingat justifikasinya akan Rena yang kebenarannya belum tentu pasti.
"Saya pernah menceritakan masalah ini dengan seorang teman, ia bagi saya seperti kakak sendiri. Setiap kali dia menjawab, tidak pernah memberikan kejelasan, selalu saja diantara dua hal yang harus saya pilih sendiri. Dia tidak mau memberikan satu saja jawaban untuk saya jalani. Setiap saat yang ada hanya pilihan, tidak pernah pasti."
"Coba ceritakanlah,"
"Semua orang menganggapku sebagai ayam kampus, sebagai pelacur." Kata Narti pelan sedangkan Nandar menjuruskan pandangannya ke laut sambil membayangkan Rena. "Saya tidak tahu, apa salah saya sampai mereka mengatakan seperti itu."
"Tapi, benar tidak dengan pendapat orang itu?"
"Saya bukan pelacur!" Ucap Narti tegas. "Yang lebih parah, orang yang mencintai saya dan juga yang saya cintai, menganggap saya sebagai pelacur, sama dengan orang yang sama sekali tidak mengenal."
Kata-kata Narti menjadi pukulan berat bagi Nandar. Semua masalah ini seperti kembali buatnya sendiri. Kembali pada Rena. Kembali pada persepsinya. Ia terus saja tetapi tidak mendengarkan cerita Narti. Nandar diam sambil terus mencari pembenaran-pembenaran yang tidak pasti baginya. Andaikan Rena tahu, kalau diarinya telah memandang rendah, Nandar menggelengkan kepala dengan lemah. Dan ia hanya bisa terus mendengar tanpa bisa berkata apa-apa, selain teriakan hatinya sendiri yang tergenggam gemuruh ombak. Dalam hati, ia menyesal.
Bersambung ke Noumenus (Babak 26)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H