Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 19)

2 Februari 2010   01:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:08 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setelah sampai rumah, Hartanto merebahkan tubuhnya di atas tikar pandan sambil menatap langit-langit kamar. Hanya sebentar ia bertahan, ia menjadi resah, kemudian pandangannya dialihkan pada foto Kemuning yang terpasang di tembok kamar. Hartanto pun bangkit dan menyalakan lampu. Ia duduk di kursi sambil terus memandangi foto Kemuning yang seakan-akan sedang tersenyum kepadanya. Perlahan, Hartanto bangkit, mendekatkan kedua matanya pada bingkai, mengamati foto Kemuning dengan berhati-hati. Sambil tersenyum, Hartanto bergumam, "Aku memang belum buta!" ucapnya pada dirinya sendiri.

Ia duduk kembali dan mulai merokok. Hartanto sudah lupa dengan niatnya pulang, untuk tidur yang nyenyak dan makan sampai kenyang. Di depan foto Kemuning, Hartanto termenung, mengenang perjalanan hidupnya yang sepi dan gelap. Cerita luka yang ia harus ia jalani begitu menyedihkan dan memilukan. Semua penderitaannya melebihi apa yang telah dirasakan Rena, Fais, Nandar atau teman-temannya yang lain. Namun, sekuat tenaga ia terus bertahan dengan semangat dan harapan yang dimilikinya. Hartanto terus menyikapi dengan jernih agar kesedihan tidak melarutkan dirinya di dalam badai yang bergejolak.

Sudah satu batang rokok habis dalam beberapa menit saja. Pandangannya masih pada foto Kemuning, tidak bergeser sedikitpun, sampai tiba-tiba ia melesat kembali ke dalam kegelapan dan dinginnya pagi. Ia pergi, seiring dengan adzan subuh yang merambat di dalam keheningan menggapai jiwa-jiwa manusia untuk berbasuh dengan pengabdian di dalam sujud Subuh yang membuat setiap orang bertahan di dalam kerasnya dunia. Hartanto melaju kencang di jalan yang dingin. Ia benar-benar lupa dengan niatnya untuk pulang.

Sementara itu Nandar berhenti di samping mushola yang berdekatan dengan pantai Pandansari. Ia meletakkan tas dan kotak biolanya di serambi mushola yang kemudian menuju tempat wudhlu. Wajahnya tenang dalam basuhan air tawar yang dingin. Orang-orang desa yang dia temui menyapa dengan senyuman ramah. Dalam suasana hangat mereka saling berjabat tangan yang erat mengalirkan kasih sayang.

"Anak-anak merindukan kehadiran Mas Nandar!" ungkap Pak Kasmin sambil tersenyum ramah.

"Saya juga merindukan mereka. Banyak hal di sini yang selalu saya rindukan." Sahut Nandar.

Pak Kasmin hanya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian ia langsung masuk ke dalam untuk mempersiapkan diri menjadi imam. Suasana desa yang damai dan debur ombak mengantarkan mereka dalam penghadapan sujud Subuh. Kedamaian merasuk ke dalam hati secara perlahan-lahan membuatnya bersembahyang dengan khusyuk dalam mimbar pengaduan pada Tuhan. Setelah selesai sholat, Nandar kembali teringat kepada Rena yang dulu berada di belakangnya menjadi makmum yang tersenyum manis. Hatinya menjadi terasa nyeri menghadapi kenyataannya, bahwa Rena sudah tidak lagi sama seperti dahulu. Tanpa Nandar sadari, ia menangis. Dalam mimbar pengaduan itu, Nandar tidak berkata apa pun selain dengan doa di dalam hati dan tetesan air mata.

"Kalau memang dengan menangis dapat membuat suasana hati menjadi lebih tenang." Ucap Pak Kasmin yang membuat Nandar kaget dan buru-buru menghapus air mata di pipinya.

Pak Kasmin duduk bersila di depan Nandar, menatap wajah anak muda di depannya sambil tersenyum. Dengan lembut, ia memegang pudak Nandar yang seperti mendapatkan beban berat.

"Kalau hanya dengan menangis bisa membuat hati tenang, menangis saja. Lagi pula, tidak ada hukum dunia dan akhirat yang melarang manusia untuk menangis. Ini hanya reaksi yang sangat manusiawi, binatang yang buas saja bisa menangis, apalagi manusia yang punya akal dan hati nurani."

"Andai saja luka yang saya rasakan tidak begitu nyeri, saya tidak akan menangis." Ucap Nandar sambil mencoba mengeringkan air mata yang terus mengalir.

"Se-nyeri dan se-sakit apa pun, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan umatnya!" ungkap Pak Kasmin ingin membesarkan hati Nandar namun justru membuat air matanya mengalir dengan deras.

"Mungkin," ucap Nandar dengan suara serak, "Sayalah yang terlalu rapuh, tidak sanggup menerima nikmatnya anugerah ini."

Pak Kasmin tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat Nandar terjatuh dalam penderitaan yang datang sebagai ujian untuk manusia. Nandar sendiri tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan untuk tidak menangis. Kepalanya tertunduk begitu dalam, seperti sedang mengadukan luka hatinya yang nyeri.

"Seorang pelaut akan terus bertahan untuk selamat dari badai yang mengombang-ambingkan dirinya di tengah lautan yang ganas, yang siap melahap hidupnya. Pelaut itu terus bertahan, terus bertahan sekuat tenaga dengan semangat dan tekatnya untuk selamat walau ia sendiri menyadari kalau dirinya tidak akan selamat. Tapi, sebagai seorang pelaut, seorang manusia itu harus terus bertahan, berjuang keras untuk dirinya sendiri menghadapi setiap persoalan." Pak Kasmin lalu bangkit, menepuk pundak Nandar dan meninggalkannya sendirian di dalam mushola, sendiri dalam penghadapannya pada Tuhan.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun