Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 16)

26 Januari 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Sendirian, Is?" tanya Hartanto renyah.

Fais tidak menjawab selain dengan mengangkat kedua tangannya melebar. Dengan gerakan itu seakan dia ingin mengatakan: ini kamu lihat aku hanya sendiri, tidak perlu kamu berbasa-basi menanyakannya.

"Aku ke belakang dulu, Mas." Kata Eko.

"Lho,"

"Sudah ada Mas Fais yang menenami!" ucap Eko cepat sebelum Hartanto melanjutkan kata-katanya.

Eko langsung tenggelam kembali ke dalam pekerjaannya. Dia memang bos, sang pemilik Kedai Cangkir dan Kedai lainnya, tapi dia selalu bekerja seperti semua karyawannya. Dia seperti karyawan biasa yang menerima gaji setiap bulannya, memakai kaos yang sama dengan para pekerjanya bahkan saat berangkat ke Cangkir, Eko hanya dengan sepeda ontel yang sudah berkarat di banyak bagian. Dia menjadi contoh bagi karyawan-karyawannya, bahwa tidak ada perbedaan antara karyawan dan pimpinan selain prestasi kerja, mereka harus sama-sama bekerja demi kelangsungan hidup kedai mereka. Eko selalu mengajarkan kepada semua karyawannya untuk berprestasi, siapa yang berprestasi akan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan prestasinya. Hartanto pun menggeleng, mengangkat gelasnya sebagai tanda salut dan bangga telah mengenal Eko.

"Nandar pergi ke mana, Har?" tanya Fais sambil menuliskan pesananan.

"Aku belum bertemu Nandar sejak tadi siang. Tapi paling juga dia pulang ke Pondok."

"Aku sampai lupa kalau Nandar itu anak pesantrenan," ucap Fais tersenyum dan memukul kepalanya sendiri dengan pelan.

Ia tidak menyangka kalau Nandar masih berada di pesantren, tidak seperti anak pesantren yang banyak dia kenal. Setelah lama hidup di Yogyakarta dengan banyak pergaulan yang semakin beragam, lama kelamaan mulai meninggalkan pesantren dan menikmati hidup seperti anak muda pada umumnya. Mengenal pacaran, mengenal istilah ngamar, dan banyak lagi yang tidak bisa dinalar kalau mereka dulunya hidup di pesantren. Fais masih menggelengkan kepala sambil tersenyum. Tapi inilah Nandar, terus bertahan dengan penuh keyakinan tidak seperti dirinya sendiri.

"Bagaimana kabarnya Narti, Is? Sudah lama aku tidak bertemu dia di sini."

"Aku juga kurang tahu," jawab Fais dengan ragu. "Paling juga sedang jalan-jalan sama teman-temannya, atau baru mengitung pembayarannya yang satu-juta untuk dua jam permainan," Fais melirik pada seorang wanita bertubuh kecil dengan rambut agak pendek yang tersenyum kepadanya. "Satu-juta untuk dua jam," ulang Fais lemah.

"Jangan berpikiran buruk dengan orang lain, apalagi dia teman kita, apalagi kita mencintai dia." Sahut Hartanto.

"Kamu tidak tahu duduk perkaranya!" potong Fais dengan tegas.

"Aku tahu! Aku banyak mendengar." Potong Hartanto tegas. "Tapi, apa yang kita dengar dari banyak suara bukan berarti itu menjadi suatu kebenarannya."

"Mungkin, sedang aku tidak hanya banyak mendengar." Sahut Fais saat Eko datang membawa segelas Cappucino, sambil tersenyum ramah dia mempersilahkan pada Fais. Tidak lama, Eko langsung pergi kembali. "Aku menyaksikannya sendiri, Har. Menyaksikan dengan dua mataku yang tidak buta. Kabar itu benar, dia ayam kampus. Pelacur!"

"Semoga saja ini bukan penghakiman tanpa adanya persidangan. Hukuman tanpa ada bukti itu menjadi fitnah, Is. Sedangkan rasanya sakit andai saja kamu bisa merasakannya. Andai kamu berada di dalam posisi Narti." Ucap Hartanto merasakan kepedihan di dalam hatinya.

"Ini bukan kerja penelitian yang sering kita lakukan di Noumenus, yang akan menjadi salah tanpa mampu memberikan bukti yang konkret."

"Kalau begitu jangan cepat menarik kesimpulan."

"Kamu tidak tahu masalahnya," ucap Fais sambil memandang ke tempat yang jauh seakan dia membayangkan tentang perihal Narti. "Andai kamu berada di dalam posisiku, kamu tidak akan berbicara sebijak ini."

Hartanto tersenyum, "Aku tidak akan pernah berada di posisimu. Setiap orang sudah menempati posisinya masing-masing. Aku hanya bisa menasehati, kalau kamu tahu sesuatu itu jelek dan kamu tidak menginginkannya, carilah sesuatu yang lebih baik dan yang kamu ingini tentunya."

"Takdir!" sahut Fais lemah. "Keadaan ini yang harus aku jalani, ini takdirku karena aku tahu dia dengan warna hidupnya tapi aku juga menginginkannya. Ini takdirku, Har."

"Manusia selalu menyalahkan takdir. Berlindung di belakang takdir atas semua kesalahan atau atas keadaan yang tidak dia inginkan. Bagaimanana pun, hidup ini penuh dengan pilihan. Manusia harus memilih takdirnya sendiri-sendiri, diantara banyak hal yang ada di depan kita. Dua hal!" Hartanto meralatnya dengan cepat, "Semua takdir ada di tangan manusia untuk diwarnai sendiri sesuai dengan keinginan manusia, kecuali tiga hal saja. Selebihnya, adalah pilihan dan usaha manusia itu sendiri." Hartanto mengungkapnya dalam senyuman yang lebar.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun