Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 16)

26 Januari 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Aku juga kurang tahu," jawab Fais dengan ragu. "Paling juga sedang jalan-jalan sama teman-temannya, atau baru mengitung pembayarannya yang satu-juta untuk dua jam permainan," Fais melirik pada seorang wanita bertubuh kecil dengan rambut agak pendek yang tersenyum kepadanya. "Satu-juta untuk dua jam," ulang Fais lemah.

"Jangan berpikiran buruk dengan orang lain, apalagi dia teman kita, apalagi kita mencintai dia." Sahut Hartanto.

"Kamu tidak tahu duduk perkaranya!" potong Fais dengan tegas.

"Aku tahu! Aku banyak mendengar." Potong Hartanto tegas. "Tapi, apa yang kita dengar dari banyak suara bukan berarti itu menjadi suatu kebenarannya."

"Mungkin, sedang aku tidak hanya banyak mendengar." Sahut Fais saat Eko datang membawa segelas Cappucino, sambil tersenyum ramah dia mempersilahkan pada Fais. Tidak lama, Eko langsung pergi kembali. "Aku menyaksikannya sendiri, Har. Menyaksikan dengan dua mataku yang tidak buta. Kabar itu benar, dia ayam kampus. Pelacur!"

"Semoga saja ini bukan penghakiman tanpa adanya persidangan. Hukuman tanpa ada bukti itu menjadi fitnah, Is. Sedangkan rasanya sakit andai saja kamu bisa merasakannya. Andai kamu berada di dalam posisi Narti." Ucap Hartanto merasakan kepedihan di dalam hatinya.

"Ini bukan kerja penelitian yang sering kita lakukan di Noumenus, yang akan menjadi salah tanpa mampu memberikan bukti yang konkret."

"Kalau begitu jangan cepat menarik kesimpulan."

"Kamu tidak tahu masalahnya," ucap Fais sambil memandang ke tempat yang jauh seakan dia membayangkan tentang perihal Narti. "Andai kamu berada di dalam posisiku, kamu tidak akan berbicara sebijak ini."

Hartanto tersenyum, "Aku tidak akan pernah berada di posisimu. Setiap orang sudah menempati posisinya masing-masing. Aku hanya bisa menasehati, kalau kamu tahu sesuatu itu jelek dan kamu tidak menginginkannya, carilah sesuatu yang lebih baik dan yang kamu ingini tentunya."

"Takdir!" sahut Fais lemah. "Keadaan ini yang harus aku jalani, ini takdirku karena aku tahu dia dengan warna hidupnya tapi aku juga menginginkannya. Ini takdirku, Har."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun