Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 7)

12 Januari 2010   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:30 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

09:15, Hartanto dan Munandar berangkat ke Kampus dengan berjalan kaki. Di dalam perjalanan mereka terus bercakap-cakap tanpa pernah berhenti. Pada saat itu, Munandar selalu teringat pada Rena yang telah lama tidak ia jumpai. Ingin sekali, setiap saat ia bisa mendengar berita atau cerita apa saja tentang Rena. Walau hanya dengan kabar, kerinduannya tidak akan terobati, setidaknya dapat membantunya untuk bernafas dengan lega. Nandar mengusap keningnya yang berkeringat dan dilanjutkan dengan desah nafas yang berat.

"Andai Noumenus masih menjadi tempat bagi kita untuk saling bertemu," ucap Nandar mulai membahas masalah Noumenus kembali, mengingat-ingat mimpi besarnya di masa lalu, mengingat harapan yang kini menjadi kenangan. "Andai Noumenus masih berdiri dengan kokoh dan megah." Ucapnya kembali.

Hartanto mengalihkan pandangannya mencoba untuk tidak lagi membicarakan masa lalu yang berkaitan dengan Noumenus. Ia telah lelah mengenang mimpi-mimpi itu.

"Kamu dengar tidak, Har?" tanya Nandar setelah mendapati Hartanto hanya berdiam diri.

"Noumenus masih berdiri, walau kini tinggal punya dua tiang. Jelas, tidak kokoh, apalagi megah." Sahut Hartanto dengan malas.

"Tapi tidak lagi seperti dahulu,"

"Waktu sudah lama berlalu, Ndar. Kalau lingkungan berubah, Noumenus pun akhirnya ikut berubah. Noumenus itu bukan apa-apa tanpa roh di dalamnya. Sedangkan, kalian telah menghancurkan dan meninggalkannya jauh di belakang. Jauh di masa-lalu kalian tidak merperdulikan hidup Noumenus. Heran, kenapa kamu membahas masalah itu lagi."

"Kalian," dengusnya dengan Nandar kecewa, "Seolah-olah aku ikut menghancurkannya."

"Kenapa kamu ikut pergi? Sampai satu persatu melepaskan diri." Sahut Hartanto cepat dan penuh emosi.

Nandar terdiam. Kini ia menjadi yang seorang terdakwa yang akan segera diadili. Perasaan bersalah mulai mengalir ke dalam darahnya. Ia tertunduk sejenak. "Andai aku tahu kalau akan menjadi seperti ini. Aku masih menyesalkan keruntuhannya."

"Di pagi hari matahari terbit, perlahan-lahan merambat sampai di atas kepala semua orang, dan perlahan-lahan pula matahari akan tenggelam. Kegelapan malam menyelimuti dan akhirnya matahari akan terbit kembali. Hari baru lahir kembali."

Nandar memandangi Hartanto, di matanya ada banyak pertanyaan. Tetap dia tidak bisa mengatakan apa-apa.

"Segala yang punya awal, pasti ada akhir yang menunggunya pada kesempatan tertentu. Kita pun akan mati!" kata Hartanto datar.

"Jangan berbasa-basi."

"Manusia diciptakan Tuhan pasti mati. Noumenus diciptakan manusia pasti akan hancur, entah itu kapan." Ucap Hartanto sambil memandang ke depan jauh namun ingatannya berada di masa lalu. "Semua hanya masalah waktu saja." Lanjutnya dengan kecewa.

"Aku menyesalkan akhir dari semuanya, kenapa tidak bisa manis penuh kenangan yang mampu membuat kita tersenyum." Ucap Nandar pelan.

"Ah, itu hanya masalah sudut pandang. Aku masih tersenyum saat mengenang  Noumenus. Dua tahun dibangun oleh sepuluh orang yang mempunyai perannya masing-masing. Dengan ambisinya masing-masing. Ada yang kaya, ada yang punya banyak relasi, ada yang punya banyak ilmu, Noumenus dibangun dengan semua yang kita punyai. Semua itu menjadi hal yang menggelikan saat kehancurannya hanya karena satu orang. Perempuan!"

Nandar menggelengkan kepala mengingat masa lalunya. Ia tidak menyangka semua itu akan hancur demi ambisi pribadi dan sesuatu di belakangnya yang sampai saat ini masih tidak mengerti. Kehancurannya mengerikan dan memalukan. Hanya dalam empat tahun kerja keras itu bertahan.

"Kita masih bisa memulainya lagi, Har."

"Aku pesimis!" ungkapnya sambil mempercepat langkahnya.

"Sejak kapan kamu langsung menyerah sebelum mencobanya?" sahut Nandar setengah berteriak dan mendakwa.

Hartanto langsung berhenti menghadang Nandar yang berjalan di belakangnya. Dia memegangi pundak Nandar dan menatapnya dengan tajam. Nandar sendiri tidak tahu, apa yang akan dilakukan Hartanto padanya.

"Kamu kira selama ini apa yang aku perbuat?" tanyanya sambil terus menatap Nandar yang diam. "Aku dan Johan sudah berusaha untuk menyelamatkan Noumenus. Tiga tahun menjadi usaha yang sia-sia."

"Kenapa kamu tidak bilang?"

"Untuk apa?" Hartanto melepaskan Nandar dan berjalan kembali. "Semua sudah berubah, aku juga tidak yakin kamu akan membelaku. Karena itu tidak kamu lakukan tiga tahun lalu saat semua mata melihatku dengan penuh kebencian dan curiga. Kamu sendiri pergi. Kamu sendiri meninggalkanku tanpa pembelaan."

Bersambung ke Noumenus (Babak 8)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun