Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 6)

11 Januari 2010   00:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:31 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Tidak juga, hanya saja manusia tidak bisa hidup tanpa keinginan, kalau orang Jawa mengatakan hidup manusia tanpa pamrih. Bukan tidak bisa, teramat susah untuk mencapai tahap itu. Kamu harus bisa mengalahkan nafsu." Nandar diam sejenak merenungi kata-katanya. "Manusia, memang harus melepaskan pamrih yang negatif dan terus berusaha melakukan, sebenarnya dituntut, untuk melakukan kebaikan-kebaikan."

"Mati selagi hidup, hidup selagi mati, seperti yang sering dikatakan oleh Orang Tua?"

"Mungkin, Har. Mungkin. Aku tidak terlalu memahami ini. Semua ini pada akhirnya sampai pada apa yang sering dibilang ‘Orang Tua' sebagai ilmu sejati,  seperti al-Hallaj, Syekh Siti Jenar dan para pengikut aliran ini. Butuh sesuatu yang lebih untuk bisa memahami dan kemudian mempraktekkannya."

Hartanto memandangi Nandar, mencoba menelusuri kata-kata seorang santri yang selama hidupnya terus berada di pesantren. Nandar memang terlihat ragu dengan setiap kata-kata yang dia ucapkan, tapi apa bedanya kalau semua ini telah ada di dalam buku-buku yang dijual dengan harga pasar. Tentunya bukan lagi ilmu sejati kalau hanya mengenai istilah-istilahnya, pikir Hartanto.

"Coba kamu bayangkan ungkapan yang menjadi tujuan mereka, bersatunya Tuhan dengan abdi-Nya. Semua itu absurd bagi orang yang benar-benar tidak memahaminya. Lagi pula, semua itu dapat dicapai dengan beberapa tahap yang harus dilalui oleh seorang manusia. Aku lupa, apa saja tahap-tahap itu." ucap Nandar yang tengah berusaha keras mengingat kata-kata selanjutnya.

"Sarengat, tarekat, hakekat, dan mahrifat."

"Yah itu. Kamu sebenarnya tahu soal ini, latar belakang keluargamu menjadi gambarannya. Tapi, walau kita tahu ilmunya, tapi teramat susah pelaksanaannya." Nandar menghela nafas dengan berat.

Hartanto tersenyum sekali lagi mengagumi cara berpikir Nandar. Banyak hal yang sudah ia dapatkan selama bersama Nandar, ilmu, persahabatan dan cara menghadapi hidup. Hartanto banyak belajar.

"Kamu mengujiku, Har?" tanya Nandar dengan tiba-tiba.

"Aku tidak pernah menguji seseorang!" jawab Hartanto sambil menggelengkan kepala dan menyuguhi sahabatnya dengan senyuman.

"Baru saja aku ingat," sahut Munandar cepat dan memandangi Hartanto yang tersenyum kecil, "kalau kamu lahir dalam keluarga Kejawen, tapi kenapa kamu menanyakan ini? Seolah-olah kamu tidak mengetahuinya."

"Hanya ingin tahu dari sudut pandangmu. Tidak lebih." Sahut Hartanto dalam senyuman kecil.

"Kamu sudah mendapatkan itu dan sekarang aku minta imbalannya. Kamu harus temani aku berangkat ke kampus."

"Kamu tidak bisa memaksaku!" jawab Hartanto tegas sambil menggelengkan kepala.

"Kapan aku pernah memaksamu, Har! Aku minta tolong, dengan sangat!" Ungkap Nandar sambil tersenyum.

Nandar tahu kalau Hartanto tidak akan pernah bisa menghindar dari orang yang sudah meminta tolong padanya. Walau terkadang, orang itu akan banyak membuatnya merasa tidak diuntungkan, sebagai korban dari kepentingan seorang teman. Tapi, tetap saja Hartanto membantu dengan senyum dan ikhlas.

"Aku juga sudah lama tidak berangkat ke Kampus. Setiap ada niat pasti aku akan langsung merasa malas dan akhirnya hanya singgah di Kedai."

"Kamu memang belum berubah, Har. Dari dulu saat kita pertama kali bertemu dan bekerja sama, sifatmu masih tidak berubah. Tapi itulah dirimu, saat kamu sedang ingin bekerja, tidak ada yang bisa menghentikan. Siang dan malam terus saja di depan komputer, sampai kamu membuat aku merasa tidak berguna. Semangat dan keinginanmu menggapai sesuatu sangatlah besar. Tapi, lain cerita lagi kalau kata malas itu ada dalam dirimu, kamu berhenti bekerja, seperti mesin yang kehabisan bahan bakar. Tidak bergerak sama sekali."

"Apa ada yang bisa mengobati rasa malas seseorang."

Nandar mengangkat bahu sambil mendesah dengan berat. "Seharusnya semangatmu dapat mengalahkan sifat malasmu."

Hartanto selama beberapa waktu ini selalu menghabiskan hari-harinya di Kedai Cangkir. Duduk diam di sana atau bersama Fais, kadang bertemu orang-orang baru yang memperkaya pengalamannya. Tetap saja, walau apa yang di dapatkan di Cangkir bisa dibilang sepadan, namun semuanya itu hanyalah pelarian saat ada kata malas.

"Beberapa hari ini, aku memang tidak bersemangat. Ada yang mengganjal di sini." Ucapnya sambil menunjuk ke dalam dadanya sendiri.

"Kenapa?"

Hartanto mengangkat bahunya kemudian merebahkan tubuh di atas tikar. Ia memejamkan mata, membuai angan-angannya dengan mimpi masa depan yang gilang-gemilang. Ah, angan-angan selalu saja membuai manusia sampai waktu jauh berlari dan kita tertinggal masih dalam angan-angan saja.

"Kemuning di mana?" tanya Nandar kembali.

"Kamu benar-benar sudah tertinggal satu bab cerita, Kemuning sudah wisuda setengah tahun yang lalu, bulan Maret."

"Terus?"

"Dia pulang ke Banjarnegara,"

"Nah, aku tahu kenapa kamu menjadi malas akhir-akhir ini." Nandar ingin mengatakan sesuatu namun segera diurungkan saat dia memperhatikan wajah Hartanto, dan mengurungkan niatnya.

"Apa?"

"Mungkin karena kamu merasa kehilangan Kemuning-mu. Dulu, sewaktu masih ada Kemuning di sampingmu, kamu terlihat sangat kuat dan tidak terpatahkan. Kamu pasti merindukannya, Har."

"Aku memang merindukannya,"

"Tenggoklah dia di Banjarnegara. Luangkan waktu untuk satu hari dua hari dan aku yakin sekembalinya kamu dari sana, akan kamu dapatkan kembali semangatmu yang dulu. Ternyata, semua ini baru aku sadari bahwa kamu tanpa Kemuning bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa."

"Seburuk itukah?"

Nandar tersenyum saja menanggapi pertanyaan Hartanto. Hari ini, dia membuktikan sendiri bagaimana seorang perempuan dapat membuat seseorang menjadi begitu kuat namun juga sebaliknya dapat membuat lelaki menjadi sangat rapuh. Hartanto yang dulu terkenal dengan semangat dan tekatnya sekarang tidak ada apa-apanya tanpa seorang wanita berada di sisihnya. Nandar tersenyum, ternyata aku tidak sendiri, pikirnya.

bersambung ke Noumenus (Babak 7)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun