Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Noumenus (Babak 1)

5 Januari 2010   01:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:38 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa detik berlalu, Eko meninggalkan Hartanto yang masih memandangi dirinya. Ia berlalu dalam kegelapan dan menuju ke dapur untuk mempersiapkan apa yang telah menjadi pesanan tamunya. Hartanto sendiri langsung menyadarkan kepalanya di bahu kursi dan memejamkan mata. Ia kembali mengingat perempuan yang menunggunya untuk dijemput sebagai seorang istri. Wajahnya yang selalu ia rindukan, membuat Hartanto menikmati kesendirian di setiap waktunya. Di antara desingan lagu-lagu yang keluar dari speaker, Hartanto mencoba menikmati kerinduan dan mimpi-mimpinya.

"Pesananannya, Mas. Es Lemon Tea tanpa gula." Kata seorang pelayan lain yang mengantarkan pesanan Hartanto.

"Terima kasih!" sahut Hartanto ramah dan pelayan itu menyuguhkan senyuman.

Hartanto menggeser gelas ke samping kemudian ia bersandar kembali pada punggung kursi. Seperti halnya tadi, ia memejamkan mata dan menikmati suasana. Mengingat perjalanan masa lalu yang akhirnya membawanya pada kesepian. Dulu, dalam setiap perjalanannya, Hartanto selalu ditemani oleh seorang perempuan yang telah memberikannya cinta dan menumbuhkan harapan-harapan baru di dalam hati. Sedangkan kini, perempuan itu telah jauh dari dirinya. Sekarang berada di kota yang damai dan tenang. Kepergian perempuan itu telah membuat perjalanan Hartanto yang sendiri menjadi terasa berat dan melelahkan.

Hartanto langsung duduk tegak dan meneguk minumannya. Dia tersenyum saat ia menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa tanpa perempuan itu. Tidak lagi sekokoh dulu, yang bagai nelayan tertangguh menyongsong badai di tengah laut yang kelam. Sedangkan kini, ia begitu rapuh seperti karang yang terus dihantam ombak dan hancur menjadi pasir yang diombang-ambingkan ombak sebagai kenangan yang usang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun