Mohon tunggu...
Iwan Mtq.
Iwan Mtq. Mohon Tunggu... Freelancer - sedang belajar membaca hari ini dari masa lampau agar tak lewat begitu saja...

senang jalan-jalan mengunjungi yang telah tiada untuk memahami diri di kemudian nanti untuk kembali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Crito ing Cerita

17 Juli 2020   09:50 Diperbarui: 17 Juli 2020   18:33 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Kulon

Bermula dari pertemuan Abah Batutulis yang asyik memungut satu demi satu dedaunan jatuh sekitar saung sunyi dari hiruk pikuk lalulalang kebonan besar di samping Istana. Suasana yang asri damai dengan teduh rindangan pohon besar sekeliling, sepoi angin melenakan pandangan. Gemericik air Sungai Ciliwung menambah syahdu swasana serasa ingin berlama-lama bercengkrama bersamanya.

"Kiranya anda tepekur lama sekali dihadapan Ratu... Apakah gerangan di pikiranmu anak muda?"

Silaturahim dengan leluhur yang semayam di sini dan mencoba berkomunikasi dengan beliau Ratu Galuh Pakuan.

"Sepertinya anda dari kulon ya?"

Wetan bah, di tegahnya Pulau Jawa tepatnya dan tampaknya belum saya melihat tanda asal dari kulon... Mohon penjelasan Abah jika berkenan. Aturnuhun.

"Dalam pewayangan ada tokoh kesatria yang slalu diiringi pamomongnya berjumlah empat, di Jawa juga ada istilah keblat papat limo pancer, apakah ananda tahu cerita itu?"

Maafkan pengetahuanku yang hanya setitik hitam di ujung kuku, kesatria yang slalu ingin bertirakat menggapai asa itu sebenarnya adalah cara mengekang nafsu dalam dirinya. Dalam laku harus ada yang menuntun yang lazim disebut guru, dalam cerita itu Semar sebagai pamomong kiranya boleh disebut guru. Apakah seperti yang Abah maksudkan?

"Kiranya seperti itulah yang aku rasakan nak, kondisi negara ini semakin carut marut tinggal menunggu 'goro goro" kalo dalam cerita wayang. Sosok Arjuna yang badan wadagnya tak seperti penggambaran tokoh Gajahmada yang kekar, dia lemah lembut menjaga dunianya disertai pamomongnya tentunya. Kesatria tangguh diperlukan untuk mengatur negara besar ini, tidak dengan kekerasan namun mengedepankan kearifan lokal untuk menjadikan aman tentram damai dan subur makmur"

Abah yang urang kulon ini nampaknya sangat mengidolakan sosok Arjuna, sekian lama berwawan tatap nama Arjuna akan selalu muncul dan Semar merupakan idolanya seperti bentuk tubuhnya yang tinggi gempal berambut putih dengan gestur lemah lembut.

Ketika kukeluarkan termos bekal kopi dan slepen berisi tembau warning, beliau beranjak menuju saung kayu beralaskan gelaran bambu.

"Ini asbaknya nak, maaf saya tidak merokok dan tak minum kopi, kalo di sini banyak juga yang melinting bako dengan kawung... sesekali cobalah"

Nampaknya Abah sedang berpuasa, beliau tahu apa isi termos kecil yang belum kubuka itu atau sedikit aroma kopi robusta di ataas bangku beton di bawah rindangnya beringin. Ceritanya sungguh menggugah rasa ingin tahu lebih dalam sejarah Pajajaran. Mimik yang serius dengan nafas yang teratur kala berbicara dengan sesekali menoleh pusara di hadapan kami sejurus kemudian menoleh arah sungai Ciliwung yang di atasnya ada jembatan gantung yang legendaris dengan mitosnya. Abah tidak cerita tentang tragedi sepasang kekasih beda bangsa, beliau bertutur akan sosok yang lebih mashur di tatar Sunda: Maung.

Memang yang nampak di sini hanya tiga pusara saja, namun Ratu tidak hanya ditemani Mbah Jepra dan Mbah Baul tapi kehadiran Sang Maung senantiasa menghampirinya. Seolah ada makhluk lain sedang mengibaskan ekor atau desiran angin menyeruak diantara kami berdua, suara tahlil menggema di hadapan pusara berdesakan ibu-ibu berkerudung khusuk mengikuti kuncen yang memimpin acara itu. Sementara Abah terus bercerita kepemimpinan Jendral Bintang Lima yang dianggapnya sangat kemaruk kepada harta yang ingin menguasai negara selamanya bersama keturunannya.

Sesaat melirik wajahnya yang sepintas mirip pemimpin yang tidak disukainya itu aku tersenyum seraya melinting tembakau yang aromanya mengimbangi bau kemenyan dan dupa cendana. Agar intermezzo tidak melebar kemana suka Abah bercerita, saya alihkan para peziarah bertambah ramai dan mulai membelah arah pusara yang dituju. Abah tolong ceritakan siapa Mbah Jepra dan Mbah Baul itu...

"Mbah Jepra menurut tutur turun temurun adalah Ki Kartaran atau Purwagalih putra dari Aki Kahir atau Elang Sutawinata yang masih keturunan Prabu Sangara atau Kian Santang atau Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog. Disebut Ki Jepra setelah beliau pulang dari Perang Jepara yang menjadi salah satu panglima perang tentara Mataran yang berasal dari Pajajaran. Dalam perang melawan VOC itu Mataram memperoleh kemenangan dan Sultan Agung menjadikan daerah Jepara sampai Tegal menjadi lumbung padi.

Sehabis dari Jepara bersama sahabatnya Ki Bagus Wonoboyo dari Pati kembali ke Pajajaran, dalam rombongan ini juga ikut ibunda Ki Bagus yakni Ratu Pembayun Mataram. Selanjutnya adik Ki Jepra yang cantic bernama Nyimas Linggarjati diperistri Ki Bagus Wonoboyo dan tinggal di Tapos sementara Ki Jepra kembali ke Caringin yang sekarang menjadi Bogor. Konon kebon ini yang membuka juga Ki Jepra untuk ditanami berbagai jenis buah-buahan dan kayu keras yang kemudian dipilih Prabu Siliwangi untuk semayam, ini hanya sekelumit yang saya ingat dan tentunya banyak lagi yang bisa diceritakan"

Sungguh menarik cerita ini Bah, tapi ada juga yang mengatakan kalau Mbah Jepra itu adalah Syech Jafar Shodiq dan Mbah Baul itu Syech Mambaul Ulum? Bagaimana menurut Abah?

"Boleh saja orang menyebut versinya masing-masing karena setiap kepala berbeda isinya, monggo mawon kata wong Jowo hahahaa... Matahari semakin merunduk nak, nanti kau kehabisan waktu ashar segeralah ambil air di sumur atau di sungai itu. Andai kita berjodoh bisa bertemu lagi sekarang waktunya Abah undur diri menapaki jalanan berbatu halus menuju Batutulis"

Punten Abah, sebelum berpisah bolehkah saya mendengar sanad dari manakah kulonku itu? Dari beberapa cerita kok rangkaiannya belum menuju sebuah jawaban.

"Sabar saja nak, nanti juga ketemu pada saatnya. Assalamu'alaikum Warahmatullaahi wabarakatuh."

Wa alaikum salam warahmatullaahi wabarakatuh.  Terima kasih Abah hati-hati di jalan.

Sejak pertemuan itu sampai saat ini saya belum bertemu beliau lagi, dua piluh lima tahun lebih tak bersua, setiap anjangsana silaturahim kesana juga tak jumpa. Ketika Tanya kuncen malah tidak tahu atau belum pernah bertemu atau mungkin pernah lihat ujarnya. Dalam hati kecilku bertanya apakah beliau benar-benar manusia? Semoga saja masih bisa dipertemukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun