Pengantar
Agenda mengusung G-Terik tidak bisa dilepaskan dari perilaku nyata yang dilakukan oleh orang tua. Keberhasilan anak untuk mengembangkan sebuah keterampilan tertentu tidak bisa terjadi hanya ketika orang tua memberikan perintah begitu saja. Berikut ini adalah tulisan saya untuk memotivasi anak saya, agar sungguh mampu bertahan dalam Proyek G-Terik. Semoga bermanfaat.Â
***
Semangat pagi Rio. Perjalanan waktu telah mengantarkan kita sampai pada hitungan hari ke-19 dalam proyek 50 hari. Kalau ada yang perlu disyukuri adalah: bahwa dirimu sudah semakin lincah untuk menemukan ide dan bekerja dengan kemandirian untuk mengeksplorasi diri. Sebentar lagi, kita akan melewati angka psikologis 20 atau lebih baik direvisi menjadi angka 21 (yang akan jatuh pada hari Sabtu, 23 Juli 2016). Aktivitas menulis dengan target yang jelas ini tentu bukan perkara yang tidak sederhana. Sangat mudah bagi kita untuk jatuh pada suasana lemah, tidak berdaya, dan tidak konsentrasi. Ada begitu banyak alasan untuk tidak bisa bertahan. Ada banyak gangguan yang datang silih berganti. Ada banyak godaan yang membuat kita menjadi semakin enggan untuk bertahan dalam ketidakpastian.
Komitmen untuk menulis cerita dalam durasi lima puluh hari ini, bukan datang dari sebuah kebetulan semata. Ini adalah sebuah proyek yang telah memiliki benih yang sudah sangat lama. Mengapa demikian? Ini tidak bisa dilepaskan dari cita-cita dasar yang senantiasa Bapak impikan semenjak dulu. Bapak pernah memiliki cita-cita sebagai wartawan. Bapak sangat suka menulis. Menulis untuk publikasi, yang kemudian dibaca oleh banyak orang, tampaknya menjadi sesuatu yang layak untuk dikejar. Namun, sayangnya, Bapak tumbuh dari sebuah konteks keluarga yang miskin literasi. Mengapa miskin literasi? Karena akses terhadap berbagai sumber tertulis, seperti cerita, novel, majalah, koran, dan buku teks (pelajaran) sangatlah minim. Itu adalah satu hal yang sangat disayangkan.
Latar belakang macam ini sebenarnya sangat tidak menguntungkan. Namun, dalam segala keterbatasan yang ada, Bapak tampaknya dari dulu sudah memiliki satu cara yang unik untuk memenuhi rasa ingin tahu. Bersekolah di SD Negeri Jumblangan ternyata memiliki keuntungan. Kenapa? Karena di sekolah itu, ada banyak buku dari perpustakaan sekolah. Imaginasi liar sampai luar tapal batas sangat dirangsang oleh cerita-cerita heroisme. Itu ringkasan dari sekian banyak cerita (yang kalau dibandingkan dengan dirimu, tentu saja sangat njomplang!) yang bisa Bapak akses.
Membaca cerita, menikmati waktu senggang tanpa harus dikejar-kejar untuk bekerja, dan bermain dengan teman-teman sebaya adalah tiga hal yang terlalu mahal untuk Bapak nikmati. Namun, bukan berarti bahwa Bapak menyerah begitu saja di dalam situasi seperti itu. Selalu saja rasa ingin tahu yang besar mengalahkan halangan demi halangan. Entah dengan mencuri-curi waktu di sela waktu pelajaran. Entah meminjam buku tanpa mengikuti prosedur peminjaman yang benar. Entah menyelinap masuk ke perpustakaan pada jam-jam istirahat. Itu lah kenakalan-kenakalan kecil yang mengantarkan Bapak memiliki imaginasi liar tanpa tapal batas ini. Imaginasi liar macam ini seringkali banyak dipengaruhi oleh berbagai cerita kepahlawanan.Â
Melalui cerita-cerita heroisme itu, Bapak belajar tentang kolonialisme Belanda terhadap Bumi Pertiwi. Bapak juga membaca kisah kepahlawanan anak kecil yang bekerja sebagai kurir pada masa peperangan. Gambar-gambar ilustrasi dari buku hitam putih masih begitu mengesan bahkan sampai hari ini. Masih cukup jelas di pelupuk angan, pertempuran penuh kepahlawanan dari orang-orang Indonesia, yang miskin pelatihan militer, dan berbekal senjata bambu runcing seadanya. Mereka dengan gagah berani melawan prajurit kate yang mengaku Saudara Tua. Senjata mereka jauh lebih canggih, dengan senapan mesin panggul yang diujung popornya dipasangi sangkur tajam. Sangkur itu digunakan untuk bertempur one-to-one ketika penggunaan peluru tajam tidak dimungkinkan.Â
Bapak juga masih mengingat bahwa prajurit-prajurit kate dari Negeri Sakura ini sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melafalkan huruf "l". Itu lah pengetahuan dan imaginasi luar tanpa batas. Acapkali, imaginasi liar itu begitu mempengaruhi Bapak, sehingga pernah juga bercita-cita untuk menjadi penulis. Menjadi penulis adalah sebuah pekerjaan untuk memberitakan kepada dunia, tentang dunia yang kita pahami. Itu lah yang pernah Bapak cita-citakan.
Dirimu tumbuh dan berkembang di dalam konteks imaginasi liar tanpa tapal batas, yang kesemuanya ada dalam otak (baik bagian lymbic dan neo-cortex) Bapak ini. Seluruh pengalaman yang telah tersimpan dalam memori jangka panjang menjadi semacam keyakinan yang menggerakkan. Tidak terlalu salah bahwa segala gerak pikir dan seluruh imaginasi sangat terbentuk pada era kanak-kanak macam itu. Dirimu adalah sebuah jawaban terhadap imaginasi liar macam itu. Dirimu semenjak kecil sudah mendapatkan kesempatan untuk menikmati kekayaan yang luar biasa dalam hal literasi ini. Ada jauh lebih banyak kesempatan yang tersedia bagimu. Dunia kita, yang terpisahkan waktu selama 30 tahun, ternyata merupakan dua dunia yang jauh berbeda sama sekali. Dunia Bapak di masa kecil adalah dunia dengan segala keterbatasannya. Dunia yang seperti itu telah berdampak secara positif terhadap kerinduan dan rasa haus akan pengetahuan. Dunia yang serba kekurangan itu pulalah yang sampai detik ini memberikan energi luar biasa untuk membaca, mempelajari, dan menulis serta menulis. Dunia yang sangat tidak kondusif itu sekarang ini telah menjadi pintu masuk untuk perbaikan diri berkelanjutan.
Dunia dirimu adalah dunia yang sangat berkebalikan. Dunia dengan segala fasilitas dan kemudahannya. Dan ini lah yang unik bagi kita bertiga dalam keluarga ini. Dengan segala kemudahan dan kenyamanannya, akan sangat mudah kita terjebak dalam godaan untuk sekedar menikmati dan dibawa oleh arus kesenangan tanpa harus bekerja keras. Namun itu tidak terjadi sama sekali di dalam keluarga kita. Bagi Bapak, segala kemudahan yang hadir hari ini, era sekarang ini, seakan menjadi sarana untuk "membalas dendam" atas segala keterbatasan di masa lalu. Di waktu sekarang ini, kita memiliki kebebasan untuk mendapatkan berbagai hal. Dan kemudahan itu tidak meninabobokkan kita. Kemudahan itu akhirnya menjadi sumber belajar tanpa batas. Dirimu hadir di dalam sebuah keluarga dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Dirimu hidup dalam nafas rasa ingin tahu itu. Dirimu makan dan minum dalam lingkup keluarga yang haus dan lapar akan pengetahuan.
Target menulis 50 hari sebenarnya bukan lagi sesuatu yang superheboh bagi keluarga kita. Ini lebih merupakan sebuah tantangan yang kita ciptakan. Kita hendak menguji seberapa jauh kita sendiri memiliki kemampuan untuk menghidupi imaginasi liar tanpa tapal batas ini. Imaginasi yang kita bangun justru dari kehidupan nyata dalam keseharian kita. Kita hendak menikmati berbagai hal kecil yang kita alami. Kita hendak menceritakan hal-hal sederhana yang tampaknya tidak bermakna. Namun kita mengembangkan keyakinan penuh, mengolah keyakinan itu ke dalam kemasan tulisan sederhana, dan secara konsisten mempublikasikan tulisan-tulisan itu.
Di sinilah letak perbedaannya. Kita tidak hanya cukup puas dengan berdiam diri, membiarkan diri terbawa arus, dan memberikan kesempatan berbagai hal eksternal untuk mendefinisikan siapa kita. Tidak, tidak sama sekali. Sekarang ini, kita bersepakat untuk sungguh menjalani impian dengan segala keunikan dan keberanian. Sekalipun itu menjadi hal yang anti-mainstream, tidak ada sedikitpun rasa jengah, kekhawatiran untuk ditolak atau direndahkan.Â
Di sini kita tumbuh sebagai tuan atas diri kita, atas hidup kita, atas imaginasi yang bermain liar di kepala kita, dan atas tulisan yang kita susun sebagai cermin atas imaginasi liar macam ini. Dengan target tulisan ini pula, Bapak menjadi berlatih untuk tetap menjaga konsistensi. Bapak tidak boleh hanya berpangku tangan, dan cukup puas hanya dengan memberikan perintah kepada dirimu untuk menulis. Tidak sama sekali. Komitmen ini seperti halnya dengan pedang bermata dua: sisi yang satu tajam terhadap dirimu agar menjadi semakin terlecut, dan sisi yang lain juga tajam terhadap diri Bapak. Bapak tidak boleh lengah, dan tidak boleh lelah memberikan contoh, teladan, dan bukti bahwa komitmen yang kita bangun adalah sesuatu yang sangat bisa digapai.Â
Target kita bukan hal anti-mainstream tanpa dasar. Target yang kita bangun ini merupakan cermin dari impian masa kecil Bapak, yang mendapatkan ruang untuk tumbuh dalam diri kita. Dirimu adalah cermin nyata tersebut. Dirimu adalah fotokopi Bapak yang Bapak rindukan sendiri di masa lalu. Kita sungguh layak bersyukur bahwa impian dari masa kecil akhirnya mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang, serta menyatu-raga dalam dirimu, dalam relasi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H