Target menulis 50 hari sebenarnya bukan lagi sesuatu yang superheboh bagi keluarga kita. Ini lebih merupakan sebuah tantangan yang kita ciptakan. Kita hendak menguji seberapa jauh kita sendiri memiliki kemampuan untuk menghidupi imaginasi liar tanpa tapal batas ini. Imaginasi yang kita bangun justru dari kehidupan nyata dalam keseharian kita. Kita hendak menikmati berbagai hal kecil yang kita alami. Kita hendak menceritakan hal-hal sederhana yang tampaknya tidak bermakna. Namun kita mengembangkan keyakinan penuh, mengolah keyakinan itu ke dalam kemasan tulisan sederhana, dan secara konsisten mempublikasikan tulisan-tulisan itu.
Di sinilah letak perbedaannya. Kita tidak hanya cukup puas dengan berdiam diri, membiarkan diri terbawa arus, dan memberikan kesempatan berbagai hal eksternal untuk mendefinisikan siapa kita. Tidak, tidak sama sekali. Sekarang ini, kita bersepakat untuk sungguh menjalani impian dengan segala keunikan dan keberanian. Sekalipun itu menjadi hal yang anti-mainstream, tidak ada sedikitpun rasa jengah, kekhawatiran untuk ditolak atau direndahkan.Â
Di sini kita tumbuh sebagai tuan atas diri kita, atas hidup kita, atas imaginasi yang bermain liar di kepala kita, dan atas tulisan yang kita susun sebagai cermin atas imaginasi liar macam ini. Dengan target tulisan ini pula, Bapak menjadi berlatih untuk tetap menjaga konsistensi. Bapak tidak boleh hanya berpangku tangan, dan cukup puas hanya dengan memberikan perintah kepada dirimu untuk menulis. Tidak sama sekali. Komitmen ini seperti halnya dengan pedang bermata dua: sisi yang satu tajam terhadap dirimu agar menjadi semakin terlecut, dan sisi yang lain juga tajam terhadap diri Bapak. Bapak tidak boleh lengah, dan tidak boleh lelah memberikan contoh, teladan, dan bukti bahwa komitmen yang kita bangun adalah sesuatu yang sangat bisa digapai.Â
Target kita bukan hal anti-mainstream tanpa dasar. Target yang kita bangun ini merupakan cermin dari impian masa kecil Bapak, yang mendapatkan ruang untuk tumbuh dalam diri kita. Dirimu adalah cermin nyata tersebut. Dirimu adalah fotokopi Bapak yang Bapak rindukan sendiri di masa lalu. Kita sungguh layak bersyukur bahwa impian dari masa kecil akhirnya mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang, serta menyatu-raga dalam dirimu, dalam relasi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H