UN hampir tiba. Tulisan ini sudah agak lama saya tulis. Namun esensinya masih kita jumpai bahkan sampai hari ini. Konteks tiga tahun lalu yang melatarbelakangi tulisan ini pun masih relevan. Apalagi, perang "di dalam" - antara dua kubu antara kelompok para ahli pengembang kurikulum dan kelompok para ahli pengembang ujian (testing) di dalam Diknas pun tampaknya masih terus berlanjut secara menggebu bahkan sampai hari ini. Semoga menambah sedikit wawasan. Selamat membaca!
[caption id="" align="alignleft" width="193" caption="source: sitemaker.umich.edu "][/caption]
***
Ke-58 anggota Education Forum yang mengajukan gugatan (citizen lawsuit) terhadap pemerintah sehubungan dengan ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai akibat kebijakan Ujian Nasional (UN) boleh berteriak gembira. Gugatan mereka dikabulkan (22 Mei 2007). Dalam putusannya, pengadilan menilai pemerintah telah lalai memenuhi hak asasi anak di bidang penddiikan. Disamping itu juga, sebelum UN digelar, pemerintah wajib meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta meninjau ulang sistem pendidikan nasional saat ini. Namun rupanya, sikap gembira dalam menyikapi kemenangan itu bisa saja berakhir dengan kehampaan. Menanggapi keputusan itu, Mendiknas bersikukuh untuk terus akan mempertahankan UN (the Jakarta Post, 23 Mei 2007).
Korban target politik jangka pendek
Dari tinjauan sosiologis kritis, keputusan mempertahankan UN sebagai alat ukur keberhasilan belajar secara nasional adalah hal wajar. Pemerintah mempunyai alasan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, serta apa yang layak dan tidak layak. Persoalan yang sering muncul adalah ketika kebijakan publik cenderung berorientasi pada pencapaian target-target politik jangka pendek. Kita terlalu sering mendengar celotehan "ganti menteri pendidikan, pasti akan ganti kurikulum." Fenomena macam ini tidak lain adalah manifestasi dari target-target politik jangka pendek dari pemimpin politik yang sedang berkuasa.
Kasus UN pun juga demikian halnya. Keberhasilan belajar dalam angka statistik selalu menakjubkan. Seakan-akan, semakin tinggi standar angka kelulusan, kita diyakinkan untuk percaya bahwa kualitas pendidikan yang begitu kompleks sudah membaik dengan sendirinya. Catatan-catatan numerik statistik sebagai alat propaganda bahwa pemerintah telah berbuat "benar dan baik" menjadi alat pengesah yang ampuh dari pemerintah.
Dilihat dari proses pembelajaran UN memang membawa dua dampak negatif yang sangat serius. Pertama, UN menjauhkan siswa dari pengalaman pembelajaran yang membebaskan (liberatory). Demi mencapai tujuan "angka skor minimal," berbagai upaya dilakukan, seperti menghafal, dan drill soal-soal ujian di masa lalu. Berbagai pihak di luar murid, seperti orang tua, sekolah, dan bahkan Diknas pun terjebak dalam sindroma seperti ini. Seperti yang sudah didiskusikan di banyak tempat, bahkan banyak sekolah yang menyewa instruktur-instruktur bimbingan belajar untuk melatih para siswanya mengerjakan soal-soal ujian.
Padahal, anak sudah semestinya mengalami pembelajaran yang betul-betul mampu membekali mereka dalam hidup. Hafalan jangka pendek tidak cukup membekali anak untuk memecahkan persoalan hidup yang sangat kompleks. Karena terbiasa distimulasi dengan soal-soal ujian, anak tidak dilatih untuk bereksplorasi, mencari koneksi atas berbagai fenomena, kreatif dan kritis serta adaptif.
Kedua, UN juga menjadi alat yang paling tepat untuk menjauhkan anak didik dari nilai-nilai kejujuran, semangat kerja keras, berani bertanggung jawab, dan ketekunan. Berbagai pelanggaran yang terjadi di sana-sini yang dilakukan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh berbagai pihak terkait, jelas-jelas mengajarkan pada siswa tentang tidak perlunya integritas dalam hidup ini.
Singkat kata, dengan dua dampak negatif yang akhirnya justru berakibat pada runtuhnya nilai-nilai yang hendak diperjuangkan oleh pendidikan sendiri, akankah pemerintah berani bertindak "strategis?" Tentu, makna "strategis" di sini harus dimengerti dari kacamata kepentingan siswa, bukan kepentingan propaganda politis semata.
Berperang dari dalam
Bila dicermati lebih lanjut mengenai sikap Depdiknas, yang tampak justru persoalan ruwet penuh kontroversi. Di satu sisi, hal-hal negatif seperti yang sudah disinggung di atas, telah benar-benar dipahami oleh insan-insan yang berada dalam departemen ini. Literatur-literatur utama yang dikeluarkan oleh Depdiknas dalam rangka sosialisasi KBK 2004 menjadi contoh konkrit tentang pemahaman mengenai kesadaran tersebut. Di sana terlihat bahwa belajar dalam arti sesungguhnya ditandai dengan kegiatan yang terfokus pada siswa (student-centered), melibatkan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (contextual teaching and learning), menekankan pada pengembangan kecakapan hidup (broad-based education oriented to life-skills), dan menekankan pada proses (process-based learning). Penekanan pada tingkat proses ini layak digarisbawahi, karena pada dasarnya, model evaluasi yang disarankan oleh Depdiknas sendiri lebih mengacu pada pencapaian tiap individu. Sebagai alat ukurnya, yang disarankan adalah penilaian berbasis portofolio dan kinerja (portfolio and performance based assessments).
Di lain pihak, justru Depdiknas sendiri juga yang melanggar "aturan main" yang dikeluarkannya sendiri. UN yang selama ini diterapkan justru bertentangan dengan idealisme yang dicerminkan dalam literatur-literatur tersebut, dan tentu saja memang selalu mengundang berbagai kontroversi. Pertama, tipe pilihan ganda yang dipakai jarang menyentuh tingkat berpikir yang lebih kompleks. Anak tidak diajak untuk berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif (higher-order thinking skills). Anak hanya diajak untuk menyentuh tingkat pengetahuan dasar dan pemahaman minimal. Kedua, timbul pertanyaan mengenai keabsahan UN sebagai alat ukur kelulusan. Bagaimana mungkin proses pembelajaran selama tiga tahun hanya diukur selama 120-an menit, dan ditentukan oleh tiga mata pelajaran? Dalam hal ini, posisi guru yang mestinya memiliki hak prerogatif dalam menentukan lulus-tidaknya siswa - karena merekalah yang paling tahu proses belajar dari hari ke hari - sama sekali tidak diberi ruang gerak. Ketiga, UN diduga memiliki tingkat validitas prediktif yang rendah pula. Artinya, mereka yang mencapai nilai baik di UN bukan berarti dia memiliki peluang lebih baik untuk berhasil. Yang gagal pun tidak berarti bahwa nasib mereka pun juga akan lebih buruk. Ada begitu banyak contoh bahwa yang memiliki potensi untuk berhasil di masa depan, justru gagal dalam UN. Sementara, yang serba minimalis, bisa saja lulus.
Singkat kata, begitu kasus UN masuk wilayah pengadilan, akankah nurani seperti yang tercermin dari literatur-literatur keluaran Depdiknas sendiri akan mengusik kesadaran dari pihak pemerintah. Kita tunggu apakah nurani para pembesar bangsa ini juga terketuk? Kita tunggu saja kebijakan dan komentar-komentar mereka. Akankah kualitas pendidikan yang belum membaik ini justru makin diperparah dengan prinsip mediokritas gaya UN seperti sekarang ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H