Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN: Kemanakah Nurani Diknas?

3 Maret 2010   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Berperang dari dalam

Bila dicermati lebih lanjut mengenai sikap Depdiknas, yang tampak justru persoalan ruwet penuh kontroversi. Di satu sisi, hal-hal negatif seperti yang sudah disinggung di atas, telah benar-benar dipahami oleh insan-insan yang berada dalam departemen ini. Literatur-literatur utama yang dikeluarkan oleh Depdiknas dalam rangka sosialisasi KBK 2004 menjadi contoh konkrit tentang pemahaman mengenai kesadaran tersebut. Di sana terlihat bahwa belajar dalam arti sesungguhnya ditandai dengan kegiatan yang terfokus pada siswa (student-centered), melibatkan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari (contextual teaching and learning), menekankan pada pengembangan kecakapan hidup (broad-based education oriented to life-skills), dan menekankan pada proses (process-based learning). Penekanan pada tingkat proses ini layak digarisbawahi, karena pada dasarnya, model evaluasi yang disarankan oleh Depdiknas sendiri lebih mengacu pada pencapaian tiap individu. Sebagai alat ukurnya, yang disarankan adalah penilaian berbasis portofolio dan kinerja (portfolio and performance based assessments).

Di lain pihak, justru Depdiknas sendiri juga yang melanggar "aturan main" yang dikeluarkannya sendiri. UN yang selama ini diterapkan justru bertentangan dengan idealisme yang dicerminkan dalam literatur-literatur tersebut, dan tentu saja memang selalu mengundang berbagai kontroversi. Pertama, tipe pilihan ganda yang dipakai jarang menyentuh tingkat berpikir yang lebih kompleks. Anak tidak diajak untuk berpikir analitis, sintesis, dan evaluatif (higher-order thinking skills). Anak hanya diajak untuk menyentuh tingkat pengetahuan dasar dan pemahaman minimal. Kedua, timbul pertanyaan mengenai keabsahan UN sebagai alat ukur kelulusan. Bagaimana mungkin proses pembelajaran selama tiga tahun hanya diukur selama 120-an menit, dan ditentukan oleh tiga mata pelajaran? Dalam hal ini, posisi guru yang mestinya memiliki hak prerogatif dalam menentukan lulus-tidaknya siswa - karena merekalah yang paling tahu proses belajar dari hari ke hari - sama sekali tidak diberi ruang gerak. Ketiga, UN diduga memiliki tingkat validitas prediktif yang rendah pula. Artinya, mereka yang mencapai nilai baik di UN bukan berarti dia memiliki peluang lebih baik untuk berhasil. Yang gagal pun tidak berarti bahwa nasib mereka pun juga akan lebih buruk. Ada begitu banyak contoh bahwa yang memiliki potensi untuk berhasil di masa depan, justru gagal dalam UN. Sementara, yang serba minimalis, bisa saja lulus.

Singkat kata, begitu kasus UN masuk wilayah pengadilan, akankah nurani seperti yang tercermin dari literatur-literatur keluaran Depdiknas sendiri akan mengusik kesadaran dari pihak pemerintah. Kita tunggu apakah nurani para pembesar bangsa ini juga terketuk? Kita tunggu saja kebijakan dan komentar-komentar mereka. Akankah kualitas pendidikan yang belum membaik ini justru makin diperparah dengan prinsip mediokritas gaya UN seperti sekarang ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun