Selama ini, para guru hanya sebagai penerima dan pengguna soal-soal USBN. Yang dibuat Dinas Pendidikan bersama dengan MGMP.
Kelak para guru harus bisa membuat assesmen sendiri. Tugas Dinas Pendidikan bergeser. Tidak lagi mengurus USBN. Tapi, harus mengembangkan kapasitas guru.
Dengan begitu, diharapkan tekanan (psikologis) bagi siswa akan berkurang. Siswa akan memiliki lebih banyak kesempatan dan cara, untuk menunjukkan kompetensinya.
Kedua, Ujian Nasional (UN).
Pengganti UN adalah Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Yang berfungsi sebagai alat pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan.
UN selama ini dinilai memiliki beberapa kelemahan. Terutama, karena tidak bisa digunakan sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Sebab, UN dilaksanakan di akhir jenjang. Hasil UN tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa.
Asesmen Kompetensi ini lebih bertujuan untuk mengukur kompetensi bernalar. Terutama, pada teks (literasi) dan angka (numerasi). Sedangkan, survei karakter untuk mengukur aspek-aspek lain. Yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah.
Bisa saja asesmen baru nanti dianggap bersifat high stakes. Jika itu terjadi, para guru berpotensi menekan siswa untuk mendapat skor tinggi.
Dampak seperti ini, kabarnya, akan di-mitigasi melalui berbagai cara.
Misalnya, hasil asesmen tidak memiliki konsekuensi apapun bagi siswa. Tapi, hasil asesmen itu untuk memperbaiki pembelajaran. Hal ini dimungkinkan. Karena asesmen itu didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar). Yang bisa menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Hasil asesmen nanti justru akan digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan. Misalnya, dalam bentuk alokasi SDM dan/atau dana sesuai dengan kebutuhan sekolah.