Mohon tunggu...
Mursyid Burhanuddin
Mursyid Burhanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur

Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ganti Kurikulum

25 November 2019   09:07 Diperbarui: 25 November 2019   13:38 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhir-akhir ini perhatian saya tersedot pada berita tentang pergantian Kurikulum 2013 (K-13). Media cetak dan elektronik tengah ramai memperbicangkannya. Media sosial juga kian bising dengan berita itu.

Apakah kurikulum peninggalan Presiden SBY itu akan benar-benar dirombak besar-besaran? Atau, hanya disederhanakan saja? Dengan memangkas bagian-bagian yang membuatnya berat dan tidak fleksibel? 

Lalu, apakah perubahannya hanya pada delivery-nya saja? Tanpa mengotak-atik struktur dan materi kurikulum secara frontal?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu yang sekarang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. 

Siapapun yang berkepentingan dengan urusan ini, saya kira membutuhkan sebuah kepastian. Segera. 

Kapan pergantian itu akan dilakukan? Seberapa frontal perubahannya? 

Toh, pada akhirnya masyarakat hanya bisa menerima. Tak bisa menganulir kehendak presiden untuk mengganti kurikulum itu. 

Banyak sekali argumentasi yang telah dikemukakan, mengapa K-13 harus diganti? 

Menurut saya, pergantian kurikulum kali ini hanya masalah waktu. 

Mendikbud Nadiem tampaknya tak bisa mengelak. Sebagai orang baru di pemerintahan, tentu ia tidak mau dinilai lamban dalam merespon keinginan presiden. Ia juga tidak perlu menunggu sampai presiden menagihnya. 

Tampaknya ia sedang memilih waktu yang tepat. Untuk menyatakan secara resmi: apa yang akan dilakukan terhadap K-13 ini. Mungkin setelah ia melewati 100 hari pertamanya sebagai pejabat publik. 

Apalagi Instruksi Presiden sudah begitu lugas. Begitu jelas. 

Bagi yang mendukung pergantian K-13, mereka tentu berharap Nadiem segera mewujudkan Instruksi Presiden itu. Bukankah ia telah siap untuk tidak populer demi kemajuan pendidikan? Bukankah Instruksi Presiden itu sering disampaikan di berbagai kesempatan? 

Oleh karena itu, bisa saja Nadiem melakukan pergantian kurikulum lebih cepat dari yang diperkirakan. Bisa setahun, bisa juga dua tahun dari sekarang. 

Bisa jadi ia menempuh tahapan yang tidak biasa. Yang semestinya pergantian kurikulum itu dilakukan secara seri (berurutan) dan tidak tergesa-gesa.

Tapi, mantan Mendikbud M. Nuh pernah melakukan tindakan yang tidak biasa juga. Yakni, ketika ia mengganti Kurikulum 2006. Waktu itu ia melakukan pergantian secara paralel. Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Dengan model kegiatan pengembangan paralel sekaligus bersamaan. Evaluasi, desain, uji coba, sosialisasi, pelatihan guru, penulisan buku teks dan perangkat aturan pelaksanaan dilakukan secara bersamaan. 

Padahal kurikulum yang baik itu baru bisa didapatkan jika dikembangkan secara seri. Berurutan dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun. 

Tapi, bagi yang mendukung pergantian K-13, penggunaan nomenklatur pada kurikulum ini juga sudah menunjukkan ketertinggalan. Sebab, kita hidup di tahun 2019. Tahun depan K-13 telah berumur tujuh tahun. 

Menurut mereka, Nadiem tidak perlu takut dicap: Ganti menteri, ganti kurikulum. Toh, K-13 tetap dipertahankan oleh dua menteri setelah M. Nuh purna tugas. 

K-13 sudah pasti bukan kurikulum yang cocok untuk segala zaman. 

Kelemahannya sudah sering diungkap. Ada banyak sekali. 

Itulah mengapa, meski tahun 2016 di-revisi, tetap saja banyak guru yang masih kesulitan menerapkannya.  

Dari sisi konstruksi, K-13 dinilai bertele-tele dan rumit. Dalam penyajiannya cenderung menonjolkan "kekenesan" ketimbang mengedepankan hal yang lebih substantif. 

Itu bisa dilihat dengan pendekatan tematik yang digunakan pada jenjang SD. Dalam prakteknya, pendekatan ini mensyaratkan "pemaksaan" terhadap hubungan antar pokok bahasan setiap mapel. Yang tidak semua mapel relevan untuk diikat dengan sebuah tema. Para siswa seperti dilepas-liarkan "di hutan" untuk mengais pengetahuannya sendiri.

Yang sering muncul justru keluhan dari kalangan guru. Karena beban administrasi mereka kian berat. Juga jenis penilaian yang digunakan begitu beragam. Bahkan, kurikulum ini disebut sebagai rezim penilaian! 

Para guru pada akhirnya terjebak pada beban administrasi yang berjibun, ketimbang memberikan perhatian lebih pada siswa. 

Itu seperti sudah menjadi ciri khas K-13. 

Jika kelemahan-kelemahan itu benar maka Instruksi Presiden itu tidaklah berlebihan. Nadiem sendiri sudah menyinggung kelemahan kurikulum melalui teks pidatonya dalam menyambut Hari Guru 2019.

Sebagai pelaku perbukuan tentu kami tidak senang dengan perombakan atau pergantian yang dilakukan secara mendadak. 

Sebab, pergantian kurikulum akan berdampak ke mana-mana. Terutama pada nasib sisa stok (buku) kami. Kecuali, bila pergantian itu dilakukan secara seri. Secara berurutan dan dengan durasi waktu yang proporsional. 

Bagi yang menolak perombakan frontal juga berharap begitu. Untuk apa kurikulum dirombak  besar-besaran, jika disederhanakan saja juga bisa. 

Cukup perbaiki saja delivery-nya. Tidak perlu memangkas atau merampingkan mapel terlalu banyak. 

Oleh karena itu, penyederhanaan kurikulum, menurut saya, sebagai jalan tengah. Bukan merombak besar-besaran. Instruksi Presiden tetap bisa dijalankan Nadiem. Tapi, tidak memunculkan kegaduhan dan keruwetan baru. 

Tapi, seberapa frontal pergantian kurikulum itu. Dampaknya hampir sama saja. 

Kelak penerbit tetap harus "meng-uangkan" sisa stoknya. Pun pemerintah harus "memodali" lagi untuk membuat buku-buku baru. Yang logo dan harganya berbeda dengan buku-buku sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun