Dari sisi konstruksi, K-13 dinilai bertele-tele dan rumit. Dalam penyajiannya cenderung menonjolkan "kekenesan" ketimbang mengedepankan hal yang lebih substantif.Â
Itu bisa dilihat dengan pendekatan tematik yang digunakan pada jenjang SD. Dalam prakteknya, pendekatan ini mensyaratkan "pemaksaan" terhadap hubungan antar pokok bahasan setiap mapel. Yang tidak semua mapel relevan untuk diikat dengan sebuah tema. Para siswa seperti dilepas-liarkan "di hutan" untuk mengais pengetahuannya sendiri.
Yang sering muncul justru keluhan dari kalangan guru. Karena beban administrasi mereka kian berat. Juga jenis penilaian yang digunakan begitu beragam. Bahkan, kurikulum ini disebut sebagai rezim penilaian!Â
Para guru pada akhirnya terjebak pada beban administrasi yang berjibun, ketimbang memberikan perhatian lebih pada siswa.Â
Itu seperti sudah menjadi ciri khas K-13.Â
Jika kelemahan-kelemahan itu benar maka Instruksi Presiden itu tidaklah berlebihan. Nadiem sendiri sudah menyinggung kelemahan kurikulum melalui teks pidatonya dalam menyambut Hari Guru 2019.
Sebagai pelaku perbukuan tentu kami tidak senang dengan perombakan atau pergantian yang dilakukan secara mendadak.Â
Sebab, pergantian kurikulum akan berdampak ke mana-mana. Terutama pada nasib sisa stok (buku) kami. Kecuali, bila pergantian itu dilakukan secara seri. Secara berurutan dan dengan durasi waktu yang proporsional.Â
Bagi yang menolak perombakan frontal juga berharap begitu. Untuk apa kurikulum dirombak  besar-besaran, jika disederhanakan saja juga bisa.Â
Cukup perbaiki saja delivery-nya. Tidak perlu memangkas atau merampingkan mapel terlalu banyak.Â
Oleh karena itu, penyederhanaan kurikulum, menurut saya, sebagai jalan tengah. Bukan merombak besar-besaran. Instruksi Presiden tetap bisa dijalankan Nadiem. Tapi, tidak memunculkan kegaduhan dan keruwetan baru.Â