Mohon tunggu...
Muhammad Bayu Pratama
Muhammad Bayu Pratama Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa ITB

Pembelajar yang mencoba menyampaikan pandangannya terkati permasalahan yang ada di sekitarnya Terlibat dalam Pers Mahasiswa ITB dan Kader Surau ITB

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jakarta akan Tenggelam? Sudah Siapkah?

2 Desember 2016   00:56 Diperbarui: 2 Desember 2016   01:54 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara (news.liputan6.com)

"Diperkirakan seluruh Jakarta Utara di bawah permukaan laut pada 2030. Akibatnya saat tersebut 13 sungai yang melewati Jakarta tidak bisa alirkan airnya ke Teluk Jakarta," ujar Jokowi di Kantor Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2016). (1)

Masih terngiang ucapan Bapak Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas membahas Reklamasi Teluk Jakarta pada 27 April 2016. "Data yang saya terima penurunan muka tanah di DKI sudah sangat mengkhawatirkan, rata-rata 7,5 cm sampai 12 cm," ujar pria yang akrab disapa pak Jokowi (2). Bahkan, beliau memprediksi, jika dibiarkan dan tak ditanggulangi, seluruh Jakarta Utara akan tenggelam pada 2030 mendatang.

 Namun, hal ini dibantah oleh calon petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, "Karena teori itu, masih berdebat. Ini karena ada teori yang mengatakan, dia akan turun, tetapi akan berhenti pada batas tertentu. Cuma, ada teori yang mengatakan, mungkin dia sampai 1 meter, kemudian dia akan berhenti. Namun, ada juga teori yang mengatakan enggak, akan terus," ujar Ahok.

Analisis lain berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum yang memprediksi dalam jangka waktu 34 tahun ke depan wilayah Jakarta akan tenggelam. Prediksinya mengacu pada asumsi penurunan permukaan tanah rata-rata 16 sentimeter (cm) per tahun. Pada periode 2007-2008, kecepatan penurunan permukaan tanah di Jakarta berada pada rentang 1 hingga 26 cm.
Saat 2008, ketinggian tanah di Jakarta Pusat pada titik poin Monumen Nasional (Monas) hanya 4,9 meter di atas permukaan laut, sedangkan di daerah selatan mencapai 6,9 meter.
Dengan asumsi laju penurunan tanah 16 cm selama 34 tahun, pada 2050 semua wilayah Jakarta akan tenggelam.

Analisis tersebut bermuara kepada stigma tentang masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta yang masih sangat bergantung kepada penggunaan air tanah. Saat ini ada 12,5 juta jiwa yang membutuhkan air di Jakarta yang luasnya hanya 622 kilometer (km). Sementara yang bisa terlayani oleh air bersih lewat sambungan pipa perusahaan air minum (PAM) hanya 54 persennya saja. Masih ada sekitar 4,6 juta jiwa yang menggunakan air tanah. 

Kebutuhan akan air tanah pun terbilang sangat penting dari permasalahan di atas karena air yang disediakan oleh PDAM terbatas pada waktu tertentu. Keterbatasa tersebut karena satu daerah dengan daerah yang lainnya harus bergantian untuk menerima air bersih yang dikirimkan oleh PDAM. Penggunaan kembali air sungai, air rawa, maupun dari laut masih menjadi sebuah wacana. Pilihan terakhir yang akhirnya dapat dipilih adalah penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.

Dampaknya banyak daerah rawan amblas di daerah Jakarta. Yang sempat mengagetkan publik di tahun 2010 yaitu amblasnya  Jalan RE Martadinata sepanjang 103 meter. Jalan di daerah Jakarta Utara ini, menurut Direktur Wilayah II Binamarga, Winarno, kemungkinan terjadi lantaran tiang pancang yang menjadi pondasi berada di tanah dengan kontur lunak sehingga mudah bergeser. Apalagi, ada pengerukan di laut yang menimbulkan abrasi sehingga jalan anjlok. 

Masalah lainnya yang pernah menjadi sorotan publik antara lain banjir rob besar yang menenggelamkan jalan tol Bandara Soekarno-Hatta pada tahun 2008, jebolnya Situ Gintung setahun kemudian, dan tahun 2010 banyaknya tanggul jebol termasuk jebolnya tanggul penahan air sepanjang 115 meter di bantaran saluran Kanal Barat yang terletak di jalan Sultan Agung, Setiabudi, Jakarta Selatan.  

Fakta lain yang membuat masyarakat Jakarta perlu waspada adalah miringnya Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan Raya, Jakarta Utara yang mirip seperti Menara Pisa di Italia. Menara tersebut memiliki kemiringan hingga 5 derajat dari posisi semula. Hal ini menurut Ahli Geodesi Institut Teknologi Bandung, Bapak Hasanuddin Z Abidin disebabkan oleh tanah di wilayah Jakarta Utara, banyak mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi bahkan sejak 1974. Daerah ini diyakini sebagai daerah yang paling besar mengalami penurunan tanah. Besaran penurunannya mencapai 10 sentimeter per tahun. 

Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara (news.liputan6.com)
Menara Syahbandar di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara (news.liputan6.com)

Masih banyak permasalahan yang telah menjadi penanda di Jakarta yang membuat Ibukota Indonesia ini harus bersiaga terhadap bencana land subsidence atau penurunan muka tanah. Tentunya, kita harus sudah mulai siaga terhadap permasalahan ini.

Tanah Jakarta Turun atau Air Laut Semakin Tinggi?

Jakarta sebagai salah satu daerah yang berada di daerah Pantai Utara Jawa memiliki resiko yang sama terhadap penurunan tanah. Wilayah-wilayah seperti Bekasi, Subang, Demak, Semarang, hingga Surabaya mengalami penurunan tanah yang cukup tinggi. Resiko akan banjir rob pun kemungkinannya pun besar. Berikut salah satu video banjir rob di wilayah Jakarta Utara akibat jebolnya tanggul muara baru :
Namun, hal ini lebih besar disebabkan oleh turunnya muka tanah atau yang sering disebut dengan bencana land subsidence. Land subsidence adalah proses / fenomena perubahan posisi tanah yang turun secara vertikal terhadap suatu bidang referensi tertentu seperti MSL atau ellipsoid referensi. Penyebab penurunan muka tanah di beberapa wilayah Jakarta banyak disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebih (Burbey J.T., 2005). Pengecualiaan bisa kita anggap terjaid di daerah Jakarta Timur. Di wilayah ini telah mengalami penurunan tanah sebesar 47cm sejak tahun 2000. Pada daerah ini banyak kawasan Industri, khususnya industri tekstil yang banyak menggunakan air tanah di dalam proses pencuciannya. 

Penurunan muka tanah di wilayah Jakarta sudah terjadi sejak tahun 1925, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh ITB. Penurunan yang signifikan terjadi pada tahun 1975, pada saat pembangunan gedung-gedung bertingkat mulai merajalela akibat kebijakan Repelita Orde Baru. Gedung-gedung bertingkat baik itu mall, hotel, atau jenis bangunan lainnya mulai mengganggu struktur tanah di Jakarta. Kenapa? Karena sebagian besar air yang digunakan oleh gedung-gedung tersebut berasal dari air tanah. Semakin tinggi bangunan, semakin besar laju air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bangunan-bangunan tersebut. Air tersebut sebagian besar dari pemanfaatan air tanah.

Lantas, apakah masyarakat Jakarta sudah siap untuk beralih dari penggunaan air tanah? Nampaknya, perlu infrastruktur dan kebijakan jelas dari Pemerintah untuk mengantisipasi daerah yang dahulu bernama Batavia ini agar tak tenggelam. 

Apa antisipasi Pemerintah untuk land subsidence di daerah Jakarta?

Usulan pun pernah dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memindahkan pusat Ibukota. Beliau hendak menciptakan kawasan Ibukota baru. “The real capital, the real govement center. Seperti Canberra, Brazilia, Ankara dan tempat-tempat yang lain,” katanya. Jakarta yang didalamnya terdapat pusat pemerintahan, pusat industri dan jasa, pusat perekonomian, maupun pusat perbelanjaan yang ditandai oleh banyaknya mall, tentunya menjadi mutiara bagi siapapun yang hendak mencari peruntungan lebih di Jakarta. 

Perlu diseminasi pusat keramaian agar berhenti atau berkurang jumlah ledakan penduduk di Jakarta yang luasnya hanya sekitar  661,52 km². Rencana pemindahan pusat Ibukota pun saya rasa masuk di akal dengan tetap perlunya perencanaan yang matang. Transmigrasi penduduk dan pemerataan pusat pembangunan di wilayah-wilayah lain di luar Pulau Jawa pun menjadi kebutuhan saat ini.

Pemerintah DKI Jakarta pun sudah mulai membuat beberapa kebijakan diantaranya PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Kebijakan lainnya adalah Perda Provinsi DKI Jakarta No. 17 tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah. Kebijakan tersebut untuk menanggulangi pemakaian air tanah yang berlebih dari masyarakat Jakarta. 

Rencana lainnya yang kini sedang dilaksanakan di tengah perdebatan hangat para elite politik adalah program mega proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) di 17 Pulau reklamasi utara Jakarta. Menahan masuknya air laut (intrusi ke daerah Jakarta) dengan benteng terluar adalah timbunan pulau-pulau baru. 

Mungkin masih banyak rencana pemerintah atau ide gila lainnya dari para pemangku kebijakan untuk mencegah Jakarta dari bahaya tenggelam. Entah apakah hal itu akan terjadi atau tidak, tentunya kita sebagai masyarakat perlu untuk lebih memahami kondisi lingkungan kita. Penggunaan air tanah salah satunya, harus kita kurangi. Selain, kebiasaan kita yang sering membuang sampah sembarangan juga perlu untuk dihilangkan. Jika kebiasaan-kebiasaan buruk kita yang dapat memicu tenggelamnya Jakarta perlahan mulai menghilang, dapatkah kita menjawab pertanyaan, "Sudah Siapkah Kita, Jika Jakarta Tenggelam?" Peran Anda-lah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Sumber : 1 | 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun