Menulis tentang Suka Duka di Kompasiana sangat menarik, karena mengingatkan saya pada masa-masa waktu masih menjadi silent reader. Asyik sekali, seakan saya melihat K-er dari luar jendela, saya tidak kenal mereka, tetapi melihat karakter mereka dari komen dan artikelnya. Mereka begitu antusias menulis tentang politik yg lagi panas waktu itu. Saya senang sekali membaca politik tetapi tidak ingin menulis di kanal politik. Kompasiana seperti lautan ide dan imaginasi. Saya melihat banyak sekali talenta dari K-er di semua kanal, sangat luar biasa, sungguh mereka pantas menerima apresiasi.. semuanya..
Akhirnya pada tanggal 8, bulan Oktober tahun 2015 saya bergabung. Namun Beberapa bulan saya bergabung di Kompasiana, saya sudah melihat dua orang pergi dari Kompasiana, bukan karena mereka suka cita, tetapi karena broken heart. Yang pertama Den Bhagoese dan yang kedua mas Hendrik.
Gambaran yg tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Kedua kasus teman K-er ini walaupun masalahnya beda, namun ada kemiripan, serupa tapi tak sama, yaitu ada hubungannya dengan “penguasa” di Kompasiana. Yang satu sebagai atau merasa “sebagai penguasa” dan satunya hanya member biasa.
Yang sangat menarik adalah pemilihan cara dalam menyelesaikan masalah, sepertinya mirip juga, yaitu “yg berkuasa” memutuskan sesuatu yg dia “anggap benar” tanpa ada konfirmasi terhadap atau dari member biasa. Apakah ini memang style penguasa Kompasiana?
Mas Hendrik di dalam tulisannya, yg sayang sekali sudah dihapus, dikatakan bahwa dia menerima email dari seseorang (senior) yg mengatakan bahwa dia tidak punya bakat di fiksi, ada kesalahan EYD dan lebih baik cari kanal lain saja. Ada dua hal yg dipermasalahkan yaitu kesalahan dalam EYD, tidak punya bakat dan tidak cocok di fiksi.