Dampak wabah pandemi Covid-19, membuat semua aktifitas di lakukan di rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Kantor tutup, sekolah tutup, bahkan beberapa tempat ibadah ditutup untuk sementara waktu. Berkaitan dengan itu, bagaimana dengan anak-anak yang sekarang sedang belajar di rumah. Apakah mereka dapat tumbuh dengan kesadaran atas karakternya? Apakah mereka mampu menyeimbangkan materi dengan keterampilan yang diharapkan?
Kompas, edisi 30 September 2015, mengungkap bahwa pendidikan yang ada di Indonesia bukan "hanya tahu" tentang sesuatu yang baik. Beberapa orang mengira bahwa "mengetahui" seakan-akan sama dengan "sudah melakukan". Padahal, masih ada jarak antara "tahu" dan "tindakan".
Harusnya, masyarakat sadar dan mampu memahami, bahwa pendidikan tidak berhenti pada konsep "tahu" saja. Namun, lebih itu "bisa". Maksudnya, bisa bertindak, mempratikkan.
Prinsip dari pendidikan sesungguhnya ada tiga: (1) apa yang kita lakukan bukan oleh apa yang kita katakan atau ketahui, (2) setiap pilihan atau keputusan bertindak mengarahkan akan menjadi orang semacam apa diri kita, dan (3) karakter lahir dari keberanian bertindak tepat meski menyadari penuh risiko.
Pemahaman seperti itu, serupa apa yang ditulis Suci Ayu Latifah dalam opininya (Koran Sindo, 6 Januari 2017) Pendidikan Indonesia: "Antara Tahu dan Bisa".
Bahwa, aktifitas pendidikan tidak sekadar mengetahui teori-teori atau materi-materi yang ada di bangku sekolah. Pendidikan harus dilakukan---seseorang ditekankan untuk "bisa" bertindak dan mempraktikkan. Semacam itu, dikenal dengan istilah keterampilan. Keterampilanlah yang akan mengantarkan seseorang mencapai apa yang dicapai.
Berbicara tentang pendidikan, penting merefleksi proses pembelajaran di sekolah. Bahwa kondisi pembelajaran sekolah saat ini, jauh dari kata sempurna. Sistem pembelajaran yang menekankan penguatan pendidikan karakter perlu mendapatkan perhatian lebih.
Sangat mengecewakan, ketika dunia pendidikan banyak disoroti perihal dekadensi moral. Oleh karena itulah, penguatan pendidikan karakter yang digadang-gadang pemerintah supaya diperkuat dengan menambah kekuatan dari elemen-elemen sekolah untuk bergerak.
Kasus-kasus yang terjadi pada pelajar, katakanlah tawuran, pelecehan seksual, kekerasan, pembullyan, balapan sepeda, dan masih banyak lagi adalah potret dekadensi moral pelajar.
Mengapa itu terjadi, karena kurang perhatiannya pihak keluarga paling utama, dan kegagalan pendidikan penumbuhan karakter di sekolah. Selain itu, lingkungan pergaulan anak yang terkesan memberikan pengaruh negatif.
Mengingat, generasi muda dengan rendahnya tingkat kesadaran atas karakter atau kepribadian itu, tugas orang tua, guru, dan masyarakat adalah memangkas dan menghilangkan sampai ke akar-akarnya.