Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seno Gumira Ajidarma dan Kebenaran Timor-Timor

20 April 2020   15:57 Diperbarui: 20 April 2020   16:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai.

Mas Fendik, kapan engkau menemui aku? rindu ini terus menepi, lagi-lagi menyiksaku. Apakah kau juga begitu?

Aisyah. Itu lagu religi beraroma roman. Adalah sebuah lagu yang menceritakan betapa Aisyah, putri dari Abu Bakar teramat mencintai Rasulullah. Demikian Rasulullah membalas cintanya. Mas Fendik, hingga detik ini kutunggu pernyataan cintamu kepadaku. Sebagaimana Rasulullah kepada Aisyah, istrinya.

Ya, aku menunggu pernyataan itu langsung darimu.

Siang ini Mas, udara teramat panas, padahal matahari malu-malu untuk memperlihatkan diri. Entah, sudah beberapa hari ini udara terasa panas. Laiknya ayam, aku ini sebentar lagi masak. Dan, siap untuk disantap.

Dalam rebahan karena tidak enak badan, kusigap sebuah novel menarik, Percikan Darah di Bunga. Novel itu ditulis oleh Arafat Nur. Pertama kali, novel itu diterbitkan oleh salah satu penerbit di Aceh pada tahun 2005. Kemudian, karena laku keras, diterbitkan lagi pada tahun 2017 oleh basabasi.com

Perihal novel itu, sebenarnya aku sudah membaca sekilas dan beberapa tulisan (resensi) di internet. Siang ini, aku ingin membacanya utuh. Kan sayang ya, sudah beli tapi belum dibaca.

Mas, karya-karya Arafat, termasuk novel ini banyak berkisah tentang Aceh. Di novel Lolong Anjing di Bulan sudah katam. Malah-malah kujadikan objek penelitian. Seumpama Matahari, juga sudah kugasak dalam 4 jam. Ya, karena semangat didukung rasa penasaran terhadap isi, sekali duduk selesai.

Ditambah lagi Mas, gaya penceritaannya mudah dipahami. Bahasa yang digunakan untuk menceritakan dan mendeskripsikan cerita sangat sederhana. Ya, meski penulisnya orang Aceh. Ia enggan menggunakan bahasa Melayu. Penulis menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Alurnya pun mudah diikuti, meski sedikit maju-mundur.

Mas, selanjutnya ada Burung Terbang di Kelam Malam, Lampuki, dan Tanah Merah. Semua sudah kubaca. Kalau Mas ingin tahu bagaimana cerita dalam novel tentu aku akan menceritakan, tanpa syarat. Sungguh, itu akan aku lakukan. Namun, tidak untuk kali ini.

Kali ini, aku akan sedikit bercerita tentang buku Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Buku itu berukuran kecil, ya ukurannya di bawah kertas a5. Sebenarnya, buku itu sudah lama kuketahui. Namun, aku baru membacanya secara mendalam. Kalau sekilas sih sudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun