Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Aku dan Sejarah Kekerasan

14 April 2020   16:50 Diperbarui: 14 April 2020   16:52 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat pagi, siang, dan malam, Mas Fendik. Bagaimana kabarmu di sana? Semoga di tengah pandemi ini, kau tetap patuh---senantiasa bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Seketika menulis ini, hatiku sedikit gemerusuh. Akhirnya, supaya tidak lupa mengirim surat untukmu, kuputarlah sebuah lagu penyejuk hati---sebuah syair doa Abu Nawas, I'tiraf. 

Musik religi itu menggetarkan. Aku menyukai larik lirisnya yang beraroma religius. Pelantunnya juga menyejukkan, seorang lelaki dengan memakai baju koko dengan khas kopyah atau peci di kepalanya. Hmm, aku jadi ingat kamu, Mas.

Mas, maaf. Aku sudah lama tidak berkabar padamu. Bukan aku lupa akan dirimu. Seperti sebuah kata yang pernah kuucapkan dulu, bahwa cintaku memang abstrak, tapi ragaku konkret untukmu.

Sudah sekitar empat bulan ini, aku disibukkan untuk mengerjakan penelitian. Sudah sekitar empat bulan juga, aku terlihat kaku. Mungkin terbawa aroma tulisanku yang ilmiah, harus menggunakan bahasa baku. Terlebih, tetiba aku kembali pada tulisan esai dan opini. Rasanya, tidak saja bahasa tulisku yang terkesan kaku. Tapi, juga sikapku kepadamu.

Maaf, supaya kau bisa memahamiku, tidak saja tahu, akan aku ceritakan tentang sesuatu yang membuatku sedikit berubah ini. Ya, tentu perihal penelitian yang sedang aku kerjakan.

Pagi hingga sore hari, aku memelototi layar monitor. Telepon genggam aku tinggal di rumah, karena aku tidak mau ketika bekerja diganggu oleh ringtone panggilan atau pesan masuk. Ya, selain untuk menjaga semangat menulis, sedikit aku mengurangi komunikasi dengan siapapun. Eitss, kok jadi ngomongin ini ya, Mas. Kembali saja ya, pada tujuan utama.

Objek penelitian yang kugunakan adalah sebuah novel menarik yang sarat dengan kekerasan. Lolong Anjing di Bulan, judulnya. Karya seorang penulis Aceh, Arafat Nur. Aku sudah bertemu dengannya langsung. Bahkan, aku sudah bersilahturahmi ke rumahnya. Dia sekarang tinggal di Ponorogo. Istrinya masih sangat muda lo Mas. Usianya sekitar 25 tahun, sedangkan dianya berusia hampir 50. Ya itulah cinta Mas, mana memandang umur ya.

Kalau saja kau ada di sini Mas, sekadar menemuiku untuk sebentar waktu saja, akan kupertemukan dengan penulis novel ini. Sayangnya, waktu telah melumpuhkanmu. Harap, smeoga akan datang waktu setelah kiamat nanti yang mampu mengembalikan dirimu.

Novel itu terbitan Universitas Sanata Darma Yogyakarta tahun 2018 yang lalu. Awal membaca baru di bab 1, aku teramat bingung dengan gaya penceritaannya. Seakan aku sedang membaca buku sejarah yang erat dengan tanggal, insiden, dan peristiwa.

Di buku itu, kalau kamu tahu Mas, aku ditodongkan sebuah ingatan tentang pelajarann sejarah dan geografi. Ada gambar peta perihal latar cerita novel itu. Hmm, aku tidak bisa membacanya. Bukan karena aku anak IPA. Tapi, alangkah menyedihkan warna tulisan itu sedikit pudar.

Hmm, Lolong Anjing di Bulan sesungguhnya sebuah novel sejarah Aceh yang telah bercerita tentang kerusuhan Aceh dengan negara kita, ya Indonesia. Kerusuhan itu berlangsung tahun 1976 dan berakhir 2005, ya sekitar 29 tahun. Di tahun itu Mas, aku belum lahir. Ibuku juga belum ada. Mungkin kamu sedikit tahu tentang insiden itu, tapi izinkanlah aku bercerita ya dari yang aku tahu setelah membaca dan menganalisis novel tersebut.

10.000 orang lebih tewas dalam kerusuhan itu, Mas. Aku tidak bisa membayangkan, mayat-mayat mereka berjatuhan di jalanan ketika terjadi penembakan, penculikan, dan penyiksanaan. Seketika, hati nuraniku berontak. 

Aku bisa merasakan bagaimana kondisi kejiwaan masyarakat Aceh pada saat itu. Bagaimana anak-anak yang harusnya bisa menikmati masa kecilnya, tentang orang tua yang harusnya tenang saat bekerja, dan orang tua yang damai menghabiskan masa hidupnya.

Aku beruntung Mas bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Banyak ilmu, pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang kudapat. Berbeda dengan anak-anak Aceh pada masa itu. kalau Tuhan mengizinkan aku bertemu dengan mereka (kemungkinan sudah berusia tua), tentu yang ada diingatannya hanyalah kekerasan dan ancaman. Mas, aku bisa merasakan bagaimana psikologinya. Ingatannya penuh dengan kenangan pahit dan memilukan.

Jujur, seakan ketika membaca, aku terlibat langsung pada cerita. Aku duduk sebagai pengamat yang tidak bisa dilihat dan dikenali para pemberontak dan tentara pemerintah. Aku bisa berada di mana saja yang kumau. Aku bisa memaki-maki pemerintah tanpa membuat mereka marah.

Kalau aku hidup dan ditinggal di masa itu, mungkin kenangan hidupku sama seperti tokoh Nazir, keluarganya, dan masyarakat Aceh. Untuk aku, wanita, di masa itu hanya ada dua kemungkinan nasib. Yaitu kalau tidak dinodai tentara ya mati. Kalau disuruh memilih, lebih baik aku mati daripada menyerahkan kehormatanku kepadanya. Tentu, itu akan menjadi sebuah penyesalan karena kamu belum memilikinya.

Aceh itu daerah yang kaya raya, Mas. Tapi ironisnya rakyat miskin dan melarat. Mereka itu punya kebun dan ladang yang luas. Di sana ada tumbuhan palawija, buah-buahan, pepohonan di tanam. 

Namun, mereka tidak bisa menikmati hasilnya. Mereka menanam, tapi pemerintahlah yang memakan. Sungguh, di mana letak kemanusiaan orang-orang itu. Saking pintarnya ya Mas, mereka terlihat bodoh. Mereka itu lebih najis dibanding anjing sekalipun.

Benar, gaya penceritaan yang detail, kronologis, sistematis, naratif, dan deskriptif mampu membawaku pada suasana cerita. Aku bisa begitu marah dan mengumpat seketika. Aku rasa kamu juga demikian, kalau mau membaca buku ini. Kamu akan menemukan kehidupan yang paradoks dan ironi.

Kalau aku punya daya seperti tokoh Nazir, pasti jiwa kemanusiaanku akan berontak. Bodo amat, aku tidak peduli, tentara akan menembakku, lalu menyiksaku, dan membunuh, mengambil jantungku seperti tokoh Muha. Atau seperti tokoh Yasin, yang tubuhnya diikat di belakang truk. Lalu diseret hingga dua kilometer. 

Hmm, kamu tahu Mas, apa yang terjadi pada Yasin. Tengkorak kepalanya terlihat, tidak ada daging di sana. Tubuhnya luka, tulang-tulangnya menonjol keluar. Ahh, sadis sekali.

Novel itu setebal 366 halaman. Selesai baca dua hari. Sebenarnya, seharipun selesai, tetapi aku benar tak kuasa membacanya langsung habis. Berbeda ketika aku membaca novel Seumpama Matahari karya Arafat juga.

Novel itu selesai kubaca 4 jam. Untuk saat ini, aku sedang merampungkan Percikan Darah di Bunga karya Arafat. Sedikit cerita, yaitu berkisah tentang keluarga Meula yang mendapat musibah kematian dari tentara. Meula diperkosa, Mas. Ibu dan ayahnya ditembak. 

Terceritakan nasib Meula demikian itu, datanglah seorang lelaki berprofesi dokter mencintainya. Dokter itu baik sekali---mau menerima keadaan Meula sebagaimana adanya. Namun, sayang kisah asmara mereka berakhir dengan kesedihan. Meula telah pergi dengan amat mengenaskan. 

Dia dibunuh di rumahnya oleh pasukan tentara. Sebelum itu, apa yang dilakukan tentara padanya, tidak terceritakan. Yah, mungkin ini privasi pengarang. Sebab, 70% kisah novel adalah potret kehidupan.

Di novel Lolong Anjing di Bulan, Mas, ada Nazir. Dialah tokoh episentrum cerita. Dia berkuasa---bercerita tentang keluarganYa, kegiatan sehari-harinya, kejiwaannya, kisah asmaranya dengan Zulaiha, dan insiden-indisen yang dia alami.

Nazir ini, Mas saat perang terjadi masih anak-anak. Dia duduk di bangku SD. Namun jangan salah, anak sedini itu sudah dibebani tanggung jawab yang berat. Setiap hari, ada tugas wajib untuk mengambil air di alur untuk memasak dan minum, tugas membantu Nenek-Kakeknya di kebun dekat rumah, membantu Ayahnya di ladang, belum lagi tugas sekolah. 

Aku salut, dia mampu melaksanakan. Dia sangat pemberani. Kalau dia ada di kehidupan nyata, aku ingin bertemunya. Aku akan berpesan padanya untuk senantiasa berbakti pada kedua orang tua dan negara. 

Aku juga akan bertitip pesan supaya kalau bertemu pemerintah mengingatkan kalau orang-orang di kampungnya telah banyak membantu negara. Pesawat, bongkahan emas, dan beberapa uang demi kemajuan Indonesia. Kalau mereka tidak berkutik, tembak saja. Hahaha.

Aku jadi ingat, kemarin itu ada siaran di televisi bahwa salah satu orang Aceh yang turut menyumbang pesawat pertama untuk Indonesia menemui presiden kita. 

Nyak Sandang bersama putra ketujuhnya datang ke Istana, beliau menunjukkan salah satu penghargaan, dan mengajukan beberapa permintaan. Yaitu keinginan naik haji, penyembuhan katarak, dan pembangunan masjid di kampungnya. Alhamdulillah, pertemuan itu berbuah baik, Mas. Presiden kita memenuhi permintaannya.

Mas, tentang cerita ini merupakan sejarah Aceh yang benar terjadi. Namun, karena novel bersifat fiksi tentu ada ruang-ruang imaji pengarang di dalamnya. 

Mas tahu, Mas itu seumpama karya sastra. Lahir dari khayalan dan imajinasiku. Mas adalah keindahan dalam cerita hidupku. Terima kasih sudah hadir, meski aku tahu surat-suratku tidak akan kamu balas.

Oh iya, aku amat produktif seketika mengerjakan penelitian ini. Selain mampu menganalisis hingga 300 halaman, aku juga telah membuat tiga esai sastra. Satu di antaranya termuat media. Judulnya, Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Dua esai lainnya, berjudul Aku Malu Jadi Manusia dan Novel dan Sejarah Kekerasan.

Mas, selamat istrahat ya. Sementara, itu yang bisa aku jelaskan tentang perubahanku. Kamu tidak perlu takut tentang cintaku yang abstrak. Dan, kamu tidak perlu memikirkan bagaimana membalas surat ini. Aku tahu, kaupun abstrak, sebenarnya.

Salamku, kamu adalah karya sastra, yang indah dan hidup dalam tulisanku.

Suci Ayu Latifah

14.04.2020 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun