Dalam sebuah perjalanan kehidupan, seseorang---kita akan mendapati sebuah tangga yang itu menaik atau menurun. Sama halnya dengan emosi seseorang---bisa naik dan turun. Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi?
Sore kemarin, ada hal yang tak terduga saya rasakan. Saya marah, tidak. Saya kesal, tidak. Lalu apa? Luapan sering membuncah, tersadar ada berontak jiwa, berontak rasa, yang entah saya tidak tahu bagaimana mulanya. Sebagai seorang wanita, kehilangan seseorang adalah hal paling tak diinginkan. Termasuk saya. seperti tokoh-tokoh dalam buku yang pernah terbaca. Bagaimana seorang wanita yang ditinggal kekasihnya, suaminya, ayahnya, mereka akan mengalami hal terpuruk sekalipun.
Bukan tanpa alasan emosi tak berwujud, tak berbentuk itu. semua sadar, saya sadar, dan engkau sadar. Betapa rasa kehilangan adalah puncak dari tanda cinta. Namun, perlu diketahui, masih ada puncak lagi tanda cinta, yakni cemburu.
Cemburu? Saya rasa kita pernah mengalami. Wajar. Itu wajar. Kita manusia yang dibekali kekurangan, baik itu segi fisik dan batin. Tentunya, cemburu batinlah yang paling berat.
Kehilangan. Rasanya saya sulit menuliskan, menorehkan tentang kehilangan karena telah hilang. Lalu apa yang hendak ditulis. Sebagai makhluk sosial, saya sadar, kehilangan betapa berat dirasa. Karenanya, jangan dirasa, jangan dipikirkan, nanti akan stress sendiri.
Betapa, aku ingin berbicara jujur tentang semuanya. Tentang jiwa, tentang rasa yang saya alami, dan tentunya kalian pun demikian. Tatkala kehilangan, coba sejenak mengulang waktu pada momen kehilangan, kita butuh yang namanya tiang, sandaran, sebagai pelabuhan. Terkarena emosi yang naik-turun, sering kita alami siapa yang hadir, siapa yang mendekat atau terdekat adalah tiangan, adalah sandaran, adalah pelabuhan. Inilah yang membuat seseorang kacau.
Saya mengalami hal itu, mereka---orang terdekat adalah pelabuhan. Tempat untuk berlabuh, menumpahruahkan segala bentuk rasa yang sebenarnya tidak bisa dituturkan, digambarkan, begitu pula dijelaskan. Memaknai pelabuhan, rasanya begitu jahat terkarena mereka yang berlabuh belum bisa dipastikan nyata. Dan menyedihkan bagi pelabuhan, semisal saja ia begitu tulus, dan rela menjadi pembuangan terakhir bagi pelaku kehilangan.
Kehilangan. Sekali lagi berat untuk dirasa. Jangan rasakan!
Kehilangan. Sekali lagi berat untuk dipikirkan. Jangan dipikirkan!
Bangkit, ada cahya ada nur di depan. Tinggal melangkah, melupakan semunya, meski tahu musuh terberat adalah cinta dari masa lalu, entah itu cinta seperti apa.
Saya mengerti, saya memahami, dan saya menyadari, betapa kehilangan bukanlah yang kita mau. Sementara palabuhan yang benar adalah mereka yang rela, tulus, dan ikhlas menjadi wadah, menjadi tempat berlabuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H